Advertorial

Optimistis tapi Tetap Waspada, Strategi Indonesia Hadapi Isu Inflasi dan Resesi Global

Kompas.com - 05/12/2022, 18:21 WIB

KOMPAS.com – Gejolak ekonomi global yang masih belum mereda tak membuat ekonomi Indonesia terpuruk. Sejauh ini, kondisi perekonomian Indonesia masih menunjukkan ketahanan dan prospek yang baik.

Fakta mengenai hal itu disampaikan oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 yang digelar pada Rabu (30/11/2022).

Pada acara yang mengangkat tema “Sinergi dan Inovasi Memperkuat Ketahanan dan Kebangkitan Menuju Indonesia Maju” tersebut, Perry optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depan.

Ia mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan tetap kuat pada kisaran 4,5 hingga 5,3 persen. Bahkan, ekonomi nasional dapat meningkat antara 4,7 hingga 5,5 persen pada 2024.

“Pertumbuhan itu didukung oleh konsumsi swasta, investasi, dan kinerja ekspor yang tetap positif, meski dalam kondisi ekonomi global yang melambat,” kata Perry melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (1/12/2022).

Dengan strategi yang tepat dan tetap waspada pada risiko, Perry yakin, Indonesia dapat melalui tahun-tahun yang menantang di masa depan. Ia pun menjelaskan lebih jauh saat membahas ancaman resesi dan inflasi yang kini berdampak pada ekonomi global.

Menurutnya, Indonesia dapat menanganinya melalui sinergi yang baik dengan berbagai pihak yang terlibat, di antaranya Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Tim Pengendali Inflasi Pusat (TPIP), Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID), dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP).

“Sementara dalam membangun ketahanan ekonomi nasional, BI akan meningkatkan kewaspadaan dan menjalankan sinergi dengan berbagai pihak untuk menjaga stabilitas perekonomian negeri. Hal ini perlu dilakukan untuk menjaga ketahanan ekonomi nasional dari kondisi global yang tidak bisa diprediksi arahnya,” jelas Perry.

Pada kesempatan sama, Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga menegaskan bahwa Indonesia harus tetap optimistis menghadapi tantangan ekonomi tahun depan. Meski demikian, ia juga tak menampik bahwa pemerintah perlu tetapi waspada terhadap ancaman inflasi dan resesi global yang telah membuat sejumlah negara mengalami pelemahan ekonomi. 

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

Dok. Bank Indonesia Presiden Republik Indonesia Joko Widodo.

"Dari pertemuan di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Group of Twenty (G20) beberapa waktu lalu, negara-negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia juga sedang dibuat pusing dengan situasi global yang tidak pasti dan sulit diprediksi seperti saat ini," ucap Presiden Jokowi.

Presiden Jokowi juga menyebut beragam masalah yang berpotensi muncul akibat situasi global yang tidak pasti, yakni penurunan ekspor, minat investasi, dan pelemahan pertumbuhan PDB.

"Kita belum tahu kapan resesi (akan terjadi), tinggal tunggu saja. Saya setuju bahwa kita harus optimistis, tapi tetap harus hati-hati dan waspada. Saya meminta seluruh kementerian dan pemerintah daerah untuk dapat menciptakan arus modal masuk dalam rangka meningkatkan investasi yang menjadi kunci pertumbuhan ekonomi kita,” ujar Presiden Jokowi.

Menakar prospek ekonomi global

Menurut Perry, kondisi global yang kini terjadi disebabkan oleh berbagai permasalahan di sejumlah negara. Hal ini menyebabkan krisis energi dan pangan, serta distribusi barang tersendat.

Agar ekonomi Indonesia tak ikut terdampak, Perry menekankan bahwa pemerintah dan seluruh pihak terkait harus mewaspadai lima potensi risiko akibat permasalahan ekonomi global.

Pertama, pertumbuhan ekonomi menurun atau slow-growth yang dipicu dari risiko resesi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang meningkat.

Kedua, inflasi yang sangat tinggi disebabkan kenaikan harga energi dan pangan global. Ketiga, suku bunga tinggi dan kondisi fed fund rate yang bisa mencapai 5 persen selama 2023.

Keempat, nilai dollar AS sangat kuat yang menyebabkan tekanan atau depresiasi nilai tukar negara lain, termasuk terhadap rupiah. Kelima, fenomena cash is the king yang mendorong penarikan dana investor global dan mengalihkannya pada aset likuid untuk menghindari risiko yang tinggi.

"Dengan beragam risiko itu, perumusan kebijakan serta sinergi fiskal dan moneter perlu diperkuat agar kebijakan ekonomi nasional yang dihasilkan bisa memberikan manfaat yang besar bagi rakyat dan negara sehingga dapat memperkuat ketahanan dan kebangkitan ekonomi nasional pada tahun-tahun selanjutnya," papar Perry.

Acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 dihadiri oleh lintas kementerian dan pejabat daerah. 

Dok. Bank Indonesia Acara Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) 2022 dihadiri oleh lintas kementerian dan pejabat daerah.

Kebijakan untuk bersinergi dan berinovasi

Sebagai langkah strategis, papar Perry, BI akan terus bersinergi dengan pemerintah dan KSSK guna merealisasikan lima bauran kebijakan BI pada 2023.

“(Lima) kebijakan ini akan diarahkan sebagai bagian dari kebijakan nasional untuk memperkuat ketahanan, pemulihan, dan kebangkitan perekonomian Indonesia,” jelas Perry.

Lima kebijakan tersebut dijelaskan secara mendalam olehnya. Pertama, kebijakan moneter BI 2023 yang akan difokuskan pada stabilisasi nilai tukar rupiah dan pengendalian inflasi agar kembali ke siaran awal.

BI, kata Perry, akan melanjutkan respons kebijakan suku bunga melalui kalibrasi secara terukur (well-calibrated), perencanaan yang matang (well-planned), dan dikomunikasikan secara transparan (well-communicated).

"Hal ini dilakukan untuk memastikan pencapaian sasaran inflasi inti lebih awal, yaitu pada semester I 2023. Besaran dan waktu respons kebijakan suku bunga akan didasarkan pada perkembangan ekspektasi inflasi dan inflasi inti," ujar Perry.

Kedua, kebijakan makroprudensial longgar yang tetap dilanjutkan untuk mendorong kredit dan pembiayaan perbankan pada sektor prioritas dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

Kebijakan tersebut dilakukan guna mempercepat pemulihan ekonomi nasional sekaligus menjaga stabilitas sistem keuangan dan mengembangkan inklusi ekonomi dan keuangan hijau.

Ketiga, kebijakan sistem pembayaran berdasarkan Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2025 untuk mengakselerasi integrasi ekonomi dan keuangan digital.

“Kebijakan ini dapat mendorong kerja sama sistem pembayaran antarnegara serta pengembangan Digital Rupiah,” papar Perry.

Keempat, kebijakan pendalaman pasar uang dan pasar valas sesuai Blueprint Pengembangan Pasar Uang (BPPU) 2025 untuk memperkuat efektivitas operasi dan transmisi kebijakan.

Akselerasi kebijakan tersebut juga dilakukan untuk pembangunan pasar yang modern dan berstandar internasional, serta pengembangan instrumen pembiayaan, termasuk pengembangan keuangan berkelanjutan.

Kelima, kebijakan ekonomi-keuangan inklusif dan hijau melalui perluasan program pengembangan yang inklusif pada UMKM dan keuangan syariah. Kebijakan ini, lanjut Perry, sejalan dengan upaya digitalisasi, serta perluasan akses pasar domestik dan ekspor.

“Selain itu, sinergi antara kebijakan BI dan kebijakan fiskal pemerintah bersama KSSK juga (akan) diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mendorong kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha," imbuh Perry.

Perry juga menegaskan bahwa BI senantiasa memperkuat kerja sama internasional dengan bank sentral dan otoritas negara mitra di bidang keuangan.

Kerja sama dalam bidang itu mencakup fasilitas penyelenggaraan promosi investasi dan perdagangan di sektor prioritas dengan instansi terkait.

"Semua kebijakan betul-betul dilakukan untuk mendorong pertumbuhan dan ekspor, hilirisasi, investasi, serta menjaga stabilitas harga. Hal ini dilakukan supaya ekonomi nasional bisa terus tumbuh," jelas Perry.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com