JAKARTA, KOMPAS.com - Budaya patriarki masih dominan di Indonesia hingga saat ini. Permasalahan tersebut dapat dijumpai dalam berbagai elemen kehidupan masyarakat, mulai dari pendidikan, ekonomi, sosial, hingga politik.
Dampaknya, aktivitas perempuan di ruang publik menjadi terbatas. Tidak hanya itu, langgengnya budaya patriarki semakin membuat kesetaraan gender di Indonesia terkesan utopis.
Aktivitas perempuan hanya difokuskan pada tugas domestik, seperti mencuci, memasak, ataupun mengurus permasalahan rumah tangga lainnya sehingga tidak memiliki kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya.
Pejuang Advokasi Kesetaraan dan Keadilan Gender Kiai Haji Husein Muhammad mengatakan, sistem patriarki sejatinya sangat membebani perempuan, terutama untuk mereka yang sudah berumah tangga.
Pemahaman yang minim tentang adanya kesetaraan membuat perempuan yang sudah menikah menjadi lebih sulit untuk mengeksplorasi dirinya. Ruang gerak perempuan pun jadi terbatas.
Pernikahan di Indonesia, kata Husein, cenderung menimbulkan dominasi. Padahal, pernikahan yang baik itu saling melengkapi.
“Akhirnya, perempuan hanya fokus terhadap rumah saja sehingga mereka jadi tidak produktif,” terang Husein dalam webinar yang diselenggarakan Kompas TV, Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Senin (21/12/2020).
Ia menambahkan, patriarki di Indonesia memang sudah menjadi budaya dari zaman dahulu. Hal tersebut menjadi tantangan untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
“Dari dulu kan ditegaskan bahwa perempuan itu urusannya sumur, dapur, dan kasur. Akhirnya menjadi tradisi, perempuan jadi menganggap pendidikan tinggi itu tidak perlu,” jelasnya.
Pada praktiknya, saat ini sudah mulai banyak perempuan yang berjuang untuk mendapatkan kesetaraan dengan melakukan berbagai macam aktivitas di ranah sosial.
Karenanya, ulama yang pernah mendapat penghargaan “Heroes Acting To End Modern-Day Slavery” dari Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada 2006 ini sangat mengapresiasi langkah tersebut.
Menurutnya, itu adalah langkah yang luar biasa karena sikap tersebut bersifat partikular. Pasalnya, perempuan masa kini harus menghadapi tembok besar bernama patriarki, kehidupan sepenuhnya dikontrol oleh laki-laki.
Selain itu, ia juga menjelaskan alasan mengapa patriarki di Indonesia menjadi sangat sulit untuk dilawan.
Penyebabnya adalah sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan dengan menggunakan berbagai penafsiran untuk mendukung sistem tersebut.
“Bukan agamanya, tetapi orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan. Ini jadi masalah karena resistansinya sangat tinggi. Jadinya, memaksa cara pandang yang diskriminatif terhadap perempuan sehingga kalau menolak dianggap melawan Tuhan,” ujar Husein.
Untuk diketahui, Husein juga merupakan pengasuh Pondok Pesantren Dar al-Tauhid. Ia selalu menekankan kepada para santri perempuan asuhannya supaya menjadi pribadi yang mandiri.
Bukan hanya itu. Ia berharap, perempuan bisa diperlakukan adil. Sebab, sudah sepatutnya perempuan mendapatkan ruang gerak yang sama dengan laki-laki.
Untuk itu, Husein menambahkan, perempuan harus diberi ruang dan diapresiasi serta jangan membiarkan perempuan berjalan sendiri.
Ia pun mengapresiasi webinar yang diadakan BPIP, KPPPA, dan Kompas TV. Menurutnya, pada pertemuan macam itu, laki-laki juga perlu dihadirkan di samping perempuan.
“Jadi, dua-duanya harus datang. Dengan begitu, laki-laki bisa mendengar dan mengetahui permasalahan yang tengah dihadapi perempuan di Indonesia,” jelas Husein.
Pemberdayaan perempuan juga bisa dilakukan dengan memercayakan mereka pada posisi-posisi strategis.
“Perempuan memang diajarkan keterampilan. Namun, dalam acara, mereka hanya ditempatkan pada bagian penerima tamu atau seksi konsumsi. Ini tidak bisa dilakukan terus-menerus. Belum lagi kasus ibu meninggal karena melahirkan. Ini menandakan perempuan memikul beban berat,” tekan Husein.
Oleh karena itu, ia meminta semua pihak menggiatkan kesetaraan gender terimplementasi secara baik di Indonesia.