Advertorial

TBC Masih Jadi Ancaman di Indonesia, STPI Selenggarakan Kampanye Digital #141CekTBC untuk Edukasi Masyarakat

Kompas.com - 21/02/2022, 10:00 WIB

KOMPAS.com – Tuberkulosis (TBC) menjadi salah satu penyakit mematikan di Indonesia. Penyakit ini menyebabkan sekitar 98.000 kematian pada 2020.

Di tingkat global, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pasien TBC terbesar ketiga di dunia, setelah India dan China. Berdasarkan laporan Badan Kesehatan Dunia (WHO) “Global Tuberculosis Report 2021”, jumlah pasien TBC di Indonesia mencapai 824.000.

Pengendalian penyakit infeksi paru-paru tersebut menghadapi kendala ketika Covid-19 menyerang seluruh dunia. Akibat pandemi, akses pengobatan bagi pasien TB merosot drastis.

Masih dari data yang sama, keterbatasan tersebut meningkatkan angka kematian akibat TBC secara global, dari perkiraan 1,2 juta kematian di antara orang dengan negatif HIV pada 2019 menjadi 1,3 juta kematian di 2020.

Pandemi juga menjadi salah satu faktor penyebab penurunan diagnosis TBC secara global pada rentang 2019-2020. Untuk hal ini, Indonesia menjadi penyumbang kedua penurunan terbesar (14 persen) setelah India (41 persen).

Tren negatif itu menyebabkan cakupan pasien TBC yang dirawat secara global menurun menjadi 59 persen pada 2020 dari 72 persen di 2019. Indonesia ditempatkan sebagai negara yang memiliki tingkat perawatan pasien TBC yang rendah, yakni di bawah 50 persen.

Laporan WHO juga menemukan bahwa pada 2020 terjadi gap antara perkiraan kejadian TBC dan orang yang baru didiagnosis. Indonesia menjadi negara kedua dengan gap terbesar setelah Filipina.

Kondisi tersebut menjadi “alarm” bagi semua pihak untuk segera mengatasi TBC. Masyarakat pun perlu segera diedukasi terkait TBC sehingga diagnosis dini bisa dilakukan.

Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dr Henry Diatmo menjelaskan bahwa tingkat diagnosis TBC di Indonesia yang rendah juga disebabkan oleh kesadaran masyarakat akan penyakit ini masih minim.

Masyarakat Indonesia, kata dia, memiliki sedikit pengetahuan terkait pemeriksaan dan pengobatan TBC. Banyak masyarakat belum tahu bahwa penyakit ini harus diobati secara kontinu dan tanpa putus dalam waktu lama.

“Selain itu, terdapat anggapan bahwa seseorang bisa menerima pengobatan tanpa melakukan tes atau diagnosis terlebih dahulu,” kata dr Henry dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (19/2/2022).

Kondisi itu juga diperburuk dengan stigma negatif yang ditujukan pasien TBC di masyarakat. Alhasil, penyakit infeksi paru-paru ini susah ditanggulangi.

Kampanye Digital #141CekTBC untuk edukasi TBC

Guna meningkatkan kesadaran masyarakat akan penyakit TBC, STPI mengambil inisiatif dengan memulai Kampanye Komunikasi Digital #141CekTBC. Kampanye #141CekTBC merupakan kepanjangan dari “Jika 14 Hari Batuk Tak Reda? 1 Solusi, Cek Dokter Segera!”

Kampanye digital tersebut sejalan dengan program kampanye Temukan Obat Sampai Sembuh (TOSS) TBC dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Dokter Henry menjelaskan, Kampanye #141CekTBC menggunakan pendekatan persuasif. Melalui pendekatan ini , pihaknya berharap bisa meningkatkan pengetahuan, pandangan, dan sikap masyarakat tentang gejala TBC, khususnya di DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Kampanye juga bertujuan untuk membantu masyarakat agar dapat mengakses layanan dan fasilitas diagnosis TBC di masa pandemi.

TBC, lanjut dr Henry, merupakan penyakit menular yang sudah ada sejak lama. Upaya mempromosikan penyakit ini harus mengadopsi cara baru untuk meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa TBC masih ada di sekitar mereka.

Lebih lanjut dr Henry menambahkan, melalui kampanye #141CekTBC, STPI ingin mendorong masyarakat Indonesia untuk memeriksakan diri apabila mempunyai gejala batuk selama 14 hari atau lebih ke fasilitas pelayanan kesehatan.

“TBC bukan batuk biasa. Jika mengalami gejala batuk lebih dari 14 hari, masyarakat bisa mencari solusi dengan memeriksakan diri ke dokter,” ujarnya.

Dokter Henry pun mengajak masyarakat untuk lebih peka dan sadar dengan berbagai gejala umum TBC. Untuk itu, STPI mempromosikan cara skrining gejala aktif TBC secara mandiri dengan mengingat #141CekTBC.

“Dengan begitu, masyarakat menyadari pentingnya melakukan pemeriksaan kesehatan,” ujarnya.

Kampanye #141CekTBC, lanjut dr Henry, telah didukung berbagai fitur yang bisa membantu masyarakat memahami penyakit TBC. Contohnya, fitur Chatbot yang segera bisa diakses dari situs web dan Whatsapp.

Fitur tersebut memiliki berbagai fungsi. Pertama, membantu masyarakat mendapatkan panduan identifikasi TBC sejak dini. Kedua, mengetahui lokasi fasilitas kesehatan terdekat untuk melakukan pemeriksaan di layanan dengan fasilitas diagnosis. Ketiga, membantu masyarakat berkonsultasi langsung dengan dokter melalui rekanan e-health platform.

Selanjutnya, STPI juga melengkapi fitur pengingat 141CekTBC. Fitur ini mampu membantu masyarakat lebih cepat tanggap terhadap gejala TBC dengan memasang pengingat tentang lama gejala batuk muncul hingga hari keempat belas.

Selain itu, Kampanye #141CekTBC juga menyediakan berbagai artikel kesehatan yang bisa diakses melalui laman Stop TB Partnership Indonesia dan microsite Kompas.com.

“Dengan tersedianya artikel kesehatan, saya berharap masyarakat dapat menambah pengetahuan dan meningkatkan kesadaran mereka terhadap TBC. Dengan demikian, mereka tak sungkan untuk memeriksakan diri dan mengobati TBC sampai sembuh,” ujar dr Henry.

Sambut positif Kampanye #141CekTBC

Pemerintah menyambut positif Kampanye #141CekTBC yang dilakukan oleh STPI. Koordinator Substansi Tuberkulosis Kemenkes dr Tiffany Tiara Pakasi mengatakan, penanggulangan TBC telah diatur pada Peraturan Presiden (Perpres) No 67 Tahun 2021. Perpres ini menggarisbawahi urgensi penyebarluasan informasi terkait TBC kepada masyarakat.

Dokter Tiffany menjelaskan bahwa membangun kesadaran masyarakat merupakan hal fundamental yang harus dilakukan dalam menanggulangi TBC. Pasalnya, hal ini dapat mengubah pandangan dan perilaku masyarakat Indonesia terhadap penyakit TBC.

Selain itu, sejak pandemi, banyak masyarakat tidak bisa membedakan gejala batuk dan demam pada TBC dan Covid-19.

“Oleh karena itu, kampanye promosi kesehatan tentang penyakit TBC menjadi semakin penting di masa pandemi,” katanya.

Ia pun berharap, Kampanye #141CekTBC dapat membuat individu yang memiliki gejala TBC untuk memeriksakan diri sedini mungkin.

“Dengan demikian, dapat memutus rantai penularan TBC di masyarakat,” ujar dr Tiffany.

Untuk informasi lebih lanjut mengenai Kampanye #141CekTBC, Anda bisa mengunjungi laman 141.stoptbindonesia.org dan https://tbindonesia.or.id. Selain itu, Anda juga bisa mengunjungi Instagram serta laman Facebook dan Youtube Stop TB Partnership Indonesia.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com