Advertorial

Pahami Literasi dan Budaya Digital agar Terhindar dari Konten Negatif di Media Digital

Kompas.com - 09/12/2021, 12:07 WIB

KOMPAS.com – Perkembangan pesat teknologi digital membuat informasi kian mudah didapat. Pengguna bisa memanfaatkan informasi sebesar-besarnya sesuai kebutuhan secara gratis dan murah.

Sayangnya, hal ini tak selamanya mendatangkan manfaat jika masyarakat tak memiliki kemampuan untuk memahami, mengolah, dan menyaring informasi dengan tepat.

Seperti diketahui, tingkat literasi digital masyarakat Indonesia masih tergolong rendah. Arus informasi yang deras justru berpotensi menyebabkan masyarakat terpapar hoaks. 

Menyikapi hal tersebut, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menggelar seri webinar literasi digital #MakinCakapDigital bertema "Cerdas dan Bijak Berinternet: Pilah Pilih Sebelum Sebar", Senin (15/11/2021). Webinar tersebut digelar di Kabupaten Tangerang dan diikuti puluhan peserta secara daring. 

Kemenkominfo mengundang sejumlah ahli sebagai narasumber, yakni Peneliti Paramadina Public Policy Institute Septa Dinata, Founder PT Let’s Smart Consulting and Professional Speaker Divdeni Syafri serta praktisi dan dosen Manajemen Komunikasi Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Mandala Indonesia (STIAMI) Wulan Furrie.

Selanjutnya, dosen Universitas Serang Raya sekaligus anggota Indonesian Association for Public Administration (IAPA) Delly Maulana serta key opinion Leader (KOL) Sheila Siregar.

Adapun tema yang dibahas masing-masing narasumber meliputi digital skills, digital ethics, digital culture, dan digital safety.

Septa yang menjadi pemateri pertama memaparkan mengenai perbedaan misinformation dan disinformation sebagai salah satu risiko perkembangan pesat teknologi digital. 

Ia menjelaskan bahwa misinformation adalah informasi yang dibuat untuk menyesatkan atau dibagikan tanpa niat untuk memanipulasi orang. Sementara, disinformation mengacu pada upaya yang disengaja untuk membingungkan atau memanipulasi orang dengan informasi yang tidak jujur.

Ia mengimbau para peserta webinar untuk selalu mengecek sumber informasi untuk menghindari misinformation dan disinformation.

"Jika menemukan sebuah cerita dari sumber yang belum pernah terdengar sebelumnya, Anda bisa melakukan penggalian informasi," ujar Septa dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (7/12/2021).

Sementara itu, Divdeni Syafri menambahkan bahwa saat ini, berbagai aspek kehidupan tidak terlepas dari penggunaan dan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Hal ini turut mengubah perilaku dan kebiasaan masyarakat.

"Terjadi pergeseran pola pikir, sikap, dan tindakan masyarakat dalam akses dan distribusi informasi. Saat ini, digitalisasi adalah peluang. Pengguna bisa menciptakan inovasi dan survive," ujar Divdeni.

Pengguna internet, lanjut Divdeni, berasal dari berbagai negara, bahasa, budaya, serta adat istiadat yang berbeda. Hal tersebut rentan membuat seseorang bertindak tidak etis berkat kehadiran berbagai fasilitas di internet.

Ia pun memberikan tips menggunakan media sosial yang aman, yakni gunakan sesuai kebutuhan dan minat.

Menurutnya, setiap pengguna harus menjadwalkan dan membatasi waktu penggunaan media sosial supaya lebih produktif. Bila perlu, manfaatkan waktu luang untuk memantau lini masa halaman media sosial.

"Manfaat cakap dan beretika di dunia digital adalah mampu menciptakan tatanan masyarakat dengan pola pikir dan pandangan yang kritis maupun kreatif. Hal ini membuat masyarakat tidak mudah termakan oleh isu yang provokatif, menjadi korban informasi hoaks, serta korban penipuan yang berbasis digital,” kata Divdeni.

Pentingnya menerapkan budaya dan literasi digital

Narasumber lainnya, Wulan, memaparkan pentingnya menerapkan budaya digital.

Menurutnya, budaya Digital adalah kemampuan individu dalam membaca, menguraikan, membiasakan, memeriksa, dan membangun wawasan kebangsaan berdasarkan nilai Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika dalam kehidupan sehari-hari. 

Budaya, kata Wulan, merupakan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya menjadi pola atau cara hidup yang terus berkembang dari suatu kelompok dan diturunkan pada generasi berikutnya.

“Budaya digital merupakan prasyarat dalam melakukan transformasi digital. Penerapan budaya digital bertujuan mengubah pola pikir agar dapat beradaptasi dengan perkembangan digital,” ujar Wulan. 

Praktisi dan lembaga pendidikan, lanjut Wulan, dituntut mampu menyelaraskan antara perubahan zaman yang ditandai dengan kecanggihan teknologi dan nilai-nilai budi pekerti.

“Sekolah dapat berperan sebagai benteng moral bagi siswa. Dengan demikian anak-anak dapat tumbuh beriringan dengan teknologi dan memanfaatkannya untuk hal positif,” tuturnya.

Hal senada turut disampaikan Delly yang merupakan akademisi di Universitas Serang Raya. Ia mengatakan, terdapat sejumlah kompetensi yang perlu dimiliki setiap pengguna media digital.

Beberapa di antaranya adalah memiliki kecakapan dan budaya digital sebagai benteng dalam berinteraksi secara digital. Kemudian, pengguna juga perlu memahami seluk-beluk keamanan serta etika dalam beraktivitas digital.

Sementara itu, Sheila Siregar memaparkan bahwa kemudahan akses internet memiliki efek positif dan negatif. Adapun efek positifnya adalah pengguna dapat mengetahui peristiwa yang terjadi dalam hitungan detik secara mudah.

Meski demikian, Sheila tak menampik bahwa kemudahan akses internet juga memiliki dampak negatif. Perkembangan arus informasi yang pesat membuat persebaran informasi palsu kian marak. Selain itu, terdapat risiko kejahatan siber, seperti penipuan online, phishing, serta pencurian data.

“Oleh karena itu, penting bagi setiap pengguna internet memiliki kemampuan literasi digital untuk melindungi diri dari dampak negatif dunia maya," ujar Sheila.

Setelah narasumber memaparkan materi, para partisipan dipersilakan untuk mengutarakan pertanyaan ataupun tanggapan.

“Bagaimana cara kita untuk mengetahui berita yang dibaca itu asli atau sudah dimodifikasi?” tanya peserta bernama Sri Hasdiatuti.

Septa yang menjawab pertanyaan tersebut menjelaskan bahwa berita yang memiliki konten terlalu provokatif dan hatespeech bisa dipastikan sebagai hoaks.

Untuk mengujinya, pengguna dapat melihat adanya narasumber yang dijadikan rujukan dalam berita tersebut.

“Biasanya, portal berita yang banyak mengandung hoaks, domain situsnya terlihat asing. Bahkan, cenderung menggunakan domain gratisan," jawab Septa.

Sebagai informasi, webinar #MakinCakapDigital merupakan salah satu rangkaian kegiatan literasi digital di Kabupaten Tangerang. Kegiatan ini terbuka bagi semua orang yang berkeinginan memahami dunia literasi digital.

Penyelenggara pun membuka peluang sebesar-besarnya kepada semua anak bangsa untuk berpartisipasi pada agenda webinar selanjutnya melalui akun Instagram @siberkreasi.dkibanten dan @siberkreasi.

Kegiatan webinar tersebut juga turut mengapresiasi partisipasi dan dukungan semua pihak sehingga dapat berjalan dengan baik. Sebab, program literasi digital ini hanya akan sukses mencapai target 12,5 juta partisipan jika turut didukung oleh semua pihak yang terlibat.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com