JAKARTA, KOMPAS.com – Untuk memperingati Hari Peduli Limfoma Sedunia yang jatuh setiap 15 September, Mayapada Hospital menggelar diskusi bertajuk “Mengenal Lebih Jauh Kanker Kelenjar Getah Bening” secara daring pada Kamis (14/9/2023).
Kegiatan itu digelar untuk mengenalkan limfoma atau kanker kelenjar getah bening secara lebih mendalam kepada masyarakat. Dengan begitu, kewaspadaan terhadap penyakit berbahaya tersebut dapat meningkat.
Spesialis hematologi-onkologi Mayapada Hospital dr Hilman Tadjoedin, SpPD-KHOM yang hadir sebagai narasumber pada diskusi tersebut menjelaskan, limfoma merupakan salah satu jenis kanker darah, bersama leukemia dan multiplemyeloma.
Sayangnya, banyak orang belum tahu soal penyakit tersebut. Hal ini dikarenakan prevalensi limfoma tidak sebanyak jenis kanker lain.
Meski begitu, ia menekankan bahwa masyarakat harus tetap waspada terhadap limfoma.
Berdasarkan data Globocan 2020, terdapat 83.087 kasus limfoma Hodgkin dengan 23.376 kematian di dunia. Sementara, limfoma non-Hodgkin mencapai 544.352 kasus dengan 259.793 kematian dalam skala wilayah serupa.
Di Indonesia, masih berdasarkan sumber yang sama, prevalensi limfoma Hodgkin berjumlah 1.188 kasus dengan 363 kematian. Sementara, limfoma non-Hodgkin mencapai 16.125 kasus dengan 9. 024 kematian.
Adapun perbedaan limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin terletak pada limfosit yang diserang sel kanker dan gejalanya.
Hilman menjelaskan, limfoma atau dalam istilah medis disebut dengan limfoma maligna terjadi karena limfosit berkembang secara tidak normal dan di luar kendali. Penyakit ini umumnya diderita oleh pria dewasa berusia 20 tahun hingga di atas 60 tahun.
“Sebenarnya, belum ada penelitian yang menguatkan bahwa laki-laki lebih berisiko ketimbang perempuan. Namun, dari kasus yang ada, kebanyakan pasien (limfoma) adalah laki-laki. Kemungkinan ini dipengaruhi struktur protein,” ucap Hilman.
Limfosit sendiri adalah salah satu sel darah putih yang merupakan bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel ini tersebar melalui sistem limfatik, salah satunya kelenjar getah bening. Dalam sistem limfatik, terdapat dua jenis limfosit, yaitu sel B dan sel T.
Adapun limfoma Hodgkin umumnya terjadi karena mutasi pada limfosit B. Sementara, non-Hodgkin yang prevalensinya lebih tinggi terjadi akibat mutasi pada kedua jenis, yakni B dan T.
“Limfoma merupakan penyakit serius dan dapat menyebar ke bagian lain pada sistem getah bening jika tidak diobati. Padahal, getah bening memiliki fungsi vital terhadap sistem imun,” ucap Hilman.
Ia melanjutkan, gejala limfoma bisa bermacam-macam, tergantung pada jenis dan bagian tubuh yang diserang. Umumnya, penyakit tersebut memiliki gejala berupa kemunculan benjolan atau pembengkakan di beberapa bagian tubuh yang terdapat kelenjar getah bening. Contohnya, leher, ketiak, dan selangkangan.
Selain itu, terdapat tanda-tanda lain yang mesti diwaspadai. Beberapa di antaranya adalah demam dan berkeringat lebih pada malam hari, berat badan turun hingga 10 persen dalam enam bulan tanpa sebab jelas, perut membesar dan merasa kenyang meski makan sedikit, nyeri dada disertai sesak napas atau batuk, sering infeksi, serta mudah memar atau berdarah.
Meski begitu, pada beberapa kasus, limfoma tidak menunjukkan gejala apa pun sampai sel kanker tumbuh cukup besar.
“Kemunculan benjolan kecil di leher atau ketiak yang tak kunjung hilang bisa menjadi tanda. Sebaiknya, segera periksa ke dokter jika salah satu gejala itu terjadi. Semakin dini limfoma terdeteksi, maka kesempatan untuk mendapatkan pengobatan yang lebih cepat, tepat, dan efektif ada,” imbuhnya.
Diagnosis dan pengobatan
Dalam menentukan diagnosis limfoma, dokter akan melakukan sejumlah tata laksana, mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, tes darah, termasuk imunohistokimia, hingga biopsi.
Biopsi sendiri menjadi gold standard dalam proses diagnosis limfoma. Metode yang dikerjakan oleh dokter spesialis bedah onkologi ini dilakukan dengan mengambil sampel kelenjar getah bening. Sampel ini kemudian diperiksa untuk mengetahui keberadaan sel kanker.
“Sebagai internis, kami juga akan melakukan pemeriksaan sistemik, seperti mengecek fungsi hati, ginjal, dan gula darah agar pemeriksaan bersifat holistis,” jelas Hilman.
Setelah itu, pasien akan diarahkan pada pemeriksaan lain dengan alat yang lebih canggih. Contohnya, ultrasonografi (USG), computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI), dan positron emission tomography (PET) scan.
“PET scan sangat berguna dalam melihat jangkitan yang lebih dalam dan tidak bisa dilihat pada pemeriksaan obyektif semata. Jadi, ketepatan dan kecepatan diagnosis membantu penentuan terapi yang berdampak pada efektivitas pengobatan,” imbuhnya.
Terkait pengobatan, penentuannya didasari pada jenis limfoma yang diderita. Salah satunya adalah R-CHOP. Metode ini terdiri dari tiga jenis kemoterapi yang dikombinasikan dengan pemberian antibodi monoklonaldan steroid.
Selain itu, ada pula terapi target yang bertujuan menekan sel kanker. Namun, metode ini tetap harus dibarengi dengan kemoterapi untuk memberikan efektivitas.
“Kombinasi ideal untuk mengobati limfoma adalah kemoterapi dengan terapi target,” sebut Hilman.
Kemudian, limfoma juga bisa diobati dengan imunoterapi yang bekerja dengan merangsang sistem imun tubuh untuk melawan sel kanker serta transplantasi atau cangkok sumsum tulang.
“Imunoterapi sendiri mampu meminimalkan kerusakan sel sehat. Bahkan, memberikan harapan baru untuk penanganan limfoma,” terangnya.
Dengan metode yang tepat, pasien limfoma Hodgkin umumnya memiliki prospek kesembuhan hingga 89 persen. Sementara, prospek pasien non-Hodgkin untuk pulih mencapai 74 persen dengan harapan hidup lima tahun usai didiagnosis.