Advertorial

RUU Otsus Papua Resmi Jadi UU, Mendagri: Pemerintah Komitmen Sejahterakan Masyarakat Papua

Kompas.com - 15/07/2021, 22:13 WIB

KOMPAS.com - Rancangan Undang-undang (RUU) mengenai Perubahan Kedua atas Undang-undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (Otsus Papua) resmi disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (15/7/2021).

Pada kesempatan tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengatakan, otsus di Provinsi Papua telah berjalan selama 20 tahun.

Dalam perjalanannya, kata Tito, banyak hal yang telah berhasil dicapai. Namun, Tito berpendapat bahwa sejumlah hal masih perlu diperbaiki.

“Dalam pembahasan, kami berpijak pada prinsip-prinsip untuk melindungi dan menjunjung harkat dan martabat orang asli Papua dan melakukan percepatan pembangunan. (Ini) untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua," ujar Tito dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Kamis.

Tito menjelaskan, salah satu contoh yang perlu diperbaiki menyangkut pemerataan pembangunan antarkabupaten atau antarkota di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Oleh karena itu, lanjut Tito, pemerintah perlu mengambil kebijakan strategis, salah satunya dengan melakukan perubahan terhadap UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Papua.

“Pembahasan RUU perubahan kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 merupakan upaya bersama sekaligus wujud komitmen pemerintah, DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI,” terang Tito.

Tujuannya, lanjut Tito, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Ia menambahkan, sesuai surat presiden (surpres) terkait pengajuan RUU tersebut, pemerintah mengajukan perubahan hanya pada tiga pasal, yaitu Pasal 1 tentang Ketentuan Umum, Pasal 34 tentang Keuangan, dan Pasal 76 tentang Pemekaran Daerah.

Namun, kata Tito, perkembangannya mengikuti dinamika diskusi yang produktif dan berkualitas, serta mendengarkan aspirasi masyarakat. Akhirnya, rapat Panitia Khusus (Pansus) menetapkan perubahan atas 20 pasal.

Adapun rincian pasal tersebut, yakni tiga pasal usulan sesuai surpres dan 17 pasal di luar usulan pemerintah.

"Perubahan pada pasal-pasal tersebut mencerminkan kebijakan afirmasi yang kuat terhadap orang asli Papua (OAP) sebagai perwujudan komitmen seluruh elemen bangsa," kata Tito.

Tito menyebutkan, kebijakan afirmasi tersebut terdiri atas tiga kerangka utama.

Pertama, politik afirmasi. Perubahan UU ini menambahkan penyebutan untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kabupaten atau kota dengan DPRK dan menambahkan unsur DPRK. Unsur DPRK nantinya berasal dari OAP melalui mekanisme pengangkatan dengan jumlah seperempat dari jumlah anggota DPRK yang dipilih dalam pemilihan umum (pemilu), sekurang-kurangnya 30 persen dari unsur perempuan OAP.

“Kedua, afirmasi OAP di bidang ekonomi. Perubahan beberapa pasal dalam RUU ini menunjukkan keberpihakan kepada OAP di bidang ekonomi,” jelas Tito.

Melalui UU tersebut, imbuh Tito, dana otsus ditingkatkan dari 2 persen menjadi 2,25 persen dengan perbaikan hal tata kelola.

Selain itu, disepakati bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) minyak dan gas (migas) sebesar 70 persen untuk Provinsi Papua Barat diperpanjang dari 2026 menjadi 2041.

“(DBH) dipergunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Papua,” paparnya.

Tito menambahkan, dengan dukungan pendanaan dalam bentuk dana otsus dan DBH migas tambahan, disertai dana tambahan infrastruktur dan transfer ke daerah lainnya, Pemerintah Daerah (Pemda) Papua diharapkan mengalami percepatan pembangunan.

Selain itu, dalam upaya mendorong peningkatan pembangunan sektor prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur, pemerintah juga mengatur besaran penggunaan penerimaan dalam rangka otsus untuk sektor-sektor prioritas tersebut.

"Diharapkan dengan ketentuan ini, penggunaan dana otsus diharapkan lebih tepat sasaran dan mampu memberikan dorongan untuk kesejahteraan masyarakat Papua, khususnya orang asli Papua," imbuhnya.

Adapun kebijakan afirmasi ketiga adalah perbaikan tata kelola pemerintahan. Perubahan yang telah disepakati dalam RUU juga menekankan aspek perbaikan tata kelola pemerintahan.

Aspek tersebut meliputi peningkatan koordinasi dan pelaksanaan pengawasan yang dilakukan oleh DPR, DPD, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), perguruan tinggi negeri (PTN), dan pembentukan badan khusus yang berada di bawah Presiden. Tujuannya, untuk melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan harmonisasi pelaksanaan otsus di Provinsi Papua.

Perbaikan tata kelola

Adapun bentuk lain dari perbaikan tata kelola dalam Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus bagi Provinsi Papua adalah sebagai berikut.

Pertama, adanya rencana induk (grand design) untuk memberikan arah pembangunan yang lebih jelas dan terukur.

Kedua, pembagian dana otsus menjadi penggunaan bersifat umum (block grant) dan berbasis kinerja (specific grant). Hal ini dilakukan agar penggunaan dana otsus lebih fokus dalam mencapai target kinerja, baik output maupun outcome.

Ketiga, perbaikan mekanisme pembagian dan penyaluran dana otsus yang langsung ke kabupaten atau kota. Perbaikan ini bertujuan untuk mempercepat pemanfaatan dana otsus bagi masyarakat Papua yang tersebar di seluruh kabupaten atau kota.

“Perbaikan tata kelola pemerintahan tersebut diharapkan dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua,” ucap Tito.

Selanjutnya, setelah RUU tersebut menjadi UU, pemerintah akan melakukan sosialisasi kepada stakeholder di tingkat pusat dan daerah, serta menyusun peraturan pelaksanaan dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) sesuai amanat UU tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus Provinsi Papua.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com