Advertorial

Menyelaraskan Transisi dan Ketahanan Energi untuk Mencapai Target Net Zero Emission

Kompas.com - 15/11/2022, 16:46 WIB

KOMPAS.com – Sektor energi harus mampu mengejar kebutuhan masyarakat. Terlebih, peradaban semakin berkembang pesat.

Pada momentum Presidensi Group of 20 (G20) Indonesia, diskusi Business of 20 (B20) Summit 2022 bertema “Task Force Energy, Sustainability and Climate B20 (TF ESC-B20) Indonesia” membahas proses produksi energi agar menuju bentuk terbaiknya.

Chair of TF ESC-B20 sekaligus Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan, transisi energi baru terbarukan (EBT) harus dilakukan agar keberlanjutan energi tetap terjaga.

Hal tersebut disampaikan Nicke dalam diskusi "BloombergNEF (BNEF) Net Zero Summit". Acara ini digagas oleh Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi serta The Asia Natural Gas and Energy Association (ANGEA) dan merupakan rangkaian dari B20 Summit di Bali.

Meski demikian, kata Nicke, transisi energi tidak dapat dicapai dalam waktu singkat. Pasalnya, proses ini membutuhkan berbagai macam teknologi, biaya, serta sumber daya manusia (SDM) yang mampu memenuhi standar pemenuhan kebutuhan EBT.

“Ketika proses transisi EBT dilakukan, permintaan dan kebutuhan energi turut meningkat. Dengan demikian, ketahanan energi dalam skala besar harus tetap terjaga,” ujar Nicke dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (15/11/2022).

Strategi Pertamina

NIcke memaparkan bahwa Pertamina telah menyiapkan strategi untuk menghadapi tantangan dalam menyelaraskan transisi dan kebutuhan energi.

Untuk mencapai aspirasi net zero emission (NZE) sekaligus menjaga ketahanan energi di Indonesia, Pertamina telah menyusun strategi komprehensif melalui dua pilar utama dan tiga implementasi menengah.

“Dua pilar utama tersebut adalah berfokus pada upaya dekarbonisasi di kegiatan bisnis dan pengembangan bisnis hijau energi terbarukan,” tuturnya.

Sementara itu, tiga strategi jangka menengah untuk mendukung rencana menggerakkan NZE, lanjut Nicke, adalah, pertama, mengembangkan standar penghitungan karbon yang telah memenuhi standar nasional dan internasional.

Kedua, melibatkan pemangku kepentingan untuk mendukung penuh target dan komitmen NZE nasional. Tujuan ini didukung oleh strategi investasi jangka panjang dari Pertamina.

Ketiga, inisiatif bisnis berkelanjutan ramah lingkungan Pertamina akan difokuskan pada biofuels, sumber energi terbarukan, sistem penangkapan karbon (CCS/CCUS), baterai serta mobil listrik, hidrogen, dan bisnis karbon.

Pertamina juga telah mengembangkan strategi dalam mendukung transisi energi dengan mengalokasikan biaya modal atau capital expenditure (capex) untuk energi rendah emisi dan pengembangan EBT.

“Kami telah menetapkan tujuan untuk meningkatkan porsi bisnis hijau dalam bauran pendapatan Pertamina dari 5 persen pada 2022 menjadi 13 persen pada 2030,” tutur Nicke.

Nicke memprediksi, pendapatan Pertamina dari bahan bakar fosil akan menurun secara signifikan dari 86 persen pada 2022 menjadi 66 persen pada 2040.

Adapun tujuan dari alokasi modal tersebut telah dikoordinasikan dengan pemerintah Indonesia. Hal ini dilakukan supaya selaras dengan target bauran energi Indonesia untuk EBT.

Untuk mengimbangi pembiayaan, Pertamina juga telah meramu strategi investasi jangka panjang. Strategi ini terdiri dari 14 persen capex untuk aksi bisnis energi hijau.

Selain itu, Pertamina juga terus melanjutkan investasi pada bahan bakar fosil dan petrokimia sebagai tulang punggung bisnis saat ini. Tujuannya untuk memastikan bahwa transisi energi tidak akan mengganggu ketahanan energi.

Melengkapi strategi penyertaan modal, Pertamina juga berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk percepatan capaian target. Langkah ini diperlukan dalam menghadapi tantangan yang sama selama transisi energi, terutama dalam teknologi dan pembiayaan.

“Biaya teknologi (dalam proses transisi EBT) masih lebih tinggi ketimbang bahan bakar fosil. Oleh karena itu, kami terbuka untuk bermitra dan berkolaborasi dengan pihak terkait untuk mendorong inovasi dan menurunkan biaya teknologi,” ujarnya.

Untuk diketahui, saat ini, Pertamina gencar melakukan berbagai kolaborasi. Hal ini mengingat penggunaan teknologi dalam pengolahan EBT membutuhkan biaya mahal sehingga membuat harga jual EBT kepada konsumen masih cukup tinggi.

Guna menekan biaya operasional dan mengatasi masalah pembiayaan, Pertamina pun berharap, jumlah investasi yang masuk, baik dalam skala domestik maupun internasional, semakin banyak. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan mekanisme pembiayaan global sekaligus mendukung proyek transisi energi dan dekarbonisasi.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com