Advertorial

Tanah Timur Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada Anak dan Perempuan

Kompas.com - 18/11/2022, 20:53 WIB

KOMPAS.com - Tanah tertimur Indonesia resmi menyandang status darurat kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak. Status ini keluar usai beberapa peristiwa kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak terjadi di Papua pada beberapa waktu terakhir.

Mirisnya, pelaku aksi tersebut acapkali merupakan orang-orang terdekat korban. Pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di Kabupaten Merauke, misalnya, ayah kandung menghamili anak perempuannya. Bahkan, sang anak sudah melahirkan hingga dua kali.

Kasus tersebut diketahui setelah ibu angkat korban melaporkan kejadian itu ke Kepolisian Sektor (Polsek) Kurik pada awal Januari 2022.

Selain itu, ada pula kasus oknum prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) Yonif 757/Ghupta Vira Merauke berinisial Prada HT yang diduga melakukan pemerkosaan terhadap seorang perempuan di Merauke pada awal Januari 2022.

Tindak pidana asusila juga terjadi di Kabupaten Mimika. Bahkan, kasusnya meningkat signifikan pada Desember 2021 hingga Februari 2022. Adapun kasus tersebut menimpa anak-anak sebagai korbannya.

Kepala Satuan Reserse Kriminal (Kasat Reskrim) Kepolisian Resor (Polres) Mimika Iptu Bertu Haridyka Eka Anwar mengatakan bahwa pihaknya terus menerima laporan pelecehan seksual dari warga sehingga angka tindak pidana pencabulan mengalami eskalasi.

“Kami menerima laporan atau mengungkap kasus pelecehan anak di bawah umur per minggu,” ujar Haridyka dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (18/11/2022).

Sementara itu, Direktur Lembaga Bantuan Hukum Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jayapura Nur Aida Duwila mengatakan, kasus pelecehan dan kekerasan terhadap anak di Papua dalam kurun waktu 2019 hingga 2022 terus meningkat.

Sebagian besar kasus itu dilakukan oleh orang-orang terdekat korban. Pelaku juga tidak ada kesadaran bahwa anak-anak perlu dilindungi.

Berdasarkan catatan Dinas Catatan Sipil dan Kependudukan Provinsi Papua Barat dan Kepolisian Daerah (Polda) Papua Barat, terdapat 400.000 anak berusia di bawah 18 tahun yang memerlukan perlindungan khusus. Mereka pun dalam kondisi memprihatinkan.

Berdasarkan hasil dari diskusi bertajuk “Perlindungan Anak dan Permasalahannya” yang diselenggarakan Komisi Nasional Perlindungan Anak (KPA) dan Polda Papua Barat, Kamis (28/4/2022), ditemukan banyak anak yang dieksploitasi sebagai pekerja di berbagai lokasi tambang di Manokwari.

Adapun fakta di lapangan juga menemukan berbagai laporan tentang sejumlah anak yang terpaksa tinggal dan dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial (PSK) rumah bordil di Manokwari.

Kasus pernikahan anak pada usia dini juga jamak terjadi. Demikian pula kasus anak dengan status stunting, kurang gizi, dan perlambatan pertumbuhan.

Dalam kunjungan kerja (kunker) KPA ke Kabupaten Sorong dan Manokwari pada 25-29 April 2022, warga dan media lokal melaporkan sejumlah fakta derita anak dan perempuan di Bumi Cendrawasih.

Ketua Umum KPA Arist Merdeka Sirait mengatakan, penanganan kasus pelecehan serta eksploitasi terhadap anak dan perempuan di daerah tersebut lemah.

“Penyelesaian kasus-kasus kekerasan seksual tersebut banyak mengalami kesulitan. Utamanya, dalam memutus mata rantai pelanggaran hak anak dalam kasus kekerasan seksual. Jalur penyelesaian kasus kerap ditempuh melalui jalan damai serta hukum adat yang difasilitasi tokoh adat dan institusi agama,” kata Arist.

Alhasil, lanjut dia, banyak kasus yang selesai, tetapi hasilnya tidak berpihak pada korban. Faktor inilah yang menyebabkan penegakan hukum terhadap kasus kekerasan seksual terhadap anak perempuan di Papua masih sangat lemah.

Merespons hal itu, KPA menyampaikan sejumlah upaya guna menanggulangi kasus tersebut. Pertama, menyatukan visi dan misi terkait penanganan kasus pelecehan seksual terhadap anak dan perempuan.

Penyamaan visi dan misi tersebut perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan (stakeholder), mulai dari kepala suku, tokoh adat, pimpinan sinode gereja, pejabat pemerintah, pegiat perlindungan anak dan perempuan, aparat penegak hukum, kejaksaan agung (kejagung), hingga pengadilan.

Kedua, diperlukan upaya membangun gerakan perlindungan anak berbasis keluarga dan kampung, serta mengoptimalkan program Kampung Tangguh yang diinisiasi pemerintah provinsi (pemprov) dan Polda Papua,” kata Arist.

Hal itu dapat dilakukan dengan melibatkan Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Bhabinkamtibmas), karang taruna, aktivis gereja, dan aktivis peduli anak.

Selain itu, kata Arist, pemerintah daerah (pemda) juga harus menyediakan anggaran perlindungan anak dan perempuan, serta menghadirkan program ataupun kegiatan berbasis desa guna penguatan organisasi di perdesaan.

Terakhir, untuk memutus mata rantai pelanggaran hak anak, perlu dibentuk forum anak di setiap desa dan kampung sebagai pelopor dan pelapor,” jelasnya.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com