Advertorial

Laporan Pelaksanaan Tugas Tahun 2022 dan Arah Kebijakan Bank Indonesia Tahun 2023

Kompas.com - 20/01/2023, 08:20 WIB

KOMPAS.com – Bank Indonesia (BI) mengungkapkan bahwa risiko perekonomian global pada 2022 memberikan tantangan bagi upaya percepatan pemulihan ekonomi nasional. Risiko ini dipicu oleh perang antara Rusia dan Ukraina yang kembali meningkatkan fragmentasi politik dan ekonomi dunia.

Secara umum, terdapat lima permasalahan yang mengemuka dan saling berkaitan sehingga perlu diwaspadai karena dapat memberikan tekanan terhadap perekonomian nasional.

Pertama, pertumbuhan ekonomi dunia menurun sejalan dengan kenaikan fragmentasi politik dan ekonomi dunia. Hal ini seiring dengan peningkatan risiko resesi di negara maju.

Kedua, inflasi meningkat sangat tinggi di negara-negara maju akibat gangguan pasokan komoditas energi dan pangan.

Ketiga, suku bunga acuan kebijakan moneter global meningkat tajam. Peningkatan ini diperkirakan terjadi dalam periode lama sebagai respons atas kenaikan tajam inflasi tersebut, seperti yang terjadi pada Fed Funds Rate (FFR).

Keempat, penguatan tajam mata uang dollar AS seiring dengan kenaikan FFR dan ketidakpastian pasar keuangan global. Hal ini memberikan tekanan pada banyak mata uang dunia, termasuk rupiah.

Kelima, fenomena cash is the king terjadi sejalan dengan persepsi risiko investor global yang tinggi. Hal ini membuat investor menarik dananya dari negara berkembang, termasuk Indonesia, ke instrumen investasi yang dipandang likuid dan mendekati cash.

Berbagai indikator tersebut perlu dicermati dan direspons dengan tepat. Pasalnya, bila kondisi ini terus berlanjut dapat memicu stagflasi, bahkan resesi dan inflasi tinggi di perekonomian global.

Di tengah tantangan global tersebut, pemulihan ekonomi nasional terus berlanjut dengan stabilitas yang terjaga pada 2022.Kinerja ekspor diprediksi tetap kuat seiring dengan permintaan mitra dagang utama yang besar serta dukungan kebijakan pemerintah.

Pertumbuhan ekonomi pada 2022 diperkirakan meningkat dalam bias atas kisaran 4,5-5,3 persen. Stabilitas eksternal tetap terjaga karena didukung Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang tetap sehat dan membaik secara kinerja. Hal ini sejalan dengan surplus transaksi berjalan di tengah tekanan pada transaksi modal dan finansial, khususnya investasi portofolio.

Selain itu, respons cepat BI dalam menanggapi situasi perekonomian global juga berkontribusi dalam menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, khususnya di tengah terjadinya fenomena strong dollar dan ketidakpastian pasar keuangan global.

Meski lebih tinggi dari kisaran sasaran 2022, inflasi di Indonesia masih lebih rendah dari proyeksi awal dan diperkirakan akan kembali ke sasaran pada 2023. Inflasi masih sejalan dengan perkembangan pascakenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi.

BI menilai, stabilitas sistem keuangan Indonesia masih tetap baik dengan ketahanan yang terjaga dan fungsi intermediasi yang meningkat.

Perkuat sinergi

BI terus memperkuat sinergi dan inovasi kebijakan dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Langkah ini diambil untuk menjaga ketahanan ekonomi dari risiko global dan mendukung keberlanjutan pemulihan ekonomi tersebut.

Pemerintah sendiri telah mengarahkan kebijakan fiskal sebagai shock absorber untuk melindungi masyarakat, mendukung sektor prioritas, dan mendorong pemulihan ekonomi.

 Sementara itu, BI mengarahkan seluruh instrumen bauran kebijakan sebagai bagian dari arah kebijakan nasional untuk mendorong akselerasi pemulihan ekonomi dan menjaga stabilitas.

Dengan pulihnya perekonomian nasional, perekonomian domestik dapat terlindungi dari dampak rambatan gejolak global.

BI pun mengarahkan kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas (pro-stability). Sementara itu, kebijakan makroprudensial, sistem pembayaran, pengembangan pasar uang, serta inklusi ekonomi dan keuangan tetap diarahkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi (pro-growth).

Sinergi kebijakan fiskal dan moneter semakin diperkuat melalui partisipasi BI dalam pendanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), termasuk untuk penanganan kesehatan dan kemanusiaan akibat pandemi Covid-19.

Selain itu, BI juga memperkuat koordinasi dengan pemerintah dan KSSK agar untuk menjaga stabilitas sistem keuangan kian terjaga. Koordinasi ini juga mendorong pembiayaan kepada dunia usaha pada sektor-sektor prioritas untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, ekspor, serta inklusi ekonomi dan keuangan.

 Implementasi kebijakan 2022

Secara lebih rinci, bauran kebijakan BI yang diimplementasikan pada 2022 dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian.Di bidang moneter, kebijakan likuiditas, nilai tukar, dan suku bunga diarahkan untuk memastikan stabilitas makroekonomi terjaga.

Ketiga kebijakan tersebut ditempuh oleh BI dalam mengimplementasikan arah dan stance kebijakan moneter untuk menjaga stabilitas secara komprehensif dan bersinergi.

Dengan kata lain, BI tidak hanya mengeluarkan kebijakan moneter yang diukur melalui perubahan kebijakan suku bunga, tapi juga kebijakan likuiditas.

Normalisasi kebijakan moneter BI dilakukan dengan penurunan secara bertahap kelebihan likuiditas yang sangat besar di perbankan.

Sejalan dengan tekanan inflasi inti yang masih rendah terutama pada semester I 2022, BI menempuh kebijakan moneter dengan melakukan normalisasi likuiditas secara well-calibrated, well-planned, dan well-communicated.

Hal tersebut diimplementasikan melalui kenaikan bertahap rasio Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah menjadi 9 persen untuk Bank Umum Konvensional (BUK) serta 7,5 persen untuk Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS). Kebijakan ini ditempuh agar BI tidak behind the curve dalam merespons dampak ketidakpastian pasar keuangan global terhadap stabilitas makroekonomi.

Kebijakan stabilisasi yang dilakukan BI juga diperkuat untuk menjaga nilai tukar rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Adapun stabilisasi nilai tukar diperkuat dengan melakukan tiga intervensi di pasar spot, domestic non-deliverable forward (DNDF), serta pembelian atau penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.

Selain itu, pada Desember 2022, BI menerbitkan instrumen operasi moneter (OM) valuta asing (valas) yang baru untuk mendorong penempatan Devisa Hasil Ekspor (DHE), khususnya dari ekspor sumber daya alam (SDA) di dalam negeri oleh bank dan eksportir. Kebijakan ini untuk memperkuat stabilitas, termasuk nilai tukar rupiah dan pemulihan ekonomi nasional.

Strategi berikutnya adalah mempertahankan suku bunga BI7DRR tetap rendah sampai Juli 2022. 

Kemudian, suku bunga dinaikkan sebesar 200 basis poin (bps) menjadi 5,50 persen sejak Agustus 2022 sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk merespons dan memastikan terjaganya stabilitas inflasi ke depan.

Selanjutnya, di bidang stabilitas sistem keuangan, BI memperkuat dan menyinergikan kebijakan makroprudensial akomodatif dengan kebijakan KSSK untuk mendorong kredit atau pembiayaan kepada dunia usaha dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.

Terakhir, penguatan kebijakan sistem pembayaran dilakukan BI untuk mendukung pemulihan ekonomi dan akselerasi digitalisasi yang inklusif juga terus dilakukan.

Tiga kebijakan utama tersebut juga ditopang kebijakan pendukung BI lainnya, seperti melakukan sinergi erat dengan pemerintah, perbankan, serta dan institusi lainnya.

Hal tersebut dilakukan untuk melanjutkan dukungan pengembangan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) serta ekonomi dan keuangan syariah sebagai sumber baru pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Rencana kebijakan 2023

Untuk 2023, BI berfokus pada kebijakan yang diarahkan untuk memperkuat ketahanan serta mempercepat pemulihan dan kebangkitan perekonomian dalam sinergi yang erat dengan kebijakan ekonomi nasional.

Implementasi kebijakan tersebut difokuskan untuk menangkal dampak rambatan dari gejolak global.

Selain itu, BI juga akan mengarahkan kebijakan moneter pada 2023 untuk menjaga stabilitas (pro-stability) dengan melanjutkan kebijakan suku bunga secara front loadedpre-emptive, dan forward looking. Hal ini untuk memastikan terus berlanjutnya penurunan ekspektasi inflasi sehingga inflasi inti tetap terjaga dalam kisaran 3,0±1 persen.

Sementara itu, kebijakan makroprudensial, digitalisasi sistem pembayaran, pendalaman pasar uang, serta ekonomi-keuangan inklusif dan hijau akan terus diarahkan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional (pro-growth).

Selain itu, arah kebijakan BI juga terus bersinergi dengan bauran kebijakan ekonomi nasional guna mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia kembali berada di lintasan jangka menengah menuju visi Indonesia Maju.

BI memprediksi, prospek pemulihan ekonomi Indonesia diperkirakan berlanjut dalam jangka pendek dan terus menguat dalam jangka menengah.

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2023 diperkirakan tetap kuat dan optimistis dalam kisaran 4,5-5,3 persen, meskipun sedikit melambat karena dipengaruhi oleh perlambatan ekonomi global.

Selain itu, stabilitas eksternal tetap terjaga ditopang oleh kinerja NPI yang tetap sehat. Inflasi juga kembali terkendali ke sasarannya 3,0±1 persen.

Dalam jangka menengah, perekonomian Indonesia terus meningkat dan kembali berada di lintasan menuju Indonesia Maju. Prospek ini didukung oleh pemulihan perekonomian global yang berlanjut serta peningkatan perekonomian domestik.

Selain itu, peningkatan pertumbuhan perekonomian Indonesia juga didorong oleh kenaikan investasi dan produktivitas. Hal ini seiring dengan implementasi kebijakan reformasi struktural, baik di sektor riil maupun akselerasi ekonomi dan keuangan digital nasional.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com