KOMPAS.com – Perkembangan teknologi yang pesat mengubah formasi sosial dalam bentuk budaya digital. Perubahan ini juga terjadi pada perilaku konsumen yang menginginkan segala sesuatu agar lebih praktis dan cepat.
Akibatnya, pemasaran dan transaksi yang dulunya dilakukan secara offline, kini kebanyakan dilakukan secara online.
Co-FounderPitakonan Studio and Management sekaligus pegiat literasi komunikasi Maryam Fithriati pun mengamini hal tersebut dan diutarakan dalam webinar bertajuk “Jangan Iya-iya Saja, Pahami Agar Tidak Terjebak Penipuan Online”, Selasa (2/11/2021).
Ia mengatakan, menurut data World Economic Forumpada Juli 2020, penggunaan sejumlah aplikasi penunjang transaksi digital mengalami peningkatan. Aplikasi tersebut di antaranya adalah e-commerce sebesar 42 persen, e-banking 34 persen, pesan-antar makanan atau online delivery sebesar 34 persen, dan dompet digital atau e-wallet sebesar 27 persen.
“Salah satu faktor peningkatan transaksi digital adalah pandemi Covid-19. Selama Januari-Juli 2020, nilai transaksi uang elektronik bulanan mencapai Rp 16,7 triliun. Angka ini meningkat 59 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019, yaitu sebesar Rp 9,9 triliun,” kata Maryam dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Selasa (16/11/2021).
Walau demikian, lanjutnya, 38 persen pengguna internet di Asia Tenggara masih mengabaikan keamanan saat berselancar di dunia maya.
“Menurut data Kaspersky pada September 2020, lebih dari 90 persen negara kurang memperhatikan pentingnya keamanan siber, termasuk Indonesia. Padahal, keamanan digital merupakan upaya perlindungan terhadap aset dan informasi digital, baik individu maupun kelompok,” papar Maryam.
Menguatkan pernyataan Maryam, key opinion leader (KOL) Bella Ashari menceritakan pengalamannya menjadi korban modus dari kejahatan online, yaitu penipuan dan pengancaman.
“Saya merupakan influencer dan pernah bekerja sama dengan salah satu brand online shop. Di lain waktu, ternyata foto untuk brand itu justru disalahgunakan untuk menipu,” kata Bella.
Sejak saat itulah, ia belajar untuk lebih mengenal produk yang hendak dipromosikan. Pasalnya, penipuan dengan modus penyalahgunaan foto influencer berpotensi untuk menjaring banyak korban.
“Walau demikian, banyak cara (yang dapat digunakan) agar masyarakat bisa menghindari kejahatan saat bertransaksi digital. Misalnya, mengingatkan orang tua agar lebih hati-hati mengklik link, lihat terlebih dahulu apakah sudah kredibel. Kalau dari Blogspot atau Wordpress itu perlu dicurigai mengarah ke penipuan. Kalau diawali dengan https, biasanya aman,” papar Annisa.
Akan tetapi, lanjutnya, bila akun sudah terlanjur terkena hack, pengguna perlu segera mengganti password sebagai langkah pertama. Jika tidak kunjung kembali, laporkan ke customer service (CS) aplikasi.
Sebagai informasi, webinar “Jangan Iya-iya Saja, Pahami Agar Tidak Terjebak Penipuan Online” merupakan salah satu rangkaian kegiatan #MakinCakapDigital yang digelar oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dengan Jaringan Pegiat Literasi Digital (Japelidi) dan Siberkreasi Gerakan Nasional Literasi Digital.
Kegiatan tersebut diselenggarakan hingga akhir tahun. Setiap webinar terbuka bagi siapa saja yang ingin menambah wawasan dan pengetahuan mengenai literasi digital. Peserta yang mengikutinya juga akan mendapatkan e-certificate.
Melalui program itu, masyarakat Indonesia diharapkan bisa memanfaatkan teknologi digital dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai dalam kehidupan berbudaya, berbangsa, dan bernegara.
Program literasi digital juga mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak yang terlibat sehingga dapat mencapai target 12,5 juta partisipan.
Untuk informasi lebih lanjut, Anda bisa mengikuti akun Instagram @siberkreasi dan @siberkreasi.dkibanten.