JAKARTA, KOMPAS.com – Bagi selebritas Astrid Tiar, kondisi alergi susu sapi bukanlah hal baru. Sebab, dua orang putrinya, yakni Annabel dan Isabel mengalami hal itu.
Astrid bercerita pengalamannya. Anak pertamanya didiagnosis dokter mengalami alergi susu sapi saat usia satu tahun. Kala itu, Annabel kerap mengalami diare.
Awalnya, Astrid mengira diare tersebut terjadi lantaran sang anak sedang berada pada fase senang memasukkan berbagai benda ke mulut. Namun, setelah seluruh mainan dibersihkan, kondisi diare tetap muncul.
Tak lama setelahnya, muncul ruam kulit berupa biduran di bagian punggung sang anak. Astrid yang panik kemudian membawanya ke dokter. Setelah melalui pemeriksaan secara detail, dokter mendiagnosis Annabel mengalami alergi susu sapi.
“Di situlah dokter baru mengatakan kalau anak saya mengalami alergi. Waktu itu anak baru umur satu tahun dan sedang peralihan dari air susu ibu (ASI),” kata Astrid saat menghadiri acara media gathering bertajuk ‘Alergi Bukan Halangan Anak Wujudkan Potensi’ yang diselenggarakan Morinaga Soya di Kidzoona, Grand Indonesia, Jakarta, Selasa (11/7/2023).
Alergi serupa juga terjadi pada anak keduanya, Isabel. Astrid mengetahui bahwa anak keduanya juga mengalami alergi susu sapi saat sang anak mengonsumsi es krim yang ternyata mengandung susu sapi.
Setelah konsumsi es krim itu, kata Astrid, anaknya mengalami kolik sampai menimbulkan rasa sakit pada area perut.
Berbicara mengenai alergi susu sapi yang dialami kedua anaknya, Astrid mengaku sempat bingung, Sebab, baik dia maupun suaminya tidak memiliki riwayat alergi. Bahkan, di keluarganya pun tidak ada riwayat alergi.
Dokter anak konsultan alergi dan imunologi Prof. Dr. dr. Budi Setiabudiawan, Sp A(K) M.Kes. mengatakan, risiko alergi susu sapi bisa saja terjadi pada anak meski orangtua tidak memiliki riwayat alergi. Biasanya pada kasus seperti ini, risiko alergi pada anak tetap ada, yakni sekitar 5-15 persen. Apabila memiliki saudara kandung dengan riwayat alergi, risikonya menjadi 25-30 persen.
Angka tersebut meningkat menjadi 20-40 persen jika salah satu orangtua memiliki riwayat alergi. Jika kedua orangtua memiliki riwayat alergi, persentase risikonya menjadi 40-60 persen. Kemudian, jika kedua orangtua memiliki jenis alergi yang sama, persentase risikonya mencapai 60-80 persen.
Di sisi lain, Prof Budi menjelaskan, susu sapi merupakan penyebab alergi terbesar kedua setelah telur pada anak-anak di Asia.
“Seperti dilaporkan di Jakarta (pada) 2013, sebanyak 31 persen anak-anak alergi telur dan 23,8 persen alergi susu sapi. Sedangkan, laporan World Allergy Organization menyatakan bahwa anak di dunia yang menderita alergi susu sapi sekitar 1,9-4,9 persen,” ujarnya.
Gejala alergi susu sapi
Orangtua perlu memahami bahwa gejala alergi susu sapi akan muncul pada tiga organ tubuh. Pertama, saluran cerna yang ditunjukkan dengan gejala, seperti diare dan kolik.
Kedua, pada kulit dengan gejala, seperti urtikaria dan dermatitis atopik. Ketiga, menyerang saluran napas yang dapat menimbulkan gejala, seperti asma dan rinitis.
Berbagai gejala tersebut kemudian diidentifikasikan ke dalam dua kelompok berdasarkan tingkat keparahan, yakni gejala ringan sampai sedang dan gejala berat.
“(Gejala) dikatangan ringan atau sedang, jika anak mengalami satu atau lebih dari beberapa gejala. (Misalnya,) sering gumoh, muntah, diare, konstipasi, darah pada tinja, anemia, dermatitis atopik, angioedema, batuk pilek kronik, serta kolik persisten sehari lebih dari tiga jam dan lebih dari tiga hari dalam seminggu,” kata Prof Budi.
Sementara itu, gejala berat dapat menyebabkan gagal tumbuh pada anak akibat diare secara terus-menerus, gumoh, dan muntah sehingga anak tidak mau makan.
Kemudian, kata Prof Budi, gejala asma atau rinitis dapat mengganggu kualitas tidur anak. Seperti diketahui, untuk mendukung pertumbuhan anak dibutuhkan asupan nutrisi optimal dan hormon pertumbuhan (growth hormone).
“Hormon pertumbuhan itu baru bekerja dengan baik jika anak mendapatkan tidur yang cukup dan berkualitas selama delapan jam. Kalau anak-anak alergi jarang tidur nyenyak. Meskipun makan banyak, tidurnya tidak berkualitas. Dampaknya, berat badan anak tidak akan naik,” ujarnya.
Penanganan alergi susu sapi yang tepat
Menurut Prof Budi, penanganan alergi susu sapi dapat dimulai dengan mengidentifikasi apakah gejala yang dialami anak disebabkan oleh alergi atau penyakit lain. Pasalnya, berbagai gejala tersebut sering tumpang tindih dengan gejala penyakit lain.
“Oleh karena itu, ibu dengan anak berpotensi alergi harus cepat mengenali gejala yang muncul alergi atau penyakit lain,” katanya.
Langkah awal yang dapat dilakukan oleh orangtua adalah menilai gejala yang dialami anak dengan menjawab tiga pertanyaan.
Pertama, apakah gejala anak disertai demam? Kedua, apakah gejala yang dialami saat siang hari lebih dominan jika dibandingkan saat pagi atau malam? Ketiga, jika anak mengalami batuk pilek, apakah dahak atau ingus kental ataupun berwarna?
“Kalau ketiga jawaban dari pertanyaan tersebut adalah tidak, berarti besar kemungkinan terjadi alergi. Jika salah satu pertanyaan tersebut jawabannya iya, bisa jadi anak mengalami infeksi,” ujar Prof Budi.
Setelah mengenali gejala anak, segera konsultasikan ke dokter agar anak mendapat diagnosis yang tepat. Untuk mendiagnosis, biasanya dokter akan menanyakan riwayat alergi orangtua dan saudara kandung, serta makanan apa saja yang pernah dikonsumsi.
“Dengan berkonsultasi, dokter akan memastikan jenis alergi yang diidap anak,” ujar Prof Budi.
Jika anak didiagnosis mengalami alergi susu sapi, langkah selanjutnya adalah mengendalikan gejala alergi dengan melakukan tata laksana alergi pada anak.
Tata laksana yang utama adalah menghindari protein susu sapi dan turunannya, serta berbagai produk yang mengandung susu sapi. Selain itu, kata Prof Budi, berbagai gejala yang muncul akan diobati sesuai indikasi.
Kemudian, memberikan nutrisi pengganti yang sesuai. Untuk anak dengan alergi susu sapi, orangtua bisa menggantinya dengan asupan susu pertumbuhan yang mengandung isolat protein kedelai.
Prof Budi menjelaskan, kini susu soya dibuat dengan hanya mengambil protein kedelai yang disebut isolat soya. Soya sendiri merupakan bahan nabati yang mengandung serat yang identik dengan probiotik.
“Saat ini, banyak susu soya yang ditambahkan probiotik, bifidobacterium. (Probiotik ini) dapat mempercepat remisi atau perbaikan gejala-gejala alergi pada anak,” paparnya.
Salah satu susu pertumbuhan soya dengan kandungan isolat protein soya adalah Morinaga Chil Kid Soya. Isolat protein kedelai pada Morinaga Chil Kid Soya diperkaya dengan L-Metionin, Sistein, Taurin, Karnitin, dan Asam Amino Esensial lain untuk mendukung tumbuh kembang anak.
Susu pertumbuhan itu pun memiliki nutrisi lengkap setara susu sapi sehingga cocok untuk anak dengan alergi susu sapi, intoleransi laktosa, atau menderita galaktosemia.
Business Unit Head Morinaga Specialties Dewi Angraeni mengatakan, susu pertumbuhan merupakan salah satu asupan penting untuk anak karena di dalamnya terkandung berbagai nutrisi, mulai dari makronutrien, mikronutrien, protein lemak, karbohidrat, vitamin, hingga mineral.
“Itu semua sudah disesuaikan kebutuhan anak berdasarkan usianya dan sesuai panduan dari departemen kesehatan,” ujar Dewi.
Morinaga Chil Kid Soya merupakan satu-satunya produk susu pertumbuhan soya dengan isolat protein kedelai sebaik susu sapi untuk mendukung tumbuh kembang anak. Selain itu, Morinaga Chil Kid Soya juga dilengkapi MoriCare+ Triple Bifi dengan kandungan sinergi probiotik triple bifidus dan serat pangan FOS yang tinggi protein soya.
“Produk kami mengandung probiotik yang disebut Triple Bifi dan serat FOS yang mendukung percepatan penyembuhan alergi sehingga anak-anak dengan alergi bisa bebas alergi atau bebas sensitif susu sapi,” paparnya.
Tak hanya itu, Morinaga Chil Kid Soya juga hadir dengan nutrisi yang disempurnakan, seperti lebih tinggi kandungan DHA, protein, omega 6 dan 3, Kolin, serta 14 vitamin dan 9 mineral, yang penting untuk mendukung tumbuh kembang optimal anak.
Susu pertumbuhan untuk anak usia 1-3 tahun itu hadir dengan dua varian rasa, yakni Madu dan Vanila yang disukai anak-anak.