Advertorial

Mendagri Ungkap Penyebab Pejabat Negara Kerap Terjerat Korupsi

Kompas.com - 24/01/2022, 19:19 WIB

KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mengungkapkan penyebab utama kasus korupsi marak terjadi di kalangan pejabat negara.

Tito mengatakan bahwa berdasarkan hasil analisis yang dilakukan Kemendagri, penyebab pertama adalah kehadiran celah pada sistem pemerintahan.

“Beberapa di antaranya adalah sistem administrasi pemerintahan yang tidak transparan, politik berbiaya tinggi, serta rekrutmen aparatur sipil negara (ASN) dengan imbalan,” ujar Tito dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (24/1/2022).

Hal itu disampaikan Mendagri pada rapat kerja yang digelar secara virtual dari Ruang Sasana Bhakti Praja (SBP), Kantor Pusat Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Senin.

Adapun peserta rapat terdiri dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri, Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Abdullah Azwar Anas, kepala daerah, serta Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi, kabupaten dan kota se-Indonesia.

Tito melanjutkan, sejumlah penerapan administrasi pemerintahan juga turut membuka peluang tindakan korupsi bisa terjadi.

Misalnya, sistem yang masih mengandalkan pertemuan fisik, alur birokrasi berbelit-belit, dan regulasi yang terlalu panjang.

“Penerapan sistem administrasi pemerintahan seperti itu berpotensi memunculkan tindakan transaksional,” kata Tito.

Oleh karena itu, Tito menganggap bahwa sistem administrasi pemerintahan yang lebih transparan dan mengurangi kontak fisik perlu diterapkan.

Hal tersebut, imbuhnya, dapat dilakukan dengan memanfaatkan layanan digitalisasi di berbagai bidang, mulai dari perencanaan hingga eksekusi kebijakan.

Kemendagri pun berinisiatif memunculkan berbagai konsep untuk menunjang transparansi dalam pengelolaan administrasi, seperti smart city, smart government, dan e-government.

“Saya kira, tindakan korupsi yang dilakukan pejabat negara terjadi karena ada celah pada sistemnya. Oleh karena itu, perbaikan sistem pengelolaan administrasi perlu kami lakukan,” katanya.

Penyebab kedua, lanjut Tito, adalah integritas dan kesejahteraan penyelenggara negara yang minim.

“Kebanyakan kasus korupsi terjadi karena kurang sejahteranya penyelenggara negara. Akibatnya, mereka berusaha mencari celah dan melakukan tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Mendagri pada rapat kerja di Kantor Pusat Kemendagri. DOK. Mendagri Mendagri pada rapat kerja di Kantor Pusat Kemendagri.

Oleh karena itu, Kemendagri senantiasa memikirkan aspek kesejahteraan dari para ASN guna mencegah terjadinya tindak pidana korupsi.

Meski demikian, Tito menyadari bahwa hal ini tidak menjamin menghilangkan perilaku korup di kalangan penyelenggara negara.

Memutus rantai budaya korupsi

Tito melanjutkan bahwa penyebab korupsi lainnya adalah kebiasaan turun-temurun yang sudah menjadi budaya (culture). Praktik yang salah seperti korupsi sudah menjadi hal biasa dilakukan sehingga dianggap benar.

Mendagri mencontohkan, beberapa penyelenggara negara masih mengukur prestasi bawahan dari loyalitas, meski yang dilakukan melanggar aturan.

“Budaya (korupsi) seperti itu harus dipotong. Hal ini memerlukan kekompakan dari jajaran atas sampai dengan bawah, memiliki kesamaan visi, serta frekuensi yang sama,” tutur Tito.

Tindak pidana korupsi, lanjut Tito, harus ditekan seminimal mungkin. Hal ini dilakukan demi mewujudkan pemerintahan yang bersih.

Pasalnya, penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dapat meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).

“Hal ini (juga) dapat meningkatkan kesejahteraan ASN sekaligus sebagai salah satu solusi menekan tindak pidana korupsi,” tuturnya.

Tito pun berpesan kepada semua pihak untuk turut mengatasi berbagai penyebab praktik korupsi.

Untuk diketahui, Mendagri menggelar rapat kerja tersebut karena keprihatinan terhadap fenomena operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK kepada berbagai pihak penyelenggara negara.

“Salah satunya kepala daerah yang baru-baru ini terjaring OTT oleh KPK,” kata Tito.

Tito melanjutkan bahwa kasus korupsi yang melibatkan kepala daerah, selain berdampak pada individu yang bersangkutan, juga berimbas pada sistem pemerintahan. Hal ini pun berdampak pada kepercayaan publik terhadap pemerintah.

Hal tersebut, ujar Tito, juga dapat menghambat pembangunan. Sistem pemerintahan sebagai tulang punggung pemerintahan negara pun dapat terganggu.

Tito meyakini, banyak kepala daerah berprestasi yang telah melakukan kinerja dengan baik. Meski demikian, kepala daerah yang tersangkut masalah hukum harus ditangani oleh penegak hukum.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau