Advertorial

Dear Wajib Pajak, Berikut Manfaat Ikut Program PPS dari Ditjen Pajak

Kompas.com - 31/05/2022, 12:13 WIB

KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 yang melanda dunia sejak awal 2020 memberi pukulan dahsyat bagi negara-negara dunia. Tak hanya sektor kesehatan, Covid-19 juga berdampak pada sektor lain, mulai dari ekonomi, politik, sosial, hingga pendidikan.

Berbagai strategi dan kebijakan pun diambil oleh pemerintah negara-negara dunia untuk mengatasi penyebaran virus SARS-CoV-2, termasuk Indonesia.

Pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Eugenius Savaldo mengatakan, selama dua tahun menghadapi Covid-19, pemerintah telah menggulirkan berbagai kebijakan demi memberikan perlindungan sosial bagi masyarakat.

Pada bidang ekonomi, misalnya, pemerintah memberikan insentif tambahan bagi para tenaga kesehatan (nakes) yang menangani Covid-19 di garda depan. Selain itu, ada pula bantuan langsung tunai (BLT) dan kebijakan insentif perpajakan.

“Agar dapat kembali pulih dari hantaman pandemi Covid-19, diperlukan dana yang tak sedikit. Pemerintah memikirkan berbagai cara untuk menggali potensi guna meningkatkan pendapatan negara yang diperlukan demi mendorong program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) di Tanah Air,” ujar Eugenius dalam keterangan resmi yang diterima Kompas.com, Jumat (27/5/2022).

Salah satunya, pemerintah menghadirkan program di bidang perpajakan, yaitu Program Pengungkapan Sukarela (PPS).

Eugenius menjelaskan, PPS pertama kali diperkenalkan dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang diundangkan pada 29 Oktober 2021.

“PPS merupakan program inisiasi dari DJP yang memberikan kesempatan kepada wajib pajak (WP) untuk menuntaskan kewajiban perpajakan yang belum terselesaikan dengan membayarkan Pajak Penghasilan (PPh) ke kas negara berdasarkan pengungkapan harta,” terang Eugenius.

Pada 2022, PPS berlangsung sejak Sabtu (1/1/2022) hingga Kamis (30/6/2022). Rentang waktu enam bulan tersebut diharapkan dapat dioptimalkan oleh WP.

Untuk diketahui, PPS terdiri dari dua kebijakan, yaitu Kebijakan I dan Kebijakan II. Adapun Kebijakan I adalah pembayaran PPh final berdasarkan pengungkapan harta yang tidak atau belum sepenuhnya dilaporkan oleh peserta program pengampunan pajak atau tax amnesty (TA).

Basis pengungkapan tersebut adalah harta per 31 Desember 2015 yang belum diungkap pada saat mengikuti TA. Kebijakan I dapat diikuti oleh WP peserta TA, baik WP badan maupun orang pribadi.

“Sementara, Kebijakan II adalah pembayaran PPh final berdasarkan pengungkapan harta yang belum dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) Tahunan PPh orang pribadi pada tahun pajak 2020,” jelasnya.

Adapun basis pengungkapan tersebut adalah harta perolehan tahun 2016 sampai 2020 yang belum dilaporkan dalam SPT Tahunan 2020. Kebijakan II hanya dapat diikuti oleh WP orang pribadi.

Eugenius menambahkan, untuk mengikuti PPS, WP dapat menghitung PPh yang harus dibayarkan sesuai tarif yang telah ditentukan pada masing-masing kebijakan.

Tarif dikenakan setelah WP mengetahui berapa nilai harta bersih yang dimiliki dan belum diungkapkan kepada DJP. Harta bersih merupakan nilai harta dikurangi pokok utang. Kemudian, WP diwajibkan untuk melaporkan pajak yang telah dibayar tersebut dalam Surat Pemberitahuan Pengungkapan Harta (SPPH).

“SPPH dapat disampaikan secara elektronikmelalui akun WP dengan login melalui laman https://djponline.pajak.go.id dalam jangka waktu 24 jam sehari dan tujuh hari seminggu dengan standar Waktu Indonesia Barat (WIB),” kata Eugenius.

Sebagai informasi, kelengkapan SPPH terdiri dari SPPH induk, daftar rincian harta bersih, daftar utang, serta pernyataan repatriasi dan atau investasi.

Sementara, tambahan kelengkapan untuk peserta Kebijakan II adalah pernyataan mencabut permohonan (restitusi atau upaya hukum), mengunggah surat permohonan pencabutan banding, gugat, dan atau PK, serta pernyataan tidak meminta pengembalian kelebihan pembayaran pajak.

Manfaat mengikuti PPS

Untuk diketahui, ketentuan PPS diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 196/PMK.03/2021 tentang Tata Cara Pelaksanaan Program Pengungkapan Sukarela Wajib Pajak.

Eugenius mengatakan, ada sejumlah manfaat yang dapat diperoleh masyarakat dengan mengikuti PPS. Manfaat tersebut berbeda-beda, sesuai dengan kebijakan yang ada.

Berdasarkan Kebijakan I, terdapat dua manfaat yang bisa didapat para WP. Pertama, WP tidak dikenai sanksi Pasal 18 ayat (3) UU Pengampunan Pajak. Adapun besaran sanksi ini mencapai 200 persen dari PPh yang kurang dibayar.

Kedua, data atau informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap WP.

Adapun manfaat Kebijakan II adalah tidak diterbitkan ketetapan untuk kewajiban 2016-2020, kecuali ditemukan harta kurang diungkap.

“Manfaat berikutnya, data atau informasi yang bersumber dari SPPH dan lampirannya yang diadministrasikan oleh Kemenkeu atau pihak lain yang berkaitan dengan pelaksanaan dengan UU HPP tidak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan, penyidikan, dan atau penuntutan pidana terhadap WP,” imbuh Eugenius.

Eugenius menjelaskan, berdasarkan data pajak.go.id/pps yang dihimpun oleh DJP per 10 Mei 2022 pukul 08.00 WIB, PPh yang telah terkumpul dari PPS sebanyak Rp 8.141,32 miliar dan diikuti oleh 41.931 WP seluruh Indonesia.

“WP diimbau mengikuti PPS dengan baik dan benar. Dengan begitu, pajak yang dibayarkan dapat digunakan untuk mendorong percepatan dan meningkatkan PEN pada berbagai sektor kegiatan masyarakat Indonesia,” terangnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau