KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengapresiasi Program Energi Terbarukan untuk Ketenagalistrikan 1.000 Pulau Tahap 2 (Renewable Energy for Electrification Programme/REEP2) dalam meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Hal tersebut disampaikan Direktorat Pembinaan Program Ketenagalistrikan Wanhar pada acara Webinar Hosting Capacity EBT Intermittent pada Jaringan Distribusi yang digelar pada Rabu (28/9/2022).
Wanhar mengapresiasi tim Deutsche Gesellschaft Zusammenarbeit (GIZ) atas dukungan berkelanjutan kepada Indonesia melalui Program REEP2, terutama dalam meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan di Indonesia.
Melalui GIZ, pemerintah Indonesia dan Jerman memiliki program kerja sama Project 1000 Island – REEP 1.000 Pulau yang dicanangkan pada 2019.
Kerja sama tersebut dilanjutkan dengan program REEP2 yang dimulai sejak 2021. Program ini bertujuan untuk meningkatkan kelembagaan, regulasi, serta kondisi teknis di tingkat nasional dan daerah dalam mencapai target 23 persen sumber energi terbarukan dalam bauran energi pada 2025.
Program tersebut dijalankan dengan melibatkan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan dan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) atau PLN sebagai mitra proyek.
“Kami percaya bahwa masa depan pengembangan energi dilakukan sesuai komitmen untuk mendukung energi bersih dan dekarbonisasi. Hal ini telah dinyatakan dalam Perjanjian Paris untuk mengurangi kenaikan suhu global tidak melebihi 2 derajat Celcius dan berusaha untuk di bawah 1,5 derajat Celcius,” ujar Wanhar dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (30/9/2022).
Wanhar melanjutkan bahwa pemerintah Indonesia telah menempatkan komitmen tersebut dalam Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Melalui UU tersebut, pemerintah menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen tanpa syarat di bawah bisnis seperti biasa (BAU), serta 41 persen dengan dukungan internasional yang memadai pada 2030.
Pemerintah telah menerapkan beberapa strategi untuk menyediakan akses energi universal, seperti pengembangan energi terbarukan, penerapan efisiensi energi dan konservasi energi, serta penerapan teknologi energi bersih.
“Dengan demikian, sektor energi dapat mengurangi emisi GRK sebesar 314-446 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030,” tuturnya.
Pemerintah Indonesia, lanjut Wanhar, telah menetapkan target nasional untuk mencapai 23 persen penggunaan energi terbarukan pada 2025 dan 31 persen pada 2050. Upaya ini menunjukkan kesiapan pemerintah untuk mencapai net zero emission (NZE) pada 2060.
Namun, hingga saat ini, kontribusi energi terbarukan di Indonesia belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan sehingga masih perlu ditingkatkan secara pesat. Meski demikian, pemerintah tetap fokus memanfaatkan energi terbarukan semaksimal mungkin.
Salah satu tantangan dalam penerapan dan percepatan energi terbarukan di Indonesia adalah pandangan bahwa energi terbarukan intermiten.
“Hal tersebut dianggap akan mengganggu stabilitas sistem tenaga listrik. Sementara itu, pada saat yang sama, kapasitas hosting energi terbarukan intermiten di grid masih menjadi perdebatan,” kata Wanhar.
Peningkatan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT), lanjut Wanhar, harus diselaraskan dengan stabilitas dan keandalan sistem. Kapasitas hosting energi terbarukan yang tepat harus ditangani untuk mengurangi potensi risiko gangguan pada sistem.
Sebagai informasi, webinar tersebut juga membahas topik mengenai kapasitas hosting energi terbarukan intermiten di jaringan distribusi.
Wanhar berharap, acara itu dapat memberi pencerahan tentang cara menangani kapasitas hosting EBT, termasuk karakteristik, dampak, dan mitigasi risiko penetrasi energi terbarukan di jaringan distribusi.
“Saya yakin, GIZ dan seluruh pemangku kepentingan energi dari Indonesia memiliki visi yang sama untuk mendukung komitmen Indonesia dalam pembangunan energi bersih,” paparnya.