KOMPAS.com - Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) New Delhi menggelar diskusi daring bertajuk “Arti Penting Prasasti Pucangan dan Upaya Pengembaliannya”, Kamis (23/12/2021). Diskusi ini digelar untuk mendapatkan pemahaman mengenai pentingnya pengembalian Prasasti Pucangan beserta upaya repatriasi.
Sebelumnya, Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) KBRI New Delhi Masni Eriza mengatakan, jajaran KBRI New Delhi telah berhasil menemukan lokasi Prasasti Pucangan di Museum Nasional India di Kalkuta. Selanjutnya, ia pun mengajak para peserta diskusi untuk memikirkan langkah konkret setelah penemuan prasasti tersebut.
Untuk diketahui, Prasasti Pucangan merupakan prasasti peninggalan Raja Airlangga yang ditemukan di wilayah Jawa Timur. Bersama Prasasti Sangguran, prasasti ini diserahkan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Timur pada masa itu, Sir Stamford Raffles, kepada atasannya, Gubernur Jenderal India Lord Minto.
“Saat ini, Prasasti Pucangan atau yang dikenal sebagai Calcutta Stone masih berada di India. Sementara, Prasasti Sangguran dibawa kembali oleh Lord Minto ke Inggris dan di sana dikenal sebagai Minto Stone,” kata Masni dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis.
Guru Besar Arkeologi Universitas Indonesia Profesor Agus Aris Munandar yang menjadi narasumber pada diskusi tersebut mengatakan bahwa dari segi ilmu pengetahuan, isi Prasasti Pucangan punya nilai histori tinggi. Isinya melengkapi rangkaian narasi sejarah Indonesia sekaligus mengisi gap sejarah yang saat ini masih kosong.
“Selain itu, keberadaan Prasasti Pucangan (untuk Indonesia) menjadi penting karena dapat menjadi penguat jati diri bangsa Indonesia. Pasalnya, isi prasasti ini merupakan bukti pencapaian bangsa Indonesia, khususnya catatan kemajuan dalam sistem pemerintahan,” ujar Prof Agus.
Sementara itu, peneliti Pusat Pengembangan Arkeologi Nasional Titi Surti Nastiti menambahkan, Undang-Undang Cagar Budaya telah mengamanatkan pemerintah untuk melestarikan cagar budaya, seperti prasasti.
Pasalnya, prasasti memiliki nilai penting karena mengandung muatan sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, serta kebudayaan.
Walau sudah memenuhi syarat sesuai Undang-Undang Cagar Budaya, lanjut Titi, Prasasti Pucangan belum masuk dalam daftar Benda Cagar Budaya.
“Oleh karena itu, Prasasti Pucangan perlu ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya untuk dapat memperoleh pelindungan,” kata Titi.
Upaya repatriasi
Mengingat Prasasti Pucangan berada di luar negeri, pemerintah perlu melakukan upaya repatriasi sebagai wujud perlindungan. Hal ini bertujuan agar prasasti ini dapat dirawat dan dipelajari di Indonesia
Sebagai langkah awal upaya repatriasi, direktorat regional terkait di Kemenlu akan menindaklanjuti laporan KBRI atas penemuan Prasasti Pucangan beserta hasil diskusi daring pada Kamis. Selanjutnya, hasil rekomendasi diskusi ini akan ditindaklanjuti melalui rapat interkem yang melibatkan berbagai pihak.
Sebut saja, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbud Ristek), Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), serta Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas).
Mewakili Kemenlu, Direktur Hukum dan Perjanjian Sosial Budaya V Hesti Dewayani menyampaikan bahwa upaya repatriasi dapat dilakukan menurut standard operating procedure (SOP) Pengembalian Benda Budaya Indonesia yang Berada di Luar Negeri. Kebijakan ini dikeluarkan oleh Menteri Luar Negeri pada 2020.
“SOP tersebut mengatur langkah-langkah yang harus dilakukan pihak terkait di Indonesia dalam proses repatriasi,” ujar Hesti.
Sebagai informasi, diskusi daring tersebut menghasilkan rekomendasi untuk melindungi Prasasti Pucangan sesuai dengan amanat Undang-Undang Cagar Budaya. Prasasti Pucangan dinilai sebagai benda budaya bernilai tinggi dan penting untuk sejarah Indonesia.