JAKARTA, KOMPAS.com – Pendidikan masih dipandang sebagai privilese bagi sebagian kaum perempuan. Faktor ekonomi, interpretasi agama, konsepsi peran gender yang mengakar dalam budaya, serta mitos-mitos lainnya menjadi penyebab hal tersebut.
Menurut data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) pada 2016, saat ini rata-rata perempuan hanya mendapat pendidikan sampai kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Dengan kata lain, rata-rata lama perempuan bersekolah hanya selama 7,5 tahun.
Selain itu, data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2019 menunjukkan, angka melek huruf pada perempuan lebih rendah dari laki-laki dengan berada di angka 94,33 persen dan laki-laki 97,48 persen.
Rendahnya tingkat pendidikan tersebut membuat akses bekerja bagi perempuan terbatas. Hal ini bisa dilihat dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) pada 2018.
Berdasarkan survei tersebut, terdapat selisih cukup tinggi pada angka tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) antara laki-laki dan perempuan pada 2018, yaitu 82,69 persen berbanding 51,88 persen.
Permasalahan pendidikan tersebut mendorong kakak beradik kembar Sri Rossyati dan Sri Irianingsih mendirikan sebuah sekolah dengan nama Sekolah Darurat Kartini.
Alasan mereka berdua mendirikan sekolah adalah demi mendukung program pendidikan di Indonesia, terutama untuk kaum yang termarjinalkan
Rossi, panggilan akrab Sri Rossyati, menjelaskan, kaum termarjinalkan memiliki siklus kawin muda. Hal ini menjadi penyebab mereka sulit melanjutkan pendidikan.
“Karenanya, kami ingin membantu mereka sekaligus memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan,” ujar Rossi dalam webinar “Mencerdaskan Perempuan, Mencerdaskan Kehidupan Bangsa” yang digelar Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan Kompas TV, Senin (21/12/2020).
Sri Irianingsih atau yang akrab disapa Rian menambahkan, sekolah yang ia dirikan bersama saudari kembarnya tersebut tidak hanya menerima anak-anak sebagai muridnya, tetapi juga ibu dari para murid.
“Hal ini dilakukan karena kami ingin memberdayakan mereka juga. Setiap Jumat, kami kumpulkan (mereka) untuk mengadakan pengajian. Setelah itu, kami ajarkan berbagai macam keterampilan,” jelas Rian.
Setelah mereka lulus pun, para ibu dari murid Sekolah Darurat Kartini juga akan diberi modal usaha berupa mesin jahit dan alat untuk membuat batik. Dengan demikian, keterampilan yang sudah mereka pelajari dapat tersalurkan dengan baik.
Rian dan Rossi mengaku, mereka ingin perempuan memiliki kompetensi agar tidak diremehkan.
“Katanya menginginkan kesetaraan gender, tapi kalau tidak punya kompetensi bagaimana? Ini kan jadi dianggap kaum perempuan itu tidak bisa apa-apa,” ucap Rian.
Karenanya, perempuan diharapkan untuk memiliki pendidikan agar dapat menjadi teladan dan pribadi yang mandiri. Dengan begitu, mereka tidak akan dipandang dengan sebelah mata.
Hal senada juga diungkapkan Astatik Bestari, penggagas dari pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM) di Desa Catakgayam, Jombang, Jawa Timur.
Meski kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan itu diperlukan, Astatik mengatakan, perempuan terlebih dahulu harus berjuang untuk dirinya sendiri.
“Sebab, kalau tidak, orang lain yang memperjuangkannya akan capek,” imbuhnya dalam webinar yang sama.
Lebih lanjut, Astatik menuturkan, banyak anggapan bahwa perempuan mesti dihargai lebih dulu. Ini bukan poin utamanya.
Perempuan harus bisa menghargai dirinya sendiri terlebih dahulu. Caranya, dengan mengaktualisasi diri di tengah masyarakat sehingga dapat meningkatkan rasa percaya diri.
“Saya sangat berharap ke depannya, perempuan harus lebih banyak belajar dan terdidik. Sebab, melalui pemahaman saja tidak cukup. Mereka harus berjuang menyuarakan sistem yang ada, tidak hanya sekadar wacana dan tidak dipolitisasi,” jelas Astatik
Terlebih, menurutnya, perempuan Indonesia sampai sekarang tidak dapat berbuat banyak karena masih kentalnya sistem patriarki Tanah Air.