Advertorial

Tingkat Inflasi Daerah Tinggi, Mendagri Dorong Pemda Lakukan Upaya Pengendalian

Kompas.com - 11/07/2023, 16:02 WIB

KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian mendorong pemerintah daerah (pemda) dengan tingkat inflasi tinggi untuk mengambil langkah strategis dalam rangka pengendalian laju inflasi.

Pasalnya, tingkat Inflasi tinggi dapat merusak struktur ekonomi serta menimbulkan ketidakstabilan harga pangan di masyarakat.

Hal itu dipaparkan Tito saat memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Pengendalian Inflasi Daerah di Gedung Sasana Bhakti Praja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Jakarta, Senin (10/7/2023).

Tito mengatakan, meski tingkat inflasi secara nasional menunjukkan arah perbaikan, yakni 3,52 persen, Badan Pusat Statistik (BPS) mengingatkan bahwa angka inflasi di daerah masih bervariasi.

“(Berdasarkan catatan BPS), ada (tingkat inflasi) yang rendah sekali. Kami berterima kasih untuk (laporan) itu. Namun, ada pula daerah dengan inflasi tinggi mulai dari 5 hingga 6 persen," ujar Tito dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (11/7/2023).

Tito menjelaskan, wilayah dengan angka inflasi tinggi, di antaranya Merauke 5,91 persen, Timika 5,75 persen, Kotabaru 5,04 persen, Luwuk 4,90 persen, dan Manokwari 4,1 persen.

"Ada pula daerah dengan tingkat inflasi rendah antara 1 sampai dengan 2,86 persen, seperti Jambi 1,96 persen, Gorontalo, Sulawesi Barat (Sulbar), Riau, Sumatera Utara (Sumut), Kepulauan Riau (Kepri), Aceh, Bangka Belitung (Babel), Belitung, dan Sumatera Selatan (Sumsel)," jelasnya.

Merespons kondisi tersebut, Tito mengimbau pemimpin daerah dengan tingkat inflasi rendah untuk mempertahankan situasi tersebut. Sebab, inflasi rendah dan stabil merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.

Tingkat inflasi rendah diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Sebaliknya, inflasi tinggi dapat memberikan dampak negatif pada kondisi sosial ekonomi masyarakat.

"Seiring dengan variasi tingkat inflasi di daerah, (semestinya) tidak membuat cepat berpuas diri. Terutama, daerah dengan inflasi tinggi perlu melakukan sejumlah langkah pengendalian. Adapun daerah dengan inflasi rendah harus terus dipertahankan. daerah yang tinggi harus membuat gerakan," kata Tito.

Khusus untuk daerah dengan inflasi tinggi, Tito mendorong setiap pemimpin daerah segera mencari akar permasalahan, terutama dari sisi supply dan demand.

"Setiap daerah perlu melakukan upaya mencari akar masalahnya. Apakah suplai yang kurang atau (ketersediaan) barang yang memang kurang. Selain itu, pastikan pula apakah ada kelangkaan di lapangan atau sistem distribusi yang tidak berjalan sehingga ada penumpukan? Selidiki pula apakah ada kemungkin faktor transportasi yang terhambat," tegasnya.

Selain yang telah disebutkan di atas, sejumlah wilayah di Indonesia dengan tingkat inflasi tinggi di antaranya adalah Maluku 6,07 persen, Maluku Utara (Malut) 5,37 persen, Jawa Timur (Jatim) 4,59 persen, serta Nusa Tenggara Timur (NTT) 4,58 persen.

Kemudian, Sulawesi Selatan (Sulsel) 4,43 persen, Papua Barat 4,30, Kalimantan Selatan (Kalsel) 4,30 persen, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) 4,20 persen, dan Papua 4,13 persen.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau