KOMPAS.com – Sebagai negara dengan wilayah yang luas, Indonesia memiliki batas darat dengan negara di sekitarnya, yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste.
Dari ketiga negara tersebut, Indonesia masih belum mencapai kesepakatan atau outstanding boundary problems (OBP) dengan Malaysia terkait penetapan kedaulatan di wilayah perbatasan Kalimantan Barat-Sarawak dan Kalimantan Utara-Sabah.
Direktur Topografi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD) Brigadir Jenderal (Brigjen) Asep Edi Rosidin menyatakan bahwa penetapan batas pemisah atau demarkasi bukanlah hal yang mudah. Pasalnya, proses ini merujuk pada prinsip hukum internasional uti possidetis juris.
Artinya, kesepakatan batas Indonesia-Malaysia mengacu pada kesepakatan batas negara wilayah kekuasaan penjajah pada masa lalu. Jadi, penetapan dan penegasan batas Indonesia dan Malaysia mengacu pada referensi dokumen batas Belanda dan Inggris.
“Permasalahan yang sering terjadi adalah perbedaan interpretasi terhadap perjanjian yang tertulis dalam dokumen batas Inggris dan Belanda,” kata Brigjen Asep dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Jumat (11/6/2021).
Selain itu, jelas Brigjen Asep, sejumlah data dalam dokumen tersebut terbuang sehingga menjadi tidak akurat. Ditambah lagi, terdapat perbedaan antara informasi dalam data atau peta dengan kondisi riil di lapangan.
Brigjen Asep memaparkan, menurut konvensi 1891, batas negara Inggris dan Belanda mengikuti garis pemisah air yang dimulai dari pantai timur Kalimantan pada garis lintang 4° 10” Lintang Utara (LU).
Sementara itu, untuk sungai yang memiliki panjang melebihi 5 mil geografi, garis batas negara tidak mengikuti watershed, tetapi dibelokkan dan dipotong pada batas sungai dengan garis lintang 4 derajat.
Sebagai informasi, TNI mendapat peran penting dalam berbagai kegiatan menjaga, mengamankan, dan memelihara garis batas negara tersebut. Kegiatan ini dilakukan dengan menempatkan Pasukan Pengamanan Perbatasan atau PAMTAS dan melakukan patroli pilar batas setiap periode waktu tertentu.
Adapun kegiatan pemeliharaan pilar batas itu juga dilakukan bersama dengan pemerintah Malaysia setiap tahun melalui joint survey investigation, refixation, and maintenance (IRM).
Kegiatan IRM tersebut dinamakan Joint Malaysia-Indonesia Boundary Committee on Survey and Demarcation of International Boundary Between Malaysia and Indonesia (JIM).
Untuk diketahui, IRM dilakukan dalam enam tahap kegiatan, yaitu reconnaissance atau pencarian batas, clearing atau pembersihan jalur batas, boundary markers planted atau penanaman tugu, achymatricatau atau pengukuran, demarcation atau pengukuran poligon, serta traverse-heigh plan dan field plan.
“Survei demarkasi perbatasan darat Indonesia-Malaysia telah dilaksanakan mulai 1975 hingga 2001. Namun, masih ada beberapa daerah yang belum selesai disurvei,” kata Brigjen Asep.
Kemudian, pada 2019, tim teknik Indonesia dan Malaysia juga telah menyelesaikan joint survey untuk melakukan pemasangan pilar sebagai tanda garis baru di Pulau Sebatik.
Brigjen Asep mengakui bahwa penegasan batas wilayah negara membutuhkan kecermatan, ketelitian, dan strategi.
“Diperlukan pula sosialisasi agar para pemangku kepentingan (stakeholder) memahami OBP di daerahnya,” imbuh Brigjen Asep
Terkait hal itu, Brigjen Asep menyampaikan apresiasinya terhadap Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terutama Direktorat Jenderal (Ditjen) Bina Administrasi Kewilayahan yang telah melakukan sosialisasi kepada para stakeholder di tingkat pemerintah daerah dan masyarakat setempat.