KOMPAS.com – Situs web sains neurosciencenews.com merilis hasil penelitian teranyar mengenai efek Bisphenol A (BPA) dan Bisphenol S (BPS).
Penelitian tersebut dilakukan oleh tim peneliti Bayreuth yang dipimpin Peter Machnik dan kelompok penelitian fisiologi hewan yang diketuai Stefan Schuster. Mereka meneliti dampak yang ditimbulkan plastik terhadap sel saraf pada otak orang dewasa.
Dalam penelitian itu, para peneliti menggunakan ikan sebagai obyek percobaan untuk mengukur pengaruh BPA dan BPS pada organ makhluk hidup.
Hasil penelitian itu menunjukkan, sejumlah kecil zat BPA dan BPS dapat mengganggu transmisi sinyal antar sel-sel saraf pada otak ikan.
Berdasarkan hasil uji tersebut, peneliti berkesimpulan bahwa gangguan serupa juga dapat terjadi pada otak orang dewasa. Karena itu, mereka menyerukan agar hasil penelitian dikembangkan lebih lanjut untuk meminimalisasi risiko gangguan pada sistem saraf pusat.
Studi tersebut juga mencakup temuan mengenai zat BPS yang masih dianggap tidak begitu berbahaya bagi kesehatan. Padahal, temuan peneliti menunjukkan fakta bahwa kedua zat ini mampu merusak sel-sel saraf otak secara permanen.
Peter Machnik mengatakan, gangguan pada sistem saraf vertebrata disebabkan oleh sinyal rangsang dan sinyal penghambat yang tidak saling terkoordinasi secara normal.
“Jadi, efek plastik berbahan BPA dan BPS kini semakin mengkhawatirkan, ” jelas Peter seperti dilansir dari neuroscience.com, Kamis (15/4/2021).
Edukasi JPKL lindungi kelompok usia rentan
Terkait rilis penelitian tersebut, Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) Roso Daras menyebutkan, terdapat tiga riset internasional mengenai bahaya kandungan BPA yang telah dipublikasikan sejak awal 2021. Tiga riset tersebut berbeda dengan yang dilakukan oleh Peter Machnik.
Contohnya, pada Januari 2021, peneliti gabungan antarnegara asal Thailand, Jepang, dan Amerika Serikat (AS) merilis hasil studi terkait efek paparan BPA prenatal pada gen terkait autisme dan fungsi hipokampus.
Dari penelitian itu, diketahui bahwa paparan BPA sebelum persalinan dapat meningkatkan risiko melahirkan dengan janin gangguan autisme.
"Sudah banyak hasil penelitian internasional dan nasional mengenai bahaya BPA, termasuk dua penelitian terbaru pada 2021. Akan tetapi, masih saja ada pihak tertentu yang mencoba mengembuskan isu di masyarakat seolah-olah BPA bukan racun dan tidak berbahaya," ujar Roso dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (22/4/2021).
Merespons hal itu, JPKL berupaya mengedukasi masyarakat untuk melindungi bayi, balita, dan janin pada ibu hamil agar tidak terpapar BPA.
Namun, upaya tersebut terhalang oleh oknum yang dinilai tidak mementingkan kesehatan masyarakat.
Berbagai informasi penting yang merujuk dari hasil penelitian para ahli dari negara-negara maju tentang bahaya BPA pada kemasan pun dianggap disinformasi.
"Ini jelas ada upaya yang sistematis untuk mengaburkan informasi tentang bahaya BPA. (Hal ini menunjukkan) suatu kemunduran bagi dunia kesehatan Indonesia. Mereka tidak berpikir untuk kesehatan bayi dan balita Indonesia," tegas Roso.
Menurut Roso, salah satu upaya penjegalan penyebaran informasi tersebut dilakukan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) atas perintah Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Hal itu dilakukan dengan mengategorikan informasi bahaya BPA yang dibuat JPKL lewat petisi di laman change.org sebagai sebuah disinformasi atau hoaks.
Padahal, BPOM sendiri telah menerbitkan aturan tentang toleransi kandungan BPA bagi penggunaan botol galon isi ulang sebesar 0,6 bagian per-juta (bpj).
"Itu toleransi buat siapa? Ada toleransi artinya ada potensi bahaya BPA jika melampaui angka tersebut. Toleransi BPOM untuk masyarakat usia dewasa,” jelas Roso.
Advokasi label peringatan konsumen
Sementara itu, imbuh Roso, JPKL memperjuangkan agar BPOM memberikan label peringatan konsumen bagi kelompok usia rentan tanpa ada toleransi.
Roso menilai bahwa Indonesia mengalami ketertinggalan dalam hal riset. Padahal, sejumlah penelitian di luar negeri sudah menyimpulkan bahwa BPA berbahaya bagi otak orang dewasa.
“Sementara di sini, JPKL hanya memperjuangkan agar tidak ada toleransi BPA bagi bayi, balita, dan janin di mana BPOM (perlu) memberikan label peringatan konsumen pada kemasan. Sayangnya, perjuangan ini pun masih dihalangi oleh pihak-pihak tertentu," terangnya.
Berdasarkan beberapa penelitian internasional, nasional, serta sejumlah sumber terkait BPA yang terkandung dalam plastik berbahaya bagi bayi karena berisiko menimbulkan gangguan dan memengaruhi kesehatan bayi.
Gangguan kesehatan tersebut di antaranya terkait dengan berat badan lahir, perkembangan hormonal, perilaku, dan risiko kanker di kemudian hari.
Roso menyampaikan bahwa sebenarnya BPOM sudah memberlakukan beberapa pencantuman label peringatan konsumen sesuai dengan peraturan BPOM No 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan.
Pertama, mengenai peringatan terkait pemanis buatan. Produsen wajib mencantumkan tulisan ”Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah lima tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”.
Kedua, peringatan terkait produk pangan yang mengandung bahan non-halal wajib mencantumkan tulisan “Pada proses pembuatannya bersinggungan dan/atau menggunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babi”.
Ketiga, peringatan tentang alergen pada produk yang mengandung bahan yang dapat mengakibatkan alergi terhadap konsumen tertentu.
Adapun keterangan tentang pangan olahan yang mengandung alergen wajib mencantumkan bahan alergen dalam daftar bahan dengan tulisan yang dicetak tebal “mengandung alergen, lihat daftar bahan yang dicetak tebal”.
Keempat, peringatan pada label minuman alkohol. Produk pangan yang mengandung alkohol wajib mencantumkan kadar alkohol.
Terakhir, peringatan label produk susu harus mencantumkan peringatan berupa tulisan “Tidak untuk menggantikan air susu ibu (ASI)" dan tulisan “Tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan”.
Sementara, untuk produk susu kental manis, wajib mencantumkan peringatan "Tidak untuk menggantikan ASI", “Tidak cocok untuk bayi sampai usia 12 bulan”, dan tulisan “Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”.
"Kami hanya ingin kemasan galon isi ulang yang memakai kemasan plastik dengan kode nomor 7 diberikan label peringatan juga. Itulah yang diperjuangkan JPKL," tutur Roso.
Karena itu, Roso bertekad tak akan mundur dalam mengedukasi masyarakat agar bayi, balita, dan janin tidak terpapar BPA.
“Faktanya, botol susu bayi harus bebas BPA. Itu menandakan BPA berbahaya serta tidak ada toleransi bagi bayi, balita, dan janin ibu hamil,” jelas Roso.
Roso menilai, ketentuan pada botol susu itu akan sia-sia bila air minum yang digunakan masih berasal dari wadah galon isi ulang dengan kandungan BPA.
“(Kandungan BPA pada) galon isi ulang juga merupakan prioritas utama dalam perjuangan JPKL,” kata Roso.
Pasalnya, menurut Roso, konsumsi harian masyarakat yang paling banyak selama ini adalah menggunakan wadah plastik polikarbonat yang mengandung BPA pada kemasan galon isi ulang.
Karena itu, lanjut Roso, kontrol yang lemah atas mata rantai distribusi dari pabrik hingga konsumen membuat galon isi ulang rentan terhadap terik sinar matahari.
“Hal itu memungkinkan terjadinya migrasi komponen BPA ke air minum pada kemasan galon plastik nomor 7,” jelas Roso. (Adv).