KOMPAS.com – Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan sejumlah pakar tengah mengkaji isu air minum dalam kemasan yang masih mengandung Bisphenol A (BPA).
Untuk diketahui, BPA merupakan zat kimia yang umumnya digunakan dalam pembuatan plastik berbahan polyvinyl chloride (PVC) dengan kode 3 dan polycarbonate (PC) berkode 7.
Sejumlah penelitian menemukan, penggunaan kemasan berbahan BPA secara terus-menerus dapat menimbulkan gangguan kesehatan manusia, khususnya pada janin, bayi, dan balita. Sebab, tubuh kelompok usia tersebut tidak mampu menoleransi efek negatif senyawa tersebut seperti halnya orang dewasa.
Pada janin dan bayi, paparan senyawa BPA dapat memengaruhi berat badan saat lahir, perkembangan hormonal, perilaku, dan berpotensi menimbulkan risiko kanker di kemudian hari.
Tak hanya itu, penggunaan plastik BPA juga dikaitkan dengan masalah kesehatan lain, seperti sindrom ovarium polikistik (PCOS) dan persalinan prematur.
Sebagai pihak berwenang, BPOM lantas mengeluarkan aturan agar setiap produsen air minum dalam kemasan mencantumkan jenis bahan plastik yang digunakan.
Kebijakan tersebut tertuang dalam pengumuman resmi bernomor HM 01.52.521.03.21.91 tentang Pencantuman Jenis Kemasan Plastik pada E-Registration yang dirilis pada Senin (15/3/2021).
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Muchamad Nabil Haroen mengatakan, pihaknya mendukung penuh upaya BPOM dalam menangani isu tersebut. Dengan begitu, BPOM bisa memberikan label pada kemasan plastik yang mengandung BPA agar tidak dikonsumsi oleh bayi, balita, dan ibu hamil.
Ia menambahkan, DPR sendiri tengah mengkaji secara detail bahaya BPA yang terdapat pada kemasan galon ataupun risiko lain dalam konteks kemasan air minum.
“Kami kaji semua hingga nanti akan dikoordinasikan menjadi rumusan kebijakan. Kami juga akan mengadvokasi kebijakan demi kebaikan masyarakat. Kami tidak ingin ada bahaya dalam sirkulasi air, sekaligus juga penting menjaga kesehatan warga lewat apa yang kita konsumsi bersama,” kata Nabil dalam rilis yang diterima Kompas.com, Selasa (6/4/2021).
Nabil berharap, BPOM bisa bertindak cepat dan tepat sesuai prosedur hukum serta regulasi perizinan.
“Tentu (upaya BPOM) harus sesuai prosedur hukum, serta koordinasi dengan pihak terkait. Kami juga akan mendengar (aspirasi) dari pihak produsen untuk mengevaluasi kelayakan dan sistem produksi,” ujar Nabil.
Di sisi lain, doktor ilmu sosiologi Universitas Indonesia (UI) Imron Rosadi mengatakan, isu air dalam kemasan berbahan BPA sudah menjadi kekhawatiran banyak pihak sejak lama.
“Namun, pengawasan instansi berwenang masih minim. Begitu juga dengan kontrol BPOM dan sosial masyarakat. Faktor ini tak terlepas dari motif-motif ekonomi, background pengetahuan yang awam, dan pola hidup sehat yang masih belum membudaya,” tutur Imron yang juga merupakan pemerhati permasalahan sosial kemasyarakatan.
Menurut Imron, menindaklanjuti isu air minum dalam kemasan akan menemui jalan berliku. Pasalnya, label produk bisa diakali atau dimodifikasi dengan teknologi canggih.
“(Meski begitu), yang terpenting itu bikin awareness campaign di tingkat lokal, bentuk kader-kader seperti model juru pemantau jentik (jumantik) yang disupervisi dengan pendampingan dan dukungan capacity building dari pemerintah,” ujarnya.
Terkait upaya DPR RI, Imron berharap, lembaga legislatif itu harus tampil sebagai pengawas kinerja BPOM. Caranya, bisa memanfaatkan kader dan simpatisan di level bawah sebagai monitor.
“Segera ajukan hak bertanya atau hak penyelidikan sebelum segalanya terlanjur dan merugikan masyarakat. Apalagi dalam konteks kesehatan masyarakat dan isu akuntabilitas pelayanan publik di tengah pandemi Covid-19 ini yang bisa jadi isu sensitif,” ujarnya. (Adv).