Advertorial

Hutan, Masyarakat Adat, dan Krisis Iklim

Kompas.com - 02/10/2021, 14:31 WIB

KOMPAS.com – Masyarakat adat merupakan salah satu garda terdepan dalam upaya pemerintah untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen pada 2030.

Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), hutan adat di Indonesia telah berkontribusi menjaga karbon sebesar 32,7 gigaton.

Selain itu, Presiden Joko Widodo pada pidatonya di COP21 Paris menyatakan bahwa pelibatan masyarakat adat penting dalam mengatasi perubahan iklim. Pasalnya, hutan adat menyimpan 20 persen karbon hutan tropis dunia.

Sayangnya, eksistensi hutan adat kini justru terancam. Upaya penjarahan sumber daya alam dan pengalihan fungsi hutan kian menyingkirkan hak-hak masyarakat adat.

Sebagai penjaga alam terbaik, suara masyarakat adat penting didengar oleh publik dan para pengambil kebijakan. Hal inilah yang mendorong Kemitraan untuk berkolaborasi dengan Komunitas Pemuda Pemudi Pro Keadilan Iklim (Koprol Iklim).

Melalui kolaborasi tersebut, Kemitraan dan Koprol Iklim memfasilitasi diskusi dengan anak muda perwakilan masyarakat adat yang telah memiliki inisiatif nyata dalam upaya penyadaran publik terkait krisis iklim.

Anggota Perkumpulan Papuan Voice Roberto Yekwan mengatakan, masyarakat di Papua mencari makan di hutan. Selama ini, orang Papua melindungi dan menyebut hutan dengan julukan “Mama” yang berarti sumber kehidupan masyarakat.

“Akan tetapi, masuknya perusahaan-perusahaan sawit membuat masyarakat sekitar menjadi tersisihkan. Perusahaan-perusahaan tersebut datang dengan janji membangun sekolah dan lingkungan yang lebih baik. Namun, pada kenyataannya tidak. Masyarakat sekitar sendiri semakin terpinggirkan karena para pekerja bukan berasal dari Papua,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (2/10/2021).

Kondisi yang dialami masyarakat adat Papua juga terjadi di belahan Indonesia lainnya. Salah satunya di Kalimantan.

Di tengah posisi yang semakin terjepit, Programming Committee Kalimantan International Indigenous Film Festival Sumarni Laman percaya bahwa pemuda mempunyai kekuatan besar dalam menanggulangi krisis iklim dan diskriminasi. Salah satunya, melalui film.

“Melalui film, saya berusaha mengadvokasi dan mengampanyekan peran aktif pemuda adat dalam menjaga lingkungannya. Misalnya, dengan membuat dokumentasi kehidupan lokal masyarakat adat. Dengan kearifan lokal dan pengelolaan tradisional, kita akan mampu melindungi hutan,” terangnya.

Sumarni juga menyebut anak muda merupakan agen perubahan. Ia percaya bahwa anak muda dapat melakukan perubahan.

“Sekecil apa pun hal yang kita lakukan, pasti akan bermakna. Hal yang terpenting kita tidak hanya diam,” kata Sumarni.

Sementara itu, Direktur Advokasi Hukum dan HAM AMAN Muhammad Arman menyebut, hak masyarakat adat harus dipenuhi. Salah satunya, dengan pemetaan wilayah adat.

Menurutnya, pengakuan terhadap keberadaan masyarakat adat akan semakin mengoptimalkan upaya-upaya pencegahan perubahan iklim.

"Masyarakat adat adalah kunci mencegah perubahan iklim. Oleh karena itu, kita harus mengakui dan melindungi hak masyarakat adat. Kolaborasi antarpemerintah, CSO, masyarakat, termasuk anak muda seperti inilah satu-satunya jalan untuk bisa memperjuangkan hak-hak masyarakat adat,” ujar Arman.

Program Manager Kemitraan Aji berharap, kolaborasi tersebut dapat mendorong pemerintah dalam meningkatkan pengakuan wilayah dan hak-hak masyarakat adat.

Selain itu, lanjut Aji, memberikan ruang dan kesempatan yang lebih luas bagi para pemuda adat untuk menjadi pemimpin-pemimpin yang selalu peduli terhadap kelestarian alam.

Dengan demikian, ketahanan masyarakat dalam menghadapi perubahan iklim semakin kuat.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau