KOMPAS.com - Selama lima tahun terakhir, kampanye edukasi terkait penyakit kanker getol dilakukan sejumlah pihak, tak terkecuali oleh praktisi serta industri di bidang kesehatan. Langkah ini dilakukan untuk membangun kesadaran masyarakat terkait pencegahan kanker, termasuk kanker payudara.
Meski begitu, kanker payudara saat ini masih menduduki peringkat pertama sebagai kanker terbanyak di Indonesia dengan tingkat kematian yang terbilang tinggi. Padahal, tingkat kesembuhan kanker payudara terbilang tinggi apabila gejala kanker terdeteksi sejak dini.
Perlu diketahui, ada dua strategi penting guna mencegah kematian akibat kanker payudara, yakni dengan skrining dan mendeteksi kanker payudara sejak dini. Tujuannya, untuk mendapatkan perawatan kanker yang cepat dan tepat.
Dokter Spesialis Bedah Konsultan Onkologi dari Mayapada Hospital Surabaya dr Nina Irawati SpB(K)Onk-KL mengatakan, kanker payudara yang terdeteksi secara dini lebih mudah diobati. Sebab, kondisi kanker pada fase awal masih terbilang kecil dan belum menyebar ke jaringan lain.
Menurut dr Nina, pemeriksaan kesehatan secara berkala merupakan cara tepat untuk mendeteksi kanker payudara sejak dini.
“Kanker payudara sering kali ditemukan setelah gejala muncul. Namun, banyak wanita menderita kanker payudara tidak merasakan gejala di fase awal. Inilah mengapa pemeriksaan kanker payudara secara rutin begitu penting,” ujar dr Nina dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Senin (30/10/2023).
Dokter Nina melanjutkan, deteksi dini merupakan upaya menemukan serta mendiagnosis penyakit lebih awal. Bahkan, sebelum gejala muncul. Sementara, pemeriksaan skrining merujuk kepada tes dan pemeriksaan guna menemukan penyakit pada seseorang yang tidak memiliki gejala apa pun.
Adapun skrining pada kasus kanker payudara bertujuan untuk menemukan sel kanker sedini mungkin sebelum memicu gejala. Sebagai contoh, benjolan di area payudara yang bisa dirasakan penderita.
Kanker payudara yang ditemukan selama pemeriksaan skrining pun diharapkan masih berukuran kecil sehingga meminimalkan kemungkinan kanker menyebar di luar jaringan payudara.
“Pada tahap skrining dan deteksi dini, ukuran kanker payudara serta sejauh mana sel kanker menyebar menjadi faktor penting untuk memprediksi prospek atau tahap penanganan berikutnya dari seseorang yang terkena kanker payudara,” terang dr Dini.
Urgensi deteksi dini SADARI dan SADANIS
Sementara itu, Spesialis Bedah Konsultan Onkologi dari Mayapada Hospital Bandung Dokter Francisca Badudu menambahkan, untuk menemukan kanker payudara pada stadium yang lebih dini, masyarakat perlu waspada dengan melakukan dua hal penting, yaitu Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dan Pemeriksaan Payudara secara Klinis (SADANIS).
Menurutnya, jika seseorang menemukan kelainan pada saat melakukan SADARI, penderita dapat memeriksakan diri lebih lanjut ke fasilitas kesehatan (faskes) untuk melakukan SADANIS.
“Perempuan harus peduli untuk secara mandiri mengenali bentuk payudara nya dan harus awas jika ada perubahan yang terlihat maupun terasa dengan SADARI. Walaupun manfaat dari pemeriksaan SADARI terbatas, sebaiknya dilakukan sebulan sekali saat hari ke-7 sampai hari ke-10 saat menstruasi. Jika menemukan perubahan apa pun, segeralah konsultasi ke dokter,” kata dr Francisca.
Dokter Francisca menambahkan, meski American Cancer Society (ACS) tidak mewajibkan secara rutin pemeriksaan payudara klinis (SADANIS), tidak berarti bahwa SADANIS tidak boleh dilakukan sama sekali.
“Dalam beberapa situasi, para perempuan yang ragu akan perubahan bentuk payudara atau perempuan yang memiliki faktor risiko tinggi, SADANIS dapat dilakukan bersamaan dengan konseling tentang risiko dan pemeriksaan deteksi dini lainnya,” jelasnya.
Terkait hal itu, dr Nina menambahkan bahwa mengacu pada ACS, terdapat panduan pemeriksaan untuk dua kelompok wanita.
Pertama, wanita yang berisiko tinggi terkena kanker. Kedua, wanita dengan risiko rata-rata (wanita pada umumnya).
“Berdasarkan panduan ACS, seorang wanita dianggap memiliki risiko rata-rata jika dia tidak memiliki riwayat pribadi kanker payudara, riwayat keluarga kanker payudara, atau mutasi genetik yang diketahui meningkatkan risiko kanker payudara, dan belum pernah menjalani terapi radiasi dada sebelum usia 30 tahun,” terangnya.
Untuk itu, dr Nina memberikan rekomendasi frekuensi pemeriksaan dini untuk para perempuan sesuai ACS.
Ia mengungkapkan, perempuan berusia 40 sampai 44 tahun dapat memulai pemeriksaan mammogram secara berkala setiap tahun. Sementara, perempuan berusia 45 sampai 54 tahun direkomendasikan untuk melakukan mammogram secara rutin setiap tahun.
“Bagi perempuan berusia 55 tahun ke atas, dapat melakukan mammogram setiap tahun atau dua tahun sekali. Pada intinya, dalam kondisi yang sehat, pemeriksaan mammogram diharapkan terus berlanjut dan dilakukan secara rutin,” kata dia.
Adapun perempuan yang memiliki risiko tinggi terkena kanker payudara diimbau menjalani pemeriksaan mammogram dan magnetic resonance imaging (MRI) setiap tahun.
Pemeriksaan tersebut dapat dilakukan untuk perempuan yang berusia mulai dari 30 tahun dengan beberapa faktor risiko, seperti memiliki riwayat keluarga kanker payudara.
“Sebagai contoh, ibu atau neneknya, dan mempunyai mutasi gen BRCA1 atau BRCA2 berdasarkan hasil tes genetik yang mungkin sudah pernah dilakukan. Selain itu, pernah menjalani terapi radiasi di area dada saat berusia antara 10 dan 30 tahun,” imbuhnya.
Mammogram dan USG payudara
Untuk diketahui, mammogram adalah salah satu cara pemeriksaan payudara menggunakan sinar-X dosis rendah.
Metode tersebut dinilai bermanfaat untuk mendeteksi perubahan pada payudara yang berpotensi menjadi kanker jauh sebelum timbulnya gejala fisik.
Sejumlah penelitian membuktikan bahwa jika ditemukan bakal kanker payudara saat mammogram rutin, pasien diklaim memiliki potensi sembuh yang lebih tinggi serta dapat melakukan perawatan agresif yang lebih minimal.
Adapun perawatan agresif meliputi sejumlah tindakan, seperti operasi pengangkatan seluruh payudara (mastektomi) dan kemoterapi.
Biasanya, jika ditemukan potensi kanker pada proses pemeriksaan mammogram skrining, seseorang akan menjalani tes lanjutan atau tes lain, seperti ultrasonografi (USG) payudara. Tujuannya, untuk mengetahui lebih lanjut kondisi yang dicurigai sebagai kanker.
Dokter Spesialis Bedah Konsultan Onkologi Mayapada Hospital Kuningan dr Stefanny SpB SubspOnk (K) menjelaskan, pemeriksaan USG payudara adalah pemeriksaan menggunakan gelombang suara.
Adapun USG tersebut pada prinsipnya hampir sama dengan USG kehamilan, tapi dilakukan pada organ payudara.
“USG dapat menjadi alternatif tes pada wanita yang berusia lebih muda, karena jaringan payudara yang biasanya masih padat sehingga kurang ideal jika dilakukan mammogram. USG payudara berguna untuk memeriksa beberapa perubahan pada payudara, seperti benjolan atau gejala lain,” kata dr Stefanny.
Lebih lanjut, dr Stefanny menambahkan, USG efektif membantu mendeteksi jika ada area abnormal pada jaringan payudara yang padat dan sulit terlihat pada pemeriksaan mammogram.
Tidak hanya itu, imbuhnya, penanganan tersebut dapat digunakan untuk pemeriksaan lebih lanjut pada area yang terlihat mencurigakan setelah pemeriksaan mammogram.
“Dengan pemeriksaan USG payudara, tenaga medis dapat membedakan antara massa berisi cairan, seperti kista atau massa padat yang mungkin memerlukan pengujian lebih lanjut untuk memastikan kanker atau bukan,” ujarnya.
Sebagai informasi, pemeriksaan mammogram dan USG payudara dapat dilakukan secara tepat di fasilitas kesehatan (faskes) unggulan.
Salah satu faskes andal yang dapat jadi rujukan adalah pusat pelayanan kanker terpadu Oncology Center Mayapada Hospital.
Adapun layanan Oncology Center Mayapada Hospital menyediakan layanan komprehensif dan menyeluruh, mulai dari pencegahan, deteksi dini, diagnosis, pengobatan, dan terapi berkelanjutan untuk tumor dan kanker. Layanan ini pun didukung oleh kolaborasi tim multispesialis dan fasilitas terkini.
Adapun tim multispesialis yang hadir di Oncology Center Mayapada Hospital terdiri dari dokter multidisiplin, seperti dokter bedah onkologi, dokter penyakit dalam, konsultan hematologi onkologi, dokter onkologi radiasi, dokter ginekologi onkologi, dan spesialis terkait lainnya sesuai kebutuhan pasien.