Advertorial

3 Tantangan yang Harus Dihadapi Pasien TBC di Indonesia

Kompas.com - 14/04/2022, 22:05 WIB

KOMPAS.com – Indonesia menduduki peringkat ketiga kasus tuberkulosis (TBC) terbanyak di dunia, setelah India dan China. Sebagai informasi, TBC merupakan penyakit paru yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis dan dapat ditularkan melalui udara.

Dilansir dari laman TB Indonesia, hingga Oktober 2021, terdapat 824.000 kasus TBC di Indonesia dengan 13.110 kasus kematian. Hal ini menjadi permasalahan serius yang harus segera ditangani.

Salah satu cara untuk menekan kasus TBC adalah meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap gejala TBC.

Dari survei online yang dilakukan oleh Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dan StratX pada 2022 terhadap 500 responden berusia 18-39 tahun di DKI Jakarta dan Jawa Barat, hanya 10,1 persen responden yang menganggap bahwa batuk lebih dari dua minggu merupakan gejala TBC.

Sementara itu, pada survei offline terhadap 100 orang, diketahui bahwa hanya 4 persen responden yang menganggap batuk lebih dari 2 minggu adalah gejala TBC.

Kesadaran masyarakat yang rendah terhadap gejala TBC juga diperparah dengan kondisi pandemi Covid-19. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Koordinator Substansi Tuberkulosis Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr Tiffany Tiara Pakasi.

Ia mengatakan, sejak pandemi, banyak masyarakat tidak bisa membedakan gejala batuk dan demam pada TBC dan Covid-19.

Kebanyakan masyarakat menganggap bahwa gejala batuk lebih dari 14 hari mengarah ke infeksi Covid-19. Padahal, batuk lebih dari 14 hari tidak selalu menjadi tanda bahwa seseorang terinfeksi virus corona. Bisa saja, hal ini disebabkan oleh infeksi bakteri Mycobacterium tuberculosis yang merupakan penyebab TBC.

“Oleh karena itu, kampanye promosi kesehatan tentang penyakit TBC menjadi semakin penting di masa pandemi,” katanya.

Dengan demikian, lanjutnya, semakin banyak masyarakat dengan gejala TBC berani memeriksakan diri sedini mungkin dan dapat memutus rantai penularan TBC di masyarakat.

Meski demikian, banyak masyarakat menganggap batuk lebih dari 14 hari bukan sesuatu yang berbahaya. Mereka juga enggan memeriksakan diri ke dokter karena takut dan malu akan didiagnosis TBC.

Jika sudah divonis TBC, pasien akan mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Bahkan, mereka juga tidak mendapatkan dukungan dari keluarga untuk sembuh dari penyakit TBC.

Oleh karena itu, masyarakat memilih untuk mengobatinya dengan obat yang tersedia di warung atau secara herbal. Bila batuk tersebut merupakan gejala TBC, obat warung pun tidak akan cukup. Penderita pun membutuhkan terapi pengobatan yang tepat agar sembuh dari TBC secara tuntas.

Menurut penelitian yang dilakukan Ivan Surya Pradipta dari Departemen Farmakologi dan Farmasi Klinik, Fakultas Farmasi, Universitas Padjajaran dan dipublikasikan di BMC Public Health, terdapat tiga tantangan yang dihadapi pasien TBC.

Dirangkum dari theconversation.com, Selasa (14/12/2021), berikut tiga tantangan yang dihadapi pasien TBC berdasarkan studi tersebut.

  1. Aspek sosio-demografi dan ekonomi

    Pada aspek ini pasien TBC mendapatkan stigma negatif yang membuat diskriminasi terhadap pasien TBC. Stigma negatif ini membuat orang dengan TBC memiliki motivasi yang rendah untuk melakukan pengobatan dan akhirnya tidak mau menjalani pemeriksaan.

    Kemudian, jarak yang jauh menuju fasilitas kesehatan juga menjadi kendala. Meski biaya pengobatan ditanggung pemerintah, masyarakat tetap perlu mengeluarkan biaya untuk keperluan transportasi.

  2. Masalah pemahaman dan persepsi

    Dalam studi tersebut juga menunjukkan bahwa pemahaman dan persepsi masyarakat terkait penyakit TBC masih rendah. Misalnya, tidak sedikit pasien TBC berhenti minum obat sebelum waktunya karena merasa sudah sehat.

    Padahal, pengobatan TBC aktif dilakukan dalam jangka waktu minimal 6 bulan secara tuntas. Berhenti sebelum waktunya akan berdampak pada kemunculan kembali bakteri Mycobacterium tuberculosis.

    Selain itu, tidak sedikit pasien TBC memiliki persepsi negatif terhadap fasilitas kesehatan publik. Mereka menganggap kualitas pelayanan, dokter, dan obat di puskesmas belum optimal.

    Beberapa pasien juga merasa vonis TBC merupakan akhir dari hidupnya karena penyakit ini dianggap tidak bisa disembuhkan.

  3. Durasi terapi TBC

    Durasi terapi dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama menjadi tantangan tersendiri bagi pasien. Pasalnya, selain rasa bosan, efek samping pengobatan TBC juga dapat mengakibatkan kejadian putus obat.

Maka dari itu, karena tidak mau melakukan terapi tersebut, mereka lebih baik menghindarinya dan tidak melakukan pemeriksaan menyeluruh.

Dengan berbagai temuan tersebut, sudah seharusnya masyarakat Indonesia meningkatkan kesadaran terkait TBC, termasuk menyadari gejalanya lebih awal.

Meski demikian, berbagai stigma negatif, permahamanan, dan persepsi yang keliru membuat orang dengan gejala batuk lebih dari 14 hari menjadi ragu untuk pergi ke dokter.

Padahal, jika tidak segera diobati, TBC dapat berdampak cukup serius. Bahkan, dapat menyebabkan komplikasi pada organ tubuh hingga menyebabkan kematian. Oleh karena itu, diagnosis dini penting dilakukan jika mengalami gejala batuk lebih dari 14 hari.

Untuk membantu meningkatkan kesadaran masyarakat, Stop TB Partnership Indonesia (STPI) membangun komunikasi digital, yaitu #141CekTBC – 14 Hari Batuk Tak Reda? 1 Solusi, Cek Dokter Segera!

Sebagai informasi, STPI merupakan wadah kerja sama dan koordinasi antara para mitra, baik organisasi maupun pemerintah, yang memiliki kepedulian untuk pencegahan dan pengendalian TBC di Indonesia.

Masyarakat bisa memanfaatkan fitur chatbot 141CekTBC yang dapat diakses melalui WhatsApp di nomor 08119961141 atau situs web 141.stoptbindonesia.org.

Fitur tersebut dapat menghubungkan masyarakat dengan dokter melalui Halodoc dan komunitas peduli TBC terdekat. Tak hanya itu, fitur Chatbot juga bisa membantu masyarakat menemukan fasilitas kesehatan terdekat untuk mendapatkan penanganan yang tepat.

Dalam situs web tersebut juga tersedia fitur Pengingat 141CekTBC. Fitur ini dapat membantu masyarakat menandai berapa lama gejala batuk yang dialami sudah berlangsung. Jika gejala batuk tersebut sudah mencapai 14 hari atau lebih, masyarakat akan mendapatkan peringatan untuk cek dokter segera.

Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi situs web berikut ini. Bisa juga mengikuti Stop TB Partnership Indonesia melalui akun Instagram, Twitter, dan Facebook.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com