KOMPAS.com – Kondisi gagal tumbuh pada anak atau stunting (tengkes) dapat dicegah sejak usia pranikah, bahkan remaja. Oleh karena itu, pemahaman mengenai stunting perlu dimiliki oleh setiap kalangan, termasuk calon pengantin.
Ketua Tim Informasi Komunikasi Kesehatan Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) Marroli J Indarto mengatakan, minim pemahaman stunting pada setiap calon pengantin dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang calon buah hati.
Hal itu dikatakan Marroli pada acara Genbest Talk yang membahas percepatan penurunan stunting bertajuk Genbest Talk “Catin Cerdas, Stunting Terhempas” di Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah (Jateng), Senin (24/7/2023).
Menurutnya, kesehatan anak tidak dimulai saat dilahirkan, tetapi sejak masih dalam kandungan hingga berusia dua tahun atau periode kritis 1.000 hari pertama kehidupan (HPK).
“Salah satu upaya pencegahan stunting yang dapat dilakukan oleh calon pengantin adalah mengonsumsi makanan bergizi, menjalankan diet sehat, mengonsumsi tablet tambah darah (TTD) secara rutin, serta menjaga kebersihan diri,” ujar Marroli dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (25/7/2023).
Marroli menambahkan, calon pengantin wajib memeriksakan kondisi kesehatan ke puskesmas atau fasilitas kesehatan lain yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan Sertifikat Layak Kawin.
Adapun pemeriksaan kesehatan tersebut dilakukan maksimal tiga bulan sebelum prosesi pernikahan digelar.
Marroli pun mengimbau para remaja untuk tidak menikah di usia dini. Hal ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, pernikahan dini dapat berdampak buruk bagi kesehatan ibu dan bakal buah hati yang dikandung.
“Remaja putri masih membutuhkan gizi maksimal hingga mereka berusia 21 tahun. Bila nutrisi ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi akan lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR) sehingga berisiko stunting. Selain itu, Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2019 telah menetapkan batas usia minimal pernikahan, yakni 19 tahun,” jelasnya.
Menuju Indonesia Emas
Pada kesempatan sama, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Provinsi Jateng Eka Sulistia Ediningsih pun menyampaikan hal senada.
Pemahaman stunting, kata dia,penting dimiliki oleh generasi muda untuk mewujudkan visi Indonesia Emas pada 2045, yakni ketika Indonesia diisi oleh generasi-generasi berkualitas.
Ia menjelaskan, angka kelahiran di Jateng terbilang tinggi ketimbang angka wajar nasional. Oleh karena itu, generasi muda dinilai perlu memahami bahwa memiliki anak bukan sekadar soal kuantitas, melainkan kualitas.
“Di Indonesia, khususnya di Jateng, angka kelahiran mencapai 2,15. Indonesia menghendaki hanya 2,1 saja. Ini merupakan tugas besar BKKBN untuk menurunkan angka tersebut,” kata Eka.
Eka pun mengajak seluruh masyarakat, pemerintah, orangtua, serta anak muda untuk menjaga tingkat pertumbuhan penduduk agar seimbang serta berkualitas.
“Kami di bidang kependudukan ada dua hal yang menjadi fokus. Pertama, menjaga penduduk tumbuh seimbang. Kedua, mewujudkan sumber daya manusia (SDM) unggul untuk Indonesia maju,” tuturnya.
Pencegahan stunting oleh calon pengantin
Pada kesempatan sama, dr Gia Pratama Putra memaparkan bahwa pencegahan stunting yang dapat diterapkan setiap calon pengantin. Salah satunya menjaga jumlah sel darah merah untuk meminimalisasi risiko anemia.
Untuk diketahui, anemia merupakan kondisi tubuh yang mengalami penurunan atau jumlah sel darah merah di bawah kisaran normal. Risiko anemia pun perlu diantisipasi oleh setiap calon pengantin. Pasalnya, anemia merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan ibu melahirkan keturunan stunting.
“Setiap calon pengantin perlu menjaga kesehatan diri. Utamanya, mencegah anemia dengan mengonsumsi protein dan zat besi yang cukup,” kata dr Gia.
Dokter Gia menambahkan, jumlah sel darah merah harus dijaga tetap normal agar terhindar dari anemia.
Oleh karena itu, lanjut dr Gia, calon pengantin harus paham stunting sedari dini karena mereka merupakan penentu kualitas generasi penerus.
Dokter Gia menjelaskan, stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada anak berusia di bawah lima tahun (balita) akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang terutama pada periode 1.000 HPK. Periode ini terhitung sejak janin hingga anak berusia 23 bulan.
Anak tergolong stunting apabila panjang atau tinggi badan berada di bawah minus dua standar deviasi panjang atau tinggi anak seumurannya.
“Anak yang terlahir stunting tidak hanya akan memiliki tubuh pendek, tetapi juga berisiko memiliki tingkat kecerdasan rendah. Hal ini dapat menurunkan tingkat produktivitas sehingga tidak kompetitif,” terang dr Gia.
Tidak hanya itu, imbuh dr Gia, anak yang terlahir stunting juga rentan memiliki penyakit komorbid saat dewasa, seperti darah tinggi atau diabetes melitus.
Terkait kampanye penurunan angka stunting, Kemenkominfo sejak 2019 telah menggandeng generasi muda untuk turut serta mendukung upaya penurunan prevalensi stunting melalui Kampanye Generasi Bersih dan Sehat (Genbest).
Adapun Genbest merupakan inisiatif Kemenkominfo untuk menciptakan generasi Indonesia yang bersih dan sehat serta bebas stunting.
Untuk informasi lebih lengkap seputar stunting, kesehatan, nutrisi, tumbuh kembang anak, sanitasi, siap nikah, ataupun reproduksi remaja dalam bentuk artikel, infografik, serta videografik, kunjungi laman genbest.id dan media sosial @genbestid.