Advertorial

Pasal 218 dan Pasal 219 KUHP Baru Tidak Boleh Menghina Presiden dan Wakil Presiden? Ini Penjelasannya

Kompas.com - 16/12/2022, 18:24 WIB

KOMPAS.com - Rancangan Kitab Undang-Undang (UU) Hukum Pidana (KUHP) yang diresmikan pada Selasa (6/12/2022) menuai pro dan kontra dari masyarakat, terutama pada pasal 218 dan 219.

Adapun pasal 218 berbunyi, “(1) Setiap Orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.”.

Sementara, pasal 219 berbunyi, “(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.”.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mengatakan bahwa pemerintah tidak berkeinginan untuk membungkam kritik.

“Penyerangan harkat martabat tidak berarti kritik,” tuturnya dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Jumat (16/12/2022).

Adapun yang dimaksud dengan penyerangan harkat martabat adalah merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri. Dalam ayat (2), kritik yang konstruktif dengan maksud memberi solusi diperbolehkan asal disertai dengan pertimbangan baik dan buruknya sebuah kebijakan.

Yasonna menuturkan, kritik yang memuat ketidaksetujuan terhadap sebuah kebijakan, perbuatan, dan tindakan presiden diperbolehkan selagi dengan cara yang konstitusional.

“Protes kepada presiden dan wakil presiden yang dilakukan saat unjuk rasa bukan merupakan ancaman hukum,” imbuhnya.

Sementara itu, tindak pidana bisa terjadi jika dituntut berdasarkan aduan. Pengaduan yang dimaksud dapat dilakukan secara tertulis oleh presiden atau wakil presiden.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau