KOMPAS.com – Pemindahan ibu kota negara (IKN) Indonesia ke Kalimantan Timur (Kaltim) membuka lebar peluang investasi di Kalimantan yang selama ini belum terlalu diminati.
Hal tersebut ia diungkapkan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo dalam acara bertajuk “Kompas Talks: Ekonomi Kalimantan 2022” yang digelar secara virtual, Rabu (8/12/2021).
“Saat ini, terdapat beberapa proyek strategis nasional yang siap ditawarkan untuk investasi. Proyek itu di antaranya pembangunan ibu kota negara baru (IKNB) di Kaltim, pembangunan lumbung pangan (food estate) di Kalimantan Tegah (Kalteng), serta pembangunan tiga smelter di Kalteng dan Kalimantan Selatan (Kalsel),” papar Dody.
Selain itu, lanjut Dody, pihaknya juga tengah memastikan pusat pertumbuhan dan kesejahteraan telah terdistribusi dengan baik. Dengan begitu, pembangunan dan investasi di wilayah Kalimantan akan merata.
“Tugas kami adalah memastikan bahwa seluruh daya dan upaya yang dihadirkan untuk menstimulus peningkatan investasi secara nasional juga bisa memberikan dampak turunan positif bagi perekonomian,” katanya.
Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) atau Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, investasi di Kalimantan masih didominasi sektor primer ekstraktif, seperti pertambangan batubara dan perkebunan sawit.
“Hal tersebut memicu kesenjangan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita dengan daerah lain. Contohnya saja, Kalsel yang nilai ekspornya dikuasai pertambangan sebesar 71 persen. Dampaknya, Kalsel menjadi provinsi dengan nilai share investasi terendah di antara lima provinsi lain di Kalimantan,” papar Amalia.
Pada 2022, Kalimantan menargetkan dapat mengalami pertumbuhan ekonomi hingga sebesar 5,2-5,5 persen yang ditunjang dengan penekanan tingkat pengangguran hingga 4,47-5,36 persen.
Oleh karena itu, kata Amalia, Kalimantan membutuhkan investasi yang lebih luas lagi di berbagai sektor.
“Saat ini, pemerintah juga tengah membuat kurang lebih 16 proyek strategis nasional (PSN) di Kalimantan dengan nilai mencapai Rp 507,3 triliun. Proyek ini, untuk memicu diversifikasi investasi di Kalimantan,” ujar Amalia.
Ia juga menjelaskan, masyarakat harus siap menghadapi perubahan bila telah mendapatkan permintaan dan peluang investasi, seperti perubahan wilayah dari yang semula didominasi perkebunan sawit menjadi kawasan industri.
Untuk itu, pihaknya menilai bahwa pemerintah perlu membuat kebijakan terkait empat faktor yang dapat mendorong kemajuan di Kalimantan.
“Perekonomian Kalimantan harus dapat tumbuh tinggi. Karena pertumbuhan rata-ratanya hampir sama dengan nasional, sementara potensi yang dimiliki Kalimantan sangat besar,” tutur Amalia.
Kemudian, katanya, pertumbuhan ekonomi juga harus inklusif karena di Kalimantan ada kesenjangan pendapatan yang sangat signifikan. Terakhir, harus ada keberlanjutan dan modernisasi jika IKN telah berdiri nanti.
Kebijakan investasi hijau
Selain mengedepankan investasi, Kepala Kantor Perwakilan Wilayah BI Kalimantan Selatan Amanlison Sembiring mengatakan, Indonesia juga perlu menciptakan kebijakan yang lebih bersahabat dengan alam.
Hal tersebut disebabkan oleh perubahan iklim yang membuat negara-negara, termasuk Indonesia, lebih aware sehingga sepakat untuk menanggulangi berbagai kebijakan yang merusak iklim.
Menurutnya, Kalimantan perlu dilakukan transformasi manufaktur melalui upaya hilirisasi sumber daya alam (SDA), seperti coal upgrading, gasifikasi batubara, dan oleofood dari minyak kelapa sawit menjadi margarin.
Selain itu, pengembangan industri ban otomotif selain sekadar getah karet juga perlu diupayakan.
”Ekonomi Kalimantan hanya digerakkan sektor primer. Tanpa hilirisasi, niscaya ekonomi Kalimantan akan rentan karena dikontrol negara mitra dagang,” tutur Amanlison.
Mengamini Amanlison, ekonom senior dari Core Indonesia, Hendri Saparini mengatakan bahwa Kalimantan memiliki potensi yang luar biasa dari luas wilayah dan kekayaan yang ada di dalamnya.
“Sayangnya, sumbangan nasional Kalimantan hanya 7,94 persen. Artinya, masih banyak potensi yang belum dioptimalkan,” ungkapnya.
Ia melanjutkan, selama 20 tahun ke belakang, Kalimantan belum memiliki perubahan strategi ekonomi yang berarti.
“Semua kebijakan hanya fokus pada batubara dan perkebunan sawit. Hal itu yang menyebabkan perekonomian di Kalimantan sangat fluktuatif sehingga harga ditentukan oleh negara lain,” tutur Hendri.
Untuk itu, ia berharap agar Kalimantan memilki strategi kebijakan yang jauh lebih detail untuk mengubah struktur ekonominya.
“Saya percaya, kebijakan daerah di Kalimantan akan menjadi lebih baik. Dari sisi respons birokrasi semakin efektif, rencana pembangunan jangka menengah daerah implementatif, dan tata kelola pemerintah baik,” tutur Hendri.