KOMPAS.com – Kejahatan seksual masih menjadi ancaman serius di Indonesia. Bentuk kejahatan ini bisa berupa pelecehan maupun kekerasan seksual.
Komisi Nasional (Komnas) Perempuan mencatat, ada delapan jenis kekerasan seksual yang difasilitasi kehadiran teknologi. Beberapa di antaranya adalah pelecehan di ruang maya, penyebaran konten intim tanpa persetujuan, peretasan, serta ancaman penyebaran foto dan video intim.
Menyikapi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar webinar #MakinCakapDigital bertema "Menciptakan Ruang Digital yang Aman dari Kekerasan Seksual Online", Jumat (13/8/2021). Webinar ini digelar di Kabupaten Lebak dan diikuti oleh puluhan peserta secara daring.
Narasumber yang hadir pada webinar tersebut adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Gadjah Mada (UGM) Tauchid Komara, penulis dan aktivis literasi Feby Indirani, Redaktur Langgar.co Abdul Rohim, akademisi dan penggiat masyarakat digital Bondan Wicaksono, serta key opinion leader Putri Juniawan.
Adapun tema yang dibahas narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.
Tauchid Komara yang menjadi narasumber pertama memaparkan, terdapat beberapa jenis pelecehan seksual online, mulai dari eksploitasi hingga pelecehan yang terjadi melalui layar.
Menurutnya, pelecehan seksual dapat menyebabkan trauma berkepanjangan sehingga korban kerap merasa stres secara emosional dan psikologis.
Bentuk pelecehan seksual secara online yang kerap terjadi, lanjut Tauchid, adalah permintaan mengirim foto atau video intim korban dari pasangan atau orang asing, serta tindakan seksual pada siaran streaming langsung.
“Bentuk pelecehan seksual lainnya adalah mengatur korban untuk memuaskan hasrat pelaku, melakukan tindakan seksual di webcam serta berbagi gambar atau video pribadi di ruang publik tanpa persetujuan orang yang terlibat,” kata Tauchid dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (20/8/2021).
Tauchid menjelaskan, tindakan kekerasan seksual bisa dicegah bila setiap pengguna media digital memiliki literasi digital yang baik.
Ia memaparkan beberapa tips berinteraksi di ruang digital untuk menutup ruang kekerasan seksual, seperti membaca dan mendengarkan konten secara menyeluruh sebelum berkomentar, tidak melakukan ujaran kebencian dan menyinggung privasi orang, serta mengomentari satu bagian tubuh tertentu atau body shaming.
“Penting untuk memikirkan konsekuensi dari setiap postingan," kata Tauchid .
Narasumber berikutnya adalah Abdul Rohim. Ia mengatakan, komunikasi di dunia digital bersifat global sehingga melintasi batas geografis dan budaya. Meski demikian, setiap batas geografis dan budaya memiliki batasan etika yang berbeda.
Abdul menambahkan bahwa setiap negara atau wilayah memiliki karakteristik etika yang khas, termasuk setiap generasi yang memiliki etikanya masing-masing sendiri.
Meski etika yang dianut berbeda, kata Abdul, setiap pengguna ruang digital dipersatukan oleh etika digital. Menurutnya, etika digital (digital ethics) merupakan seperangkat nilai yang mengatur individu dalam berperilaku, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan dan mengembangkan tata kelola di ruang digital.
"Individu yang menggunakan media digital seharusnya memiliki niat, sikap, dan perilaku yang etis demi kebaikan bersama. Tujuannya, demi meningkatkan kualitas kemanusiaan," kata Abdul.
Menurut Abdul, terdapat dua faktor yang menjadi akar masalah kekerasan seksual. Pertama, faktor individu berupa aspek psikologi pelaku. Kedua, aspek sosial yang disebabkan pengaruh budaya dari suatu kelompok masyarakat.
"Pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan melalui perubahan pola pikir individu ataupun masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui lembaga keluarga maupun institusi pendidikan," ujar Abdul.
Sementara itu, Feby Indirani memaparkan definisi kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO). Menurutnya, KBGO adalah tindakan yang mengganggu rasa aman dan nyaman, seperti intimidasi ataupun ancaman yang menargetkan seseorang dengan gender atau orientasi seksual tertentu.
Feby menambahkan, pandemi memaksa masyarakat mengalihkan aktivitas secara daring sehingga kasus KBGO meningkat. Adapun bentuk KBGO adalah pelanggaran privasi, pengawasan dan pemantauan, perusakan reputasi atau kredibilitas, serta pelecehan.
"Korban KBGO memiliki dua opsi, yakni memblokir atau melaporkan pelaku. Bila hendak melaporkan, korban bisa mendokumentasikan kejadian secara detail dan kronologis. Hal ini akan memudahkan pihak berwenang menelusuri pelecehan,” kata Feby.
Narasumber selanjutnya adalah Bondan Wicaksono. Ia mengatakan, perangkat digital seperti gawai atau peranti komputer merupakan perangkat utama dalam mengakses internet dan berselancar di dunia maya.
Aktivitas masyarakat menyusuri ruang digital, kata Bondan, meninggalkan celah yang bisa dimanfaatkan orang yang tak bertanggung jawab. Misalnya, pengguna lalai dalam mengoperasikan perangkat atau lupa mengaktifkan fitur pengaman.
"Beberapa platform digital mengharuskan penggunanya menyimpan dan mengelola data pribadi ke platform tersebut. Maraknya kasus kebocoran data pribadi dan lemahnya perlindungan terhadap identitas digital masih jadi persoalan di berbagai belahan dunia," kata Bondan.
Ia melanjutkan bahwa tidak semua negara, termasuk Indonesia, mempunyai regulasi yang mengatur perlindungan data pribadi. Hal ini bertujuan supaya warga negara yang melakukan aktivitas dunia digital terlindungi dari aspek hukum.
Putri Juniawan yang menjadi narasumber terakhir mengatakan bahwa kekerasan seksual kerap terjadi saat ini, baik secara verbal maupun visual. Menurutnya, kekerasan seksual berupa siulan atau catcall kerap dianggap remeh oleh pelakunya. Padahal, tindakan ini mampu menimbulkan dampak psikologis kepada korban.
"Sementara itu, kekerasan seksual secara visual acap kali terjadi, terutama pada anak-anak di bawah umur. Kekerasan seksual sering terjadi di media sosial, seperti pelecehan berbentuk komentar yang menyerang pribadi, sampai pengiriman gambar yang tidak pantas untuk dilihat," kata Putri.
Setelah narasumber memaparkan materi, peserta webinar bisa bertanya dan memberikan tanggapan melalui sesi tanya jawab.
Salah satu peserta, Daroyah, menanyakan bagaimana cara memaksimalkan media sosial secara positif dan aman.
Abdul yang menjawab pertanyaan tersebut mengatakan, nilai kebaikan bersifat universal, termasuk di dunia digital. Pilihan untuk memanfaatkan media sosial secara positif tergantung pada individu yang menggunakannya.
“Setiap pengguna media digital harus jujur dengan diri sendiri. Apa tujuan mereka untuk menggunakan media sosial? Tentunya untuk sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya,” ujar Abdul.
Sebagai informasi, webinar tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Lebak. Kegiatan seri webinar #MakinCakapDigital terbuka bagi semua orang yang ingin memahami dunia literasi digital.
Kemenkominfo mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga webinar dapat berjalan dengan baik. Terlebih, seri webinar #MakinCakapDigital menargetkan 12,5 juta jumlah partisipan.
Oleh karena itu, Kemenkominfo membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua pihak untuk berpartisipasi pada webinar selanjutnya. Kamu dapat mengunjungi akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi untuk mengetahui informasi lebih lanjut.