Kabar kesehatan

Ketua Komnas Perlindungan Anak Ingatkan Para Ibu Soal Bahaya BPA pada Galon Isi Ulang

Kompas.com - 11/06/2021, 08:12 WIB

KOMPAS.com – Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait mengimbau para ibu untuk waspada terhadap galon isi ulang yang mengandung Bisphenol A (BPA).

Hal itu disampaikan Arist dalam konferensi pers di kantor Komnas Perlindungan Anak, Jakarta, Selasa (8/6/2021).

Pada kesempatan tersebut, Arist mengatakan, kandungan BPA pada galon isi ulang berbahaya bagi bayi, balita, dan janin pada ibu hamil.

"Zat BPA saat ini menjadi agenda internasional. Saya hanya mengingatkan kepada ibu-ibu bahwa BPA berbahaya,” ujar Arist dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis (10/6/2021).

Arist menjelaskan, migrasi BPA pada galon isi ulang berlangsung saat proses bongkar muat dan terpapar sinar matahari.

Selain itu, galon yang didistribusikan dengan cara dilempar berpotensi terjadi pengelupasan yang menyebabkan migrasi BPA dari kemasan galon ke air mineral.

“Demikian juga dengan wadah berbahan plastik. Intinya, harus menolak BPA," terang Arist.

Oleh karena itu, Arist mendesak Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan label peringatan konsumen pada kemasan galon isi ulang atau plastik yang mengandung BPA.

"Saya akan mendatangi BPOM untuk mendesak agar segera dilakukan pelabelan (pada kemasan galon isi ulang). Segala hal yang menyangkut informasi produk harus jelas. Kode daur ulang juga harus dicantumkan dalam ukuran besar agar para ibu dapat melihat dengan jelas sehingga bisa menghindari,” jelasnya.

Upaya tersebut dilakukan Komnas Perlindungan anak, mengingat dampak paparan BPA bisa menimbulkan berbagai penyakit, seperti kanker maupun kelahiran prematur.

“Hasil penelitian terbaru pada 21 April 2021 menunjukkan bahwa (BPA) tidak hanya berbahaya bagi bayi balita dan janin, tetapi juga merusak otak orang dewasa," kata Arist.

Ketua Jurnalis Peduli Kesehatan dan Lingkungan (JPKL) Roso Daras mengatakan, selain menginformasikan kepada para ibu, konferensi pers di Komnas Perlindungan Anak digelar untuk mendesak BPOM memberi label peringatan bahaya BPA. 

Hal itu disampaikan Roso melalui Sekretaris Jenderal (Sekjen) JPKL, Masyus.

Roso menilai, bayi, balita, dan ibu hamil merupakan kelompok rentan yang mudah terdampak penyakit akibat terpapar BPA secara kumulatif.

“Akibat yang ditimbulkan tidak tanggung-tanggung. Bagi janin, bisa lahir prematur jika ibu hamil mengonsumsi air dari wadah yang mengandung BPA,” ujar Roso.

Lebih lanjut Roso menjelaskan, bayi juga bisa terjangkit kanker dan penyakit lain di kemudian hari, terutama pada otak.

“Studi terbaru menunjukkan, dampaknya bukan saja bagi bayi, balita, dan janin saja melainkan juga orang dewasa,” jelasnya.

Sebagai informasi, perjuangan JPKL mendorong BPOM menerbitkan label peringatan konsumen pada kemasan plastik yang mengandung BPA sudah dilakukan sejak lima bulan silam.

Namun, menurut pihak JPKL, BPOM belum merespons usulan JPKL tersebut. Padahal, dalam pertemuan antara JPKL dan Direktur Pengawasan Produksi Pangan Olahan Cendekia Sri Murwani pada Kamis (4/2/ 2021), JPKL membawa beberapa bukti, seperti pemberitaan dari media tentang bahaya BPA.

Tak hanya itu, JPKL juga menunjukkan sejumlah bukti ilmiah dari luar negeri, seperti Kanada, Eropa, dan Jepang.

Untuk diketahui, Kanada telah melarang penggunaan BPA pada kemasan atau wadah yang bersentuhan langsung dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi bayi dan balita sejak 2010. Demikian pula dengan Jepang yang melakukan pelarangan serupa pada 2017.

“Pada pertemuan itu, BPOM meminta JPKL untuk melakukan penelitian,” imbuh Roso.

Ia menilai, permintaan tersebut tidak dapat dilakukan, mengingat JPKL merupakan organisasi wartawan dan bukan lembaga penelitian.

Meski demikian, demi membuktikan hipotesis JPKL bahwa kemasan galon isi ulang di Tanah Air telah terpapar BPA, JPKL menunjuk laboratorium kredibel, independen, dan terakreditasi untuk menganalisis sampel galon.

JPKL menyerahkan enam galon yang dibeli di minimarket untuk diuji. Sementara, dua galon tidak dilakukan treatment apa pun.

Pada proses uji tersebut, dua galon dijemur selama seminggu, sedangkan dua galon lainnya dijemur secara ekstrem selama 56 hari.

Setelah itu, galon dianalisis oleh pihak laboratorium. Hasil penelitian itu membuktikan, terjadi migrasi BPA dengan besaran di atas ambang toleransi yang diizinkan BPOM.

Tingkat migrasi BPA pada sampel galon isi ulang yang diteliti berkisar antara 2 hingga 4 parts per million (ppm). Sementara, batas toleransi BPOM sebesar 0,6 ppm.

Adapun hasil analisis tersebut telah disampaikan JPKL kepada BPOM melalui surat tertanggal 10 Mei 2021.

Dalam surat tersebut, terlampir dokumen pendukung riset BPA, kajian referensi penelitian, serta penerapan kebijakan terkait BPA di beberapa negara, termasuk di Indonesia.

“Surat tersebut di atas juga kami tembuskan ke Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Badan Standardisasi Nasional (BSN), dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo),” jelas Roso.

Seiring potensi bahaya BPA bagi anak-anak Indonesia, Komnas Anak turut mendesak BPOM dan memberi informasi kepada masyarakat agar berhati-hati, baik dalam memilih wadah makanan maupun minuman.

"Saat ini, semua botol susu bayi sudah terbebas dari BPA. Namun, jadi mubazir jika sumber air yang digunakan untuk membuat susu dari air galon guna ulang yang termigrasi BPA," kata Sekjen JPKLTeguh Yuswanto.

Kini, JPKL dan Arist Merdeka Sirait bersepakat, selain berupaya mendesak ke BPOM, juga secara bertahap mengedukasi para ibu mengenai bahaya BPA.

Dengan demikian, para ibu bisa memahami bahaya BPA sehingga menjadi agen perubahan yang akan menularkan informasi kepada ibu-ibu lain. (Adv)

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com