KOMPAS.com – Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin atau yang lebih dikenal dengan nama NH Dini merupakan salah satu tokoh sastra kenamaan Indonesia. Para pecinta dan pegiat dunia sastra pasti sudah tidak asing lagi dengan sosok perempuan kelahiran Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936 ini.
Selama puluhan tahun berkiprah sebagai penulis, NH Dini telah melahirkan tak kurang dari 40 judul buku. Selain itu, NH Dini juga aktif menulis cerita pendek (cerpen), dan puisi.
Diberitakan Kompas.com, Selasa (18/12/2018), kegemaran NH Dini untuk menulis telah terlihat sejak masih di bangku sekolah. Kala itu, ia sering menulis sajak dan cerpen.
Pada 1952, sajak Nh. Dini dimuat dalam majalah Budaja dan Gadjah Mada di Yogyakarta. Cerpen-cerpenya juga semakin sering mengisi halaman-halaman sastra di Majalah Kisah dan Mimbar Indonesia. Kemudian pada 1956, kumpulan cerpen pertama NH Dini yang berjudul Dua Dunia diterbitkan.
Meski sudah mulai menjadi penulis sejak 1950-an, karya monumental NH Dini baru lahir sekitar 20 tahun kemudian, tepatnya pada 1972. Pada saat itu, NH Dini menerbitkan novel pertamanya berjudul Pada Sebuah Kapal yang langsung dicetak sebanyak 5.000 eksemplar.
Setelah itu, NH Dini terus produktif menelurkan berbagai karya. Beberapa judul novelnya yang terus dikenang dan mendapat banyak apresiasi di antaranya, La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1978), dan Keberangkatan (1987).
”Hampir semua karya NH Dini selalu dicetak sembilan hingga sepuluh kali. Di zaman itu, kita punya penulis hebat, Pramoedya Ananta Toer dan NH Dini,” kata Ketua Umum Persatuan Penulis Indonesia (Satupena) Nasir Tamara sebagaimana diberitakan Kompas.id, Kamis (21/2/2019).
Perjuangkan kesetaraan gender
Sebagai sastrawan, NH Dini kerap didapuk sebagai penulis yang aktif menyuarakan kesetaraan gender. Sebab, karya-karya NH Dini banyak menyuarakan kritik sosial, termasuk perlawanan perempuan terhadap tradisi patriarki yang ada di hampir seluruh aspek kehidupan.
Misalnya, di novel Pada Sebuah Kapal (1972), NH Dini berani mendobrak stereotip tentang sosok perempuan dan istri ideal dalam tradisi patriarki. Lewat tokoh utama bernama Sri, NH Dini menampilkan gambaran tentang perempuan yang sering kali direpresi oleh masyarakat yang menjunjung tradisi patriarki, tetapi berusaha melawan dan menentukan jalan hidupnya sendiri.
Dalam karya-karyanya, NH Dini juga memerangi anggapan bahwa perempuan tidak perawan dan tidak bersuami bukanlah perempuan yang tidak suci, termasuk janda. Begitu pula dengan pandangan tentang perempuan bekerja yang masih dianggap tabu saat itu.
”Karya NH Dini penuh dengan kritik sosial, termasuk ia menuntut kesetaraan terhadap perempuan, termasuk soal pandangan virginitas. Banyak yang mengatakannya feminis walau ia menolaknya karena baginya ia hanya menuntut kesetaraan, bukan keistimewaan,” tutur Sekretaris Umum Satupena Kanti W Janis.
Masih dikutip dari Kompas.id, kebebasan perempuan untuk menentukan hidupnya sendiri juga diaplikasikan NH Dini pada kehidupannya. Misalnya, dengan terus bekerja dan aktif menulis hingga akhir hayatnya.
Kemudian, NH Dini memilih tinggal di panti jompo sejak usia 52 tahun karena tidak ingin menuntut sesuatu dari anak-anaknya, terutama materi. Keputusan itu dinilai berani karena bertentangan dengan stereotip-stereotip yang selama ini melekat pada perempuan.
Peduli pendidikan anak
Selain memperjuangkan kesetaraan gender, NH Dini juga memperhatikan pendidikan anak-anak. Hal tersebut tercermin dari beberapa karya sastra anak yang ditulisnya, seperti Cerita Rakyat dari Prancis1 dan 2, Genevievedari Paris, serta Cernunnos Dewa Menjangan.
Sayangnya, menurut dosen Universitas Negeri Jakarta Murti Bunanta karya-karya sastra anak yang ditulis NH Dini itu tidak banyak diketahui dan nyaris dilupakan. Padahal, karya tersebut memiliki perspektif yang berbeda dari buku-buku anak lainnya.
Menurut Murti, gaya penulisan yang digunakan NH Dini dalam membuat karya sastra anak tidak memberikan kesan memerintah yang umum ditemukan pada buku cerita anak.
Sebagaimana diberitakan Kompas.id, Kamis (21/2/2019), NH Dini mahir menyajikan makna dari nilai dan moral yang ingin ia sampaikan. Hal ini terlihat dari kosa kata yang digunakan.
Murti mengatakan, NH Dini sangat menghindari penggunaan kata perintah dalam cerita anak-anak karena tidak ingin membentuk perilaku dan pemikiran seragam pada anak. NH Dini lebih memilih untuk menyajikan kisah penuh makna tanpa kesan memerintah sehingga anak-anak dapat membuat keputusan sendiri.
Selain itu, Murti menjelaskan, NH Dini juga tetap menggunakan gaya dan cara penulisan yang sama seperti ketika menulis karya-karya lainnya. Misalnya, melakukan riset mendalam untuk dijadikan latar cerita sesungguhnya sebelum menulis.
“Jadi, kita sebagai pembaca merasa cerita itu keseluruhannya nyata. Apalagi saat mengunjungi daerah yang menjadi latar belakang cerita, kita akan langsung mengingat karangannya,” kata Murti yang juga penulis sastra anak.
Meskipun NH Dini telah meninggal dunia pada 4 Desember 2018, nilai-nilai yang ia junjung selama hidup tetap abadi dan dapat dipelajari oleh semua orang lewat karya-karyanya yang melegenda.
Perjalanan hidup NH Dini sebagai seorang penulis sekaligus ibu yang memperjuangkan kesetaraan gender dan hak anak melalui karya-karyanya dapat menjadi inspirasi bagi kaum perempuan. Dengan menjunjung kesetaraan, maka setiap perempuan secara tak langsung telah mengamalkan nilai Pancasila.