Advertorial

Agar Tidak Jadi Korban, Kenali Bentuk dan Cara Pencegahan Cyberbullying

Kompas.com - 29/09/2021, 20:45 WIB

KOMPAS.com – Di era digital seperti saat ini, aktivitas di dunia maya melalui platform media sosial sudah menjadi hal jamak yang dilakukan masyarakat.

Mengunggah foto di akun Instagram, misalnya, merupakan salah satu cara untuk tetap eksis sembari menyalurkan kreativitas.

Selain mengunggah, masyarakat juga kerap memberikan komentar pada postingan teman ataupun akun media daring.

Namun, tak sedikit masyarakat memberikan komentar negatif di media sosial. Bahkan, beberapa di antaranya menjurus pada tindakan perundungan digital atau cyberbullying. Tanpa disadari, tindakan ini telah meninggalkan jejak digital yang bisa berakibat buruk pada masa mendatang.

Menyikapi hal itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital bertajuk "Identifikasi dan Antisipasi Perundungan Digital (Cyberbullying)”, Kamis (23/9/2021).

Pada webinar tersebut, Kemenkominfo menghadirkan narasumber dari berbagai latar belakang, yakni Direktur Gedhe Nusantara Yossy Suparyo dan dosen Universitas Budi Luhur (UBL) Jakarta Andrea Abdul Rahman Azzqy.

Kemudian, Konsultan Sumber Daya Manusia (SDM) sekaligus praktisi keuangan Eva Yayu Rahayu serta CEO Kaizen Room Ismita Saputri.

Pada webinar tersebut, Yossy Suparyo memaparkan bahwa cyberbullying adalah perilaku agresif yang dilakukan suatu kelompok atau individu menggunakan media elektronik.

Hal itu dilakukan berulang-ulang dari waktu ke waktu pada seseorang yang dianggap tidak mampu melakukan perlawanan (submissive) atas tindakan tersebut.

"Bullying dan cyberbullying yang dilakukan secara langsung ataupun tatap muka sering kali dapat terjadi secara bersamaan. Namun, cyberbullying meninggalkan jejak digital berupa rekaman atau catatan yang dapat dijadikan bukti ketika pihak berwenang membantu korban menindak pelaku," ujar Yossy dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Senin (27/9/2021).

Yossy menambahkan, salah satu bentuk cyberbullying adalah pertengkaran dengan melibatkan kemarahan dan bahasa vulgar yang dilakukan menggunakan pesan elektronik.

Contoh lainnya adalah harassment. Bentuknya berupa pesan buruk, kejam, dan menghina yang dikirimkan secara berulang-ulang.

Ada pula denigration. Pelaku denigration mencederai korban dengan mengirim atau memuat rumor tertentu. Dengan begitu, reputasi dan relasi seseorang dengan korban rusak.

“Lalu, ada pula impersonation, yakni tindakan berpura-pura untuk menjadi orang lain dan kemudian mengirim atau membuat sesuatu yang dapat membuat orang lain berada dalam masalah atau merusak reputasi dan relasinya,” jelas Yossy.

Pada kesempatan yang sama, Eva Yayu Rahayu mengatakan bahwa tindakan saling menindas, baik pada remaja maupun orang dewasa, sudah ada sejak lama. Bahkan, jauh sebelum adanya komputer dan internet.

Penindasan tersebut bisa berbentuk perbuatan melecehkan, mengancam, mempermalukan, mengganggu, dan berbagai hal yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang pada pihak lain sebagai sasaran kejahatan.

"Seiring dengan meluasnya pemanfaatan teknologi informasi, cara penindasan kini turut bertransformasi,” terang Eva.

Untuk menghadapi cyberbullying, Eva mengimbau masyarakat agar tidak memberikan respons yang dapat memicu tindakan ekstrem oleh pelaku.

“Jangan membalas dengan perbuatan serupa. Simpan semua bukti perbuatan penindasan dan selalu hindari media sosial yang memprovokasi. Percaya dirilah dengan kelebihan dan kekuranganmu, jangan biarkan opini orang lain menenggelamkan suara dari dalam lubuk hatimu,” tutur Eva.

Sementara itu, Ismita Saputri memaparkan karakteristik digital society yang memiliki kecenderungan tidak menyukai aturan yang mengikat.

"Mereka (digital society) terbiasa untuk belajar bukan dari instruksi, melainkan mencari sendiri konten atau informasi yang diinginkan. Oleh karena itu, diperlukan digital safety," kata Eva.

Eva menambahkan, digital safety merupakan kemampuan individu dalam mengenali, memolakan, menerapkan, menganalisis, dan meningkatkan tingkat keamanan digital dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh karena itu, lanjut Eva, aktivitas di dunia maya dan nyata harus dilakukan dengan seimbang.

Pada kesempatan tersebut, Eva juga mengimbau orangtua agar tidak menggunakan gawai sebagai cara untuk menghentikan anak yang tengah rewel. Sebagai alternatif, orangtua perlu berkomunikasi secara terbuka dengan anak tanpa harus mengandalkan smartphone.

Adapun pada sesi key opinion leader (KOL), Stephanie Cecillia mengungkapkan bahwa konteks kecantikan berkaitan erat dengan tindakan cyberbullying.

"Jika terkena cyberbullying jangan dipendam sendiri. Ceritakan pada orangtua, sahabat, atau bisa datang ke tenaga profesional," pesannya.

Sebagai informasi, webinar tersebut merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kota Tangerang Selatan yang diselenggarakan Kemenkominfo. Webinar ini terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar tentang dunia literasi digital.

Kemenkominfo mengajak seluruh pihak untuk berpartisipasi dengan mengikuti webinar tersebut melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten.

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang Gerakan Nasional Literasi Digital, Anda dapat mengikuti akun Instagram @siberkreasi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com