KOMPAS.com – Literasi digital kerap dianggap sebagai kecakapan dalam menggunakan internet dan media digital. Hal ihwal penguasaan terhadap teknologi ini pun masih dipandang sebagai keterampilan utama yang harus dimiliki.
Padahal, literasi digital tak hanya sebatas itu. Selain mampu mengoperasikan instrumen digital, pengguna teknologi juga dituntut mampu bertanggung jawab dalam bermedia digital.
Sejalan dengan peluncuran program Literasi Digital Nasional, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menekankan bahwa infrastruktur digital tidak dapat berdiri sendiri. Hal tersebut perlu diimbangi dengan kesiapan penggunanya.
“Saat jaringan internet sudah tersedia, harus diikuti kesiapan penggunanya. Tujuannya, agar manfaat positif internet dapat dioptimalisasi untuk menjadikan masyarakat lebih cerdas dan produktif,” ujar Jokowi dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Sabtu (12/6/2021).
Jokowi mengatakan, literasi digital adalah kerja besar. Pemerintah tidak dapat bekerja sendirian.
Oleh karena itu, lanjut Jokowi, dibutuhkan dukungan dari seluruh pihak agar semakin banyak masyarakat yang melek digital.
“Saya berharap, gerakan ini menggelinding dan terus membesar sehingga bisa mendorong berbagai inisiatif di tempat lain, melakukan kerja-kerja konkret di tengah masyarakat agar makin cakap memanfaatkan internet untuk kegiatan edukatif dan produktif,” ujar Jokowi.
Dalam rangka mendukung program tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menjalin kerja sama dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.
Dengan kolaborasi tersebut, Kemkominfo meluncurkan Seri Modul Literasi Digital yang berfokus pada empat tema besar.
Empat tema tersebut adalah Cakap Bermedia Digital, Budaya Bermedia Digital, Etis Bermedia Digital, dan Aman Bermedia Digital.
Kemkominfo berharap, dengan penerbitan modul literasi digital, masyarakat dapat mengikuti perkembangan dunia digital secara baik, produktif, dan sesuai dengan nilai-nilai kehidupan.
Adapun Kemkominfo juga melakukan sosialisasi dan pendalaman Seri Modul Literasi Digital. Kegiatan ini diselenggarakan secara virtual lewat webinar Indonesia #MakinCakapDigital yang dijangkau 514 kabupaten atau kota seluruh Indonesia.
Sementara itu, khusus bagi 14 kabupaten atau kota di wilayah DKI Jakarta dan Banten, webinar digelar pada Jumat, (11/6/2021) dengan tema “Menangkal Terorisme dan Radikalisme di Dunia Digital”.
Sejumlah narasumber ahli dari berbagai bidang keahlian turut hadir dalam webinar tersebut. Mereka adalah Direktur Gedhe Nusantara Yossy Suparyo, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (Fishum) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Japelidi Yanti Dwi Astuti, Internet Development Institute Sigit Widodo, dan Kaizen Room Hayuning Sumbadra.
Adapun topik yang dibahas meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Pada acara tersebut, Yossy Suparyo mengawali pembahasan mengenai digital skills. Kepada para peserta webinar, Yossy menganjurkan untuk “think globally, act locally”.
“Pikiran boleh besar tanpa ada batas, tapi sebesar apa pun, pikiran harus diimplementasikan dulu di level lokal. Tanpa adanya keseimbangan tersebut maka akan menjadi counterproductive,” jelas Yossy.
Berkat teknologi internet, lanjut Yossy, kebebasan berekspresi semakin tumbuh sebagai salah satu hak asasi manusia.
Meski demikian, Yossy mengingatkan, kebebasan berekspresi juga harus menjamin hak orang lain selain hak manusia secara pribadi.
“Provokasi isu suku agama ras dan antargolongan (SARA), penyebar kebencian, dan perundungan melalui internet merupakan hal-hal yang harus dihindari,” tegasnya.
Pentingnya digital ethics
Pada kesempatan yang sama, Yanti Dwi Astuti menekankan pentingnya digital ethics. Pasalnya, isu radikalisme adalah fenomena global yang dapat ditemukan dalam kelompok sosial atau agama manapun.
“Berdasarkan Global Terrorism Index, Indonesia berada di peringkat ke-37 dari 135 negara,” papar Yanti.
Ia menjelaskan, salah satu pendorong peringkat tersebut adalah adanya pergeseran cara rekrutmen.
Adapun proses rekrutmen yang sebelumnya dilakukan secara tatap muka, lanjut Yanti, kini beralih secara virtual melalui internet sehingga sulit untuk dilacak.
Hal itu disebabkan oleh media digital maupun media sosial yang saat ini dinilai sebagai cara paling populer untuk mendapatkan target yang dituju.
Tidak adanya pungutan biaya dalam menggunakan media sosial, imbuh Yanti, membuka peluang kelompok radikal untuk menyebarkan propaganda, radikalisasi, dan rekrutmen.
“Oleh karena itu, sangat penting untuk menguasai literasi digital. Utamanya, dalam memilih informasi, berpikir kritis, sadar akan keamanan elektronik, dan konteks sosial budaya yang berkembang,” jelasnya.
Sementara itu, terkait digital culture, Sigit Widodo mengatakan bahwa kelebihan dunia maya adalah kemudahan dalam berkomunikasi.
Namun, lanjut Sigit, kemudahan tersebut justru dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok radikal.
Sigit menjelaskan, proses terciptanya terorisme muncul dari bentuk awal intoleransi, kemudian radikalisasi, hingga akhirnya terorisme.
Untuk menghadapi terorisme, pemerintah melakukan pemblokiran terhadap akun-akun yang berisi konten radikal.
Sigit menilai, langkah tersebut kurang efektif. Pasalnya, adanya berbagai cara untuk menghindari pemblokiran tersebut.
“Oleh karena itu, literasi digital sangat penting. Pemahaman literasi digital (oleh masyarakat) dapat mengurangi disinformasi, seperti intoleransi yang sering menimbulkan pertentangan SARA,” terangnya.
Keamanan digital
Terkait digital safety, Hayuning Sumbadra mempaparkan bahwa pencurian data pribadi merupakan salah satu bentuk cybercrime.
Pasalnya, hal tersebut rentan dimanfaatkan untuk melakukan aksi kejahatan, seperti penipuan akun, pemalsuan dokumen, bahkan perdagangan orang hingga terorisme.
Selain itu, Hayuning juga menjelaskan mengenai cyberterrorism, yaitu serangan teror menggunakan internet untuk menebarkan ketakutan melalui ancaman atau intimidasi.
Dalam penjelasannya, ia mengingatkan bahwa modus cyberterrorism sering dialami oleh perusahaan besar atau tokoh public, seperti politikus atau selebritas.
“Data penting maupun data pribadi dicuri. Alhasil, mereka diperas untuk memberikan sejumlah uang. Oleh karena itu, penting sekali memahami digital safety,” jelasnya.
Pada webinar tersebut, salah satu peserta bertanya mengenai tips efektif dalam penanggulangan dampak penyebaran hoaks atau isu intoleran dan radikal.
Terkait hal tersebut, Sigit Widodo mengatakan bahwa seluruh pihak wajib menyampaikan informasi yang benar.
“Untuk terorisme, aparat keamanan, dalam hal ini kepolisian, harus menjadi sumber acuan informasi dari disinformasi tersebut karena hoaks sulit dibendung. Sementara, tindakan blokir hingga penahanan oknum penyebar hoaks kurang efektif sehingga harus dibarengi dengan literasi digital,” jelas Sigit.
Sebagai informasi, webinar Indonesia #MakinCakapDigital terbuka bagi seluruh kalangan. Rangkaian webinar ini akan terus diselenggarakan hingga akhir 2021 dengan berbagai tema.
Tujuannya, untuk mendukung kesiapan masyarakat Indonesia dalam bermedia digital secara baik dan etis.
Selain itu, peserta webinar juga mendapatkan e-certificate. Untuk informasi lebih lanjut, silakan pantau akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.