KOMPAS.com – Masyarakat Kabupaten Fakfak, Papua Barat, Mbaham Matta, dikenal toleran terhadap perbedaan sejak dahulu berkat prinsip “satu tungku tiga batu”. Marga-marga yang tergabung dalam Mbaham Matta hidup rukun serta saling bergotong royong, meski berbeda agama, yakni Islam, Protestan, dan Katolik.
Contohnya saat pembangunan Masjid An-Nur dan Gereja Sinar Ubadari di Fakfak, Papua Barat. Masyarakat setempat punya cara istimewa dalam mengawal pembangunan kedua tempat ibadah yang namanya punya arti yang sama yaitu cahaya.
Pembangunan Masjid An-Nur diketuai oleh seorang Kristiani bernama Roby Hindom, sementara Gereja Sinar Ubadari diketuai oleh seorang Muslim bernama Husein Iha.
“Buat saya, (hal seperti itu) biasa saja. Tidak ada yang aneh. Di sini, sudah tradisi orang asli Fakfak. Umat Kristen dan Katolik bantu bangun masjid. Sementara, Muslim bantu bangun gereja,” kata Roby dikutip Kompas.id, Senin (29/5/2023).
Roby melanjutkan, penunjukan dirinya sebagai ketua panitia pembangunan Masjid An-Nur didasari pilihan bersama. Kepala kampung mengumpulkan warga dan menjelaskan kebutuhan serta rencana proyek pendirian rumah ibadah tersebut.
“Warga terbaik dipilih menjadi ketua panitia, tanpa memandang latar agamanya,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Adat Mbaham Matta Domianus Tuturob mengatakan bahwa masyarakat Mbaham Matta menjunjung tinggi nilai hidup yang lebih dari toleransi.
Sikap tersebut, lanjut Domianus, terlihat pada hari besar keagamaan. Jelang Idul Fitri, misalnya, para pemuda gereja turut memeriahkan pawai obor pada malam Takbiran.
Gotong royong juga terlihat ketika Natal. Para ibu beragama Islam sibuk memasak hidangan untuk dikirimkan kepada umat Kristen yang sibuk di gereja. Menariknya, mereka menyantap hidangan tersebut bersama-sama.
Tak berhenti sampai di situ, saat umat Katolik menggelar rapat perayaan 129 Tahun Misi Katolik di Fakfak, seluruh warga Muslim sekitar ikut berpartisipasi. Partisipasi ini pun berlanjut hingga hari pelaksanaan pada Senin (8/5/2023) di halaman Gereja St Yoseph Fakfak.
“Semua kelompok hadir dan dana yang dihasilkan mencapai lebih dari Rp 430 juta. Saya termasuk yang pertama menyumbang untuk acara Misi Katolik itu,” kata Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Fakfak Ali Hindom.
Prinsip “satu tungku tiga batu”
Prinsip satu tungku tiga batu amat dijunjung masyarakat adat Mbaham Matta dalam kehidupan sehari-hari. Ketua Lembaga Masyarakat Adat Kabupaten Fakfak Valentino Kabes mengartikan prinsip tersebut sebagai tempat memasak yang ditopang tiga batu.
Tungku, lanjutnya, melambangkan kehidupan sosial dan ekonomi yang ditopang secara bersama oleh masyarakat tiga agama yang mendiami tanah Fakfak, yaitu Islam, Protestan, dan Katolik.
“Prinsip tersebut merupakan turunan dari filosofi Wewowo Idu Idu Maninina, yaitu semua hal bisa dimusyawarahkan untuk mencapai kesepakatan dan perdamaian,” jelas Valentino.
Filosofi Wewowo Idu Idu Maninina sendiri muncul ketika kelompok-kelompok masyarakat di Fakfak saling berkonflik dan mengakibatkan banyak orang meninggal dunia.
Para tetua lantas bersumpah bahwa jalan kekerasan harus ditinggalkan. Semua masalah harus diselesaikan dengan musyawarah.
“Buat kami anak-anak asli, Wewowo Idu Idu Maininina sakral. Melawan (filosofi) itu bisa susah,” ucap Ali Hindom.
Berbagai simbol dan adat dipelihara untuk melestarikan prinsip “satu tungku tiga batu”. Salah satunya adalah Masjid Patimburak.
Penjaga Masjid Patimburak Zaelani Kuda menuturkan, masjid tersebut merupakan yang tertua di Kabupaten Fakfak. Desain bangunan ini menggabungkan arsitektur khas masjid dan gereja, yakni kubah di bagian atas dan tiga pintu masuk beratap segitiga.
“Tiga pintu itu juga melambangkan Islam, Katolik, dan Protestan,” ujarnya.
Dosen Sekolah Tinggi Teologi (STT) Gereja Protestan Indonesia (GPI) Papua di Fakfak, Ronald Helweldery pernah meneliti kehidupan masyarakat adat Mbaham Matta.
Menurutnya, prinsip “satu tungku tiga batu” menunjukkan kecerdasan kultural masyarakat adat Mbaham Matta. Kemampuan ini merupakan modal sosial untuk menghasilkan resiliensi atau kelenturan dalam menghadapi pihak luar.
“Masyarakat Mbaham Matta punya strategi saat berjumpa dengan kekuatan politik ekonomi dan agama dari luar. Mereka menciptakan ruang, mengabsorpsi, dikelola secara internal, lalu dikembalikan lagi dalam interaksi yang terjadi,” terangnya.
Contohnya saat Islam pertama kali masuk ke Fakfak. Dalam disertasinya, Ronald menyebutkan bahwa untuk bisa berhubungan dan berdagang dengan Kesultanan Tidore, masyarakat Fakfak tidak hanya memeluk Islam. Mereka juga menikah dengan pendatang, seperti pedagang dari Seram dan Buton.
Warga campuran tersebut diutus untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Tidore karena memiliki kemampuan berbahasa Melayu. Strategi ini berlanjut saat perdagangan dikuasai Belanda.
Saat Belanda masuk Fakfak, mereka membawa agama Protestan dan Katolik. Leluhur Mbaham Matta lantas beradaptasi.
“Kita mau kerja sama dengan mereka, tetapi jangan sampai mereka bunuh kitorang (kita orang). Kalau begitu, mari kau satu di Islam, satu di Kristen, satu di Katolik supaya saat kelompok satu kasih susah, kamu kasih tau kita orang,” kata seorang tetua dari umat Protestan Fakfak Marthen Hindom.
Sejak saat itu, muncul istilah “agama keluarga”. Jadi, dalam satu keluarga bisa terdapat lebih dari satu agama. Ada Islam, Katolik, dan Protestan.
“Akar dari budaya satu tungku tiga batu adalah rumah. Analoginya, di dalam rumah, ada tiga kamar untuk setiap anak dengan agama berbeda. Namun, di dalam rumah, hanya ada satu tungku dipakai bersama,” terang Marthen.
Masyarakat adat Mbaham Matta di era modern
Kerukunan antarumat beragama di Fakfak teruji ketika konflik SARA terjadi di Ambon, Maluku, pada 2001. Sempat ada yang ingin memprovokasi masyarakat Fakfak. Meski begitu, warga Muslim di sana sama sekali tidak terpengaruh. Sebaliknya, semua umat beragama saling menjaga satu sama lain.
Hal itu pun terjaga hingga saat ini. Kini, Mbaham Matta beradaptasi dengan melakukan reinterpretasi diri dan lingkungan. Fakfak sekarang juga terdapat pemeluk Hindu, Buddha, dan Konghucu. Adapun penduduk beragama Islam berjumlah 63,08 persen, Protestan 18,27 persen, dan Katolik 18,52 persen dari total penduduk.
Dewan Adat Fakfak Dominianus mengatakan tiga batu kini didefinisikan sebagai adat, agama, dan pemerintah. Hal ini berubah dari tadinya tiga batu merepresentasikan tiga agama.
“Adat menggambarkan hubungan manusia dengan alam. Agama mewakili hubungan antara manusia dan penciptanya. Sementara, pemerintah bertugas melayani publik,” terang Dominianus.
Bagi Ronald, hal itu menunjukkan resiliensi yang liat sekaligus lentur. Ia pun berpesan kepada masyarakat Fakfak untuk terus menjaga prinsip dan filosofi hidup yang selama ini dijunjung.
Sebab, menurutnya, tantangan masa depan tidaklah mudah dengan kehadiran internet dan media sosial. Kedua teknologi ini bisa memengaruhi nilai-nilai, terutama di kalangan muda. Pengaruh ini hanya bisa diimbangi dengan contoh nyata orang tua.
Di sisi lain, ada investasi yang tak hanya membawa kesempatan, tetapi juga risiko. Meski begitu, masyarakat Mbaham Matta telah siap.
“Silakan masuk, tetapi kami dilibatkan. Jangan kami menjadi penonton di negeri sendiri,” kata tokoh Katolik Fakfak, Didimus Temongmere.