Advertorial

Mengenang Sosok Kartini, Kardinah, dan Roekmini, Tiga Bersaudara Penentang Naturalisme Jawa

Kompas.com - 24/12/2020, 20:35 WIB

KOMPAS.com – Perjuangan perempuan Indonesia untuk tidak dipandang sebelah mata sebenarnya sudah dimulai sejak masa penjajahan Belanda di Bumi Nusantara. Contohnya adalah perjuangan yang dirintis tiga putri Bupati Jepara, Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat, yakni Kartini, Kardinah dan Roekmini pada awal abad ke-20.

Dalam keluarga tersebut, Kartini merupakan anak nomor lima dari 11 bersaudara yang terdiri dari saudara kandung dan tiri.

Dari semua saudara kandung, Kartini adalah anak perempuan tertua, sedangkan Kardinah lebih muda dua tahun darinya. Baik Kartini dan Kardinah lahir dari pernikahan sang ayah dengan Mas Ajeng Ngasirah.

Sementara itu, Roekmini merupakan adik tiri Kartini yang lahir dari pernikahan Raden Mas Ario Adipati Sosroningrat dengan Raden Ayu Moerjam.

Meski berbeda ibu, ketiganya memiliki hubungan sangat dekat. Seorang pegawai administrasi kolonial Hindia Belanda di Jawa Tengah kala itu menjuluki mereka “Tiga Bersaudara”. Akan tetapi, Kartini lebih suka menyebut hubungan saudara itu sebagai “Het Klaverblad” atau Daun Semanggi.

Alasannya sederhana. Putri tertua Bupati Jepara ini menyukai pecel daun semanggi, sebagaimana dikutip dari goodnewsfromindonesia.id, Selasa (21/04/2020). Jadi, ia begitu dekat dengan daun semanggi. Kemudian, secara filosofis, daun semanggi ternyata merupakan simbol persatuan.

Sama seperti daun semanggi, ketiga saudara itu pun bersatu padu untuk mendobrak tradisi Tanah Jawa yang menempatkan perempuan sebagai makhluk nomor dua dan dipandang rendah.

Hal itu mereka lakukan agar kaum perempuan dapat memiliki kesetaraan hak dan derajat dengan laki-laki. Caranya adalah melalui bidang pendidikan.

Langkah pertama yang mereka lakukan adalah dengan diam-diam belajar dari bilik kamar sederhana.

Cara tersebut mereka ambil karena ketiga putri bangsawan ini harus menjalani pingitan di usia remaja, sampai ada laki-laki yang meminang mereka sebagai istri pertama, atau kedua, dan seterusnya.

Enam tahun selama pingitan, ketiganya membangun dunia mereka sendiri dengan beragam aktivitas, mulai dari membaca beragam buku berbahasa Belanda, melukis, membatik, hingga bermain alat musik bersama. 

Lewat buku, wawasan ketiganya bertambah. Mereka yang kala itu masih berusia belasan tahun, pun jadi memiliki cita-cita tinggi. Mereka kerap berdiskusi tentang keinginan menjadi dokter, pelukis, bidan, dan guru.

Setelah masa pingitan usai, ketiga daun semanggi ini diberi kebebasan sang ayah untuk membuka sekolah bagi rakyat kecil di Pendopo Kabupaten Jepara.

Sejak saat itu, Kartini bersama dua adiknya mulai mengajarkan pendidikan kepada rakyat kecil, terutama perempuan, untuk menulis, membaca, membatik, dan keterampilan lainnya.

Tiga saudara diguncang kepedihan

Hari demi hari, usia mereka pun bertambah, hingga datanglah seorang putra dari Bupati Tegal Pangeran Ario Reksonegoro, yakni Raden Mas Haryono yang ingin meminang Kardinah.

Lamaran tersebut tak hanya mengguncang batin Kardinah, tetapi juga Kartini dan Roekmini. Bagaimana tidak, diboyongnya Kardinah ke Pemalang membuat sebagian cita-cita mereka ikut runtuh.

Kartini mengatakan, kepergian adiknya merupakan sebuah kehilangan besar.

“Tidak salah jika orang mengatakan kami bertiga telah menjadi satu pikiran dan perasaan,” tulisnya dalam surat kepada sahabat karibnya, yaitu istri ajudan Gubernur Jenderal Rooseboom, Hilda de Booy-Boissevain pada 21 Maret 1902, seperti dikutip dari Tirto.id, Sabtu (25/05/2019).

Setahun setelah Kardinah menikah, giliran Kartini menyusul menjadi seorang raden ayu. Ia dipersunting Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat pada 12 November 1903.

Sebagai informasi, ketika perempuan bangsawan Jawa menikah, gelar yang semula sebagai raden ajeng akan berubah menjadi raden ayu.

Dari pernikahannya, Kartini melahirkan anak laki-laki bernama Soesalit Djojoadhiningrat pada 13 September 1904.

Empat hari pasca-melahirkan, ia meninggal dunia di usia yang ke-25 pada 17 September 1904. Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang, Jawa Tengah (Jateng).

Kematian Kartini membuat Roekmini dan Kardinah sangat terpukul. Mereka kehilangan sosok seorang kakak yang memperjuangkan kesetaraan perempuan.

"Saya seperti gila ketika mengetahui hal itu," tulis Roekmini dalam suratnya kepada salah satu sahabat pena Kartini, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda (1900-1905) Jacques Henrij Abendanon pada Oktober 1904, seperti dikutip dari majalah.tempo.co, Senin (21/04/2013).

Belum lama ditinggal sang kakak, ayah mereka menyusul meninggal dunia pada 21 Januari 1905. Kepergian Bupati Jepara ini berpengaruh besar pada sekolah yang dibangun tiga bersaudara tersebut.

Sekolah mereka dibubarkan karena murid-muridnya yang rata-rata sudah berusia di atas 12 tahun tidak diperbolehkan datang lagi. Mereka sudah dianggap pantas dan dewasa oleh orangtuanya serta siap untuk dinikahkan. Hal tersebut diungkap Roekmini kepada Abendanon pada 14 November 1905.

Belum lagi ditambah gunjingan dari kerabat sang ayah yang membuat hidup mereka kian susah. Hal ini menjadi alasan ibu Roekmini, Moerjam, tidak memperbolehkan putri-putrinya terlalu sering ke luar rumah.

Meneruskan kembali perjuangan yang tertunda

Nyatanya, impian mereka lebih besar dari sebuah gunjingan. Semangat Kardinah dan Roekmini memperjuangkan kesetaraan perempuan pun tak pernah padam, meski Kartini dan sang ayah telah tiada.

Kardinah yang saat itu pindah mengikuti suaminya, Ario Reksonegoro X sebagai Bupati Tegal, kembali meneruskan perjuangan yang pernah ia lakukan bersama dua saudarinya.

Selain mendidik anak-anaknya, Kardinah juga membangun sekolah kecil karena tidak puas dengan sistem pengajaran di sekolah milik Belanda.

Saat itu, pemerintah Hindia Belanda hanya memperbolehkan keluarga bangsawan atau kalangan atas untuk bersekolah. Itu pun hanya dikhususkan untuk laki-laki saja.

Dengan semangat yang berkobar dan dukungan dari suaminya, Kardinah resmi mendirikan Sekolah Kepandaian Putri Wisma Pranowo pada 1 Maret 1916.

Sistem pengajaran yang ia gunakan sama seperti sekolah Kartini dulu, yaitu khusus mengajarkan keterampilan bagi perempuan.

Upaya Kardinah untuk memperjuangkan nasib rakyat tidak berhenti sampai di situ. Ia mulai merambah dunia kesehatan dengan membangun rumah sakit yang diberi nama Kardinah Ziekenhuis pada 1927.

Tujuan pendirian rumah sakit ini adalah memberikan layanan kesehatan memadai bagi rakyat kecil di Tegal kala itu, khususnya perempuan yang hendak bersalin.

Sama seperti pembangunan sekolahnya, ia mendirikan rumah sakit dari hasil jerih payah menjual karya tulisan dalam bentuk buku.

Pada 1969, pemerintah pun mengakui jasa-jasa besar Kardinah dengan menganugerahkan Lencana Kebaktian Sosial Republik Indonesia. 

Tak kalah dengan Kardinah, Roekmini ikut membuka sekolah vokasional atau kejuruan di Kudus, Jawa Tengah.

Sekolah yang dibangun Roekmini lahir dari kegemarannya membuat kerajinan kayu dan melukis. Karena kegemaran itu pula, ia lebih menyukai pengajaran yang bersifat praktik daripada konsep atau teori.

Bukan hanya itu, Roekmini juga lebih memilih memperjuangkan hak kaum perempuan melalui keikutsertaannya sebagai anggota berbagai organisasi.

Terbukti, ia sangat aktif dalam beberapa organisasi dan komunitas. Salah satunya adalah Vereeniging voor Vrouwenkiesrecht (VVV). Ia bergabung dengan organisasi yang menggencarkan kampanye hak pilih bagi perempuan tersebut pada Juli 1927.

Adik kesayangan Kartini ini turut dalam pengajuan proposal pendirian cabang VVV di Kudus pada 1928 dengan menggunakan nama “Mardi Kamoeljan”.

Roekmini berharap, pendirian Mardi Kamoeljan dapat meningkatkan pola pikir perempuan lokal sehingga bisa maju seperti perempuan Eropa. Utamanya, pola pikir yang maju dan lebih sigap dalam mengatasi permasalahan di bidang kesehatan, pertolongan pertama, dan perawatan anak.

Pada Desember 1928, Roekmini juga bergabung dengan delegasi perempuan Indonesia pertama dalam pergerakan internasional, yaitu Kongres Perempuan Indonesia di Yogyakarta.

Bahkan, Roekmini dipilih menjadi perwakilan Indonesia untuk Kongres Perempuan Asia di Lahore, Pakistan pada Januari 1931.

Perjuangan Kardinah dan Roekmini tersebut merupakan kelanjutan cita-cita emansipasi perempuan yang diembuskan Kartini. Perjuangan ketiganya juga menjadi bukti bahwa perempuan Indonesia memiliki daya untuk terus maju, meski dalam keterbatasan.

Diharapkan semangat perjuangan ketiga srikandi tersebut dapat inspirasi banyak perempuan di Indonesia. Dengan begitu, dapat melahirkan Daun Semanggi baru di daerah lainnya yang menjunjung tinggi martabat kaum perempuan karena kesetaraan adalah salah satu bentuk pengamalan Pancasila.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com