Advertorial

British Council Buka Beasiswa Khusus Perempuan, Upaya Runtuhkan Batasan Gender di Bidang STEM

Kompas.com - 02/05/2024, 12:27 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com – Sejak lama, perempuan telah memainkan peran penting dalam perkembangan teknologi dan sains dunia. Di dunia science, technology, engineering and math (STEM) yang kerap didominasi laki-laki, mereka mampu mendobrak batasan dan berprestasi demi kemajuan peradaban.

Sebut saja Marie Curie, penemu radioaktivitas yang membuka jalan bagi pengobatan kanker dan teknologi nuklir. Ia juga merupakan peraih Nobel pertama kali berkat temuannya tersebut.

Kemudian, Ada Lovelace yang menjadi pelopor bahasa pemograman pertama. Lalu, disusul Grace Hopper, "nenek" pemrograman komputer yang memelopori bahasa pemrograman COBOL. Lalu, Rosalind Franklin dengan foto DNA-nya yang revolusioner.

Perempuan-perempuan tangguh nan berbakat di bidang STEM kian bermunculan hingga kini. Di era modern, ada CEO Youtube Susan Wojcicki yang memimpin platform video terbesar di dunia. Lalu, CEO Oracle Safra Catz yang menjadi salah satu pemimpin bisnis paling berpengaruh di dunia.

Indonesia tak mau kalah. Di negeri ini, ada Dwikorita Karnawati, Arvila Delitriana, Tri Mumpuni, dan Moorisa Tjokro yang menjadi sebagian kecil contoh perempuan inspiratif yang berkarya di bidang STEM dan membawa perubahan positif bagi masyarakat.

Meski perempuan telah menunjukkan kemampuannya di bidang STEM, masih saja ada kesenjangan yang signifikan dalam jumlah partisipasi pada beberapa sektor STEM, termasuk keilmuannya.

Berdasarkan data UNESCO, kurang dari 30 persen peneliti dunia adalah perempuan dan hanya 30 persen pelajar perempuan memilih bidang terkait STEM di pendidikan tinggi.

Dari segi keilmuan, partisipasi pelajar perempuan secara global di bidang teknologi informasi dan komunikasi hanya 3 persen. Sementara, ilmu pengetahuan alam, matematika dan statistik 5 persen, serta teknik, manufaktur dan konstruksi 8 persen.

Menutup gap, membuka peluang

Guna mendorong partisipasi perempuan di bidang STEM, British Council menawarkan beasiswa Women in STEM. Beasiswa ini ditujukan bagi perempuan Indonesia yang ingin melanjutkan pendidikan strata dua (S2) di bidang STEM di universitas ternama di Inggris.

Head of Education British Council Muhaimin Syamsuddin mengamini bahwa ada ketimpangan gender pada beberapa sektor STEM.

“(Kira-kira) tahun lalu (2023), kami melakukan semacam riset dengan melihat data-data yang ada. Kami menemukan pada bidang tertentu, seperti farmasi, jumlah partisipasi perempuan cukup besar. Lain hal dengan bidang engineering, jomplang sekali proporsi laki-laki dan perempuannya,” ujarnya.

Maka dari itu, beasiswa Women in STEM diharapkan dapat mendorong perempuan Indonesia yang ingin menempuh pendidikan di bidang STEM.

Muhaimin tak menampik jika stereotip gender di bidang STEM masih sering muncul. Bidang ini sering dianggap sebagai domain laki-laki, sedangkan perempuan diasumsikan lebih cocok untuk bidang lain.

Namun, ia menekankan bahwa anggapan tersebut perlu diubah. Faktanya, banyak perempuan yang memiliki bakat dan minat di bidang STEM, bahkan mampu menunjukkan prestasi luar biasa.

“Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa role model perempuan yang bisa menjadi contoh bagi generasi muda. Salah satunya, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati,” ucapnya.

Lebih lanjut, Muhaimin menuturkan bahwa di Inggris, keterlibatan perempuan di bidang STEM sudah semakin tinggi. Hal ini didapati dari testimoni dan alumni British Council yang melanjutkan pendidikan di sana. Menurut mereka, tidak ada lagi perbedaan perlakuan antara mahasiswa laki-laki dan perempuan.

Cerita Ashela Risa cicipi dan tamatkan S2 di Inggris

Inggris telah lama dikenal sebagai salah satu negara dengan sistem pendidikan baik. Bahkan, perguruan-perguruan tinggi di Negeri Ratu Elizabeth ini kerap masuk ke dalam daftar universitas top dunia.

Dikenal sebagai negara pencetus revolusi industri, Inggris juga menghasilkan banyak penelitian unggulan terkait STEM lewat institusi-institusi pendidikannya.

“Kemudahan mendapatkan pendidikan tinggi di Inggris merupakan kesempatan yang sangat baik bagi perempuan muda Indonesia. Dengan mengenyam pendidikan di sana, mereka dapat memperoleh skill dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk bekerja di bidang STEM,” kata Muhaimin.

Tidak itu saja, menurut laporan Global Gender Gap Report 2023 yang dirilis World Economic Forum (WEF), Inggris berada di peringkat 15 dari 146 sebagai negara dengan kesetaraan gender terbaik di dunia.

Setali tiga uang, peraih beasiswa Women in STEM British Council angkatan 2022/2023 Ashela Risa mengakui hal tersebut. Perempuan asal Kabupaten Bengkalis, Riau, ini pun menceritakan perjalanannya meraih beasiswa tersebut dan menempuh pendidikan S2 di Inggris, serta pandangannya soal kesetaraan gender.

Sebelum terbang ke Inggris untuk melanjutkan S2 di bidang kesehatan masyarakat yang juga ia pelajari saat S1, Ashela atau akrab disapa Shela merupakan aparatur sipil negara (ASN) di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bengkalis.

Di balik kedinasannya itu, Shela punya segudang pengalaman, salah satunya menjadi pengajar di Kabupaten Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, dalam program Indonesia Mengajar.

Terkait ilmu kesehatan masyarakat yang dipelajari, Shela mengaku bahwa dia tidak pernah terpikirkan untuk mengambilnya. Justru, dia bercita-cita menjadi dokter. Namun, gurunya di SMA menyarankan untuk mengambil program studi (prodi) kesehatan masyarakat karena peluang kerjanya besar di daerah.

Berbekal saran tersebut dan pertimbangan jurusan kedokteran terlalu banyak saingan, Shela mengambil prodi kesehatan masyarakat di Universitas Sumatera Utara di Medan.

Tamat S1, Shela melamar menjadi pegawai negeri sipil (PNS) dan mendapat penempatan di RSUD Bengkalis. Di sana, muncul keinginan untuk terus mengembangkan diri sehingga ia terdorong untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang S2 dan mencari beasiswa.

“Saya sudah memiliki motivasi untuk mencari beasiswa sejak lama, bahkan saat masih SMP. Saya memiliki cita-cita, tetapi pada saat itu saya belum memiliki rencana konkret untuk mencapainya,” ujarnya.

Sejak lama, Sela memimpikan untuk belajar di Inggris. Minat ini berawal dari kecintaannya pada buku-buku bagus dan novel berlatar belakang Inggris, khususnya seri Harry Potter. Keinginannya semakin kuat saat mempelajari kisah epidemiolog ternama, John Snow, yang mengungkap penyebab wabah kolera di London.

Pengalaman mengajar di Indonesia Mengajar di Rote Ndao pun menjadi titik balik. Saat menjawab pertanyaan dari seorang murid, "mengapa belajar bahasa Inggris?", Shela tergerak untuk memperkenalkan bahasa Indonesia ke dunia internasional. Hal ini mendorongnya untuk melanjutkan studi di Inggris.

Keputusan Shela untuk mencari beasiswa sejak 2016 bukan hanya karena motivasi di atas, melainkan juga pertimbangan finansial. Sementara, beasiswa British Council menawarkan dukungan penuh, termasuk biaya ujian IELTS.

Sebagai informasi, British Council berkomitmen penuh untuk mendukung para calon penerima beasiswa dalam menempuh pendidikan di Inggris. Dukungan yang diberikan organisasi ini lewat Women in STEM Scholarship tidak hanya berupa biaya pendidikan, tapi juga biaya tempat tinggal, transportasi, VISA dan jaminan kesehatan (NHS surcharge), serta reimburse biaya IELTS.

Shela mengetahui adanya beasiswa Women in STEM pada akhir 2021. Sejak saat itu, dia memulai persiapannya dengan mengikuti tes IELTS pada Januari 2022 dan menyiapkan aplikasi untuk pendaftaran kohort 2022-2023.

Ia mengungkapkan, pendaftaran beasiswa Women in STEM berbeda dengan beasiswa lainnya. Contohnya, seperti yang diberikan Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Tahapan beasiswa dari British Council itu adalah mendaftar ke kampus yang dituju, memenuhi syarat-syarat, seperti personal statement dan sertifikat bahasa, serta mengisi dua formulir aplikasi online (aplikasi kampus dan beasiswa).

Selama persiapan, Shela aktif berkomunikasi dengan penerima beasiswa sebelumnya untuk memahami apa yang membuat mereka diterima dan memperbesar peluangnya. Salah satu strateginya adalah mendapatkan letter of acceptance (LOA) dari universitas yang dituju.

Ia berhasil mendapatkan LOA conditional dari Liverpool John Moores University (LJMU) dan Brunel University London, dan akhirnya diterima di LJMU.

Seleksi beasiswa Women in STEM dari British Council pun tidak ada tahapan wawancara, hanya seleksi berkas berupa pengisian formulir pendaftaran kampus dan formulir esai beasiswa. Namun, beberapa kampus mungkin meminta wawancara untuk mendapatkan LOA.

“Menurut saya, secara keseluruhan, prosesnya terbilang cukup singkat dan tahapannya juga sederhana,” ucap Shela.

Perpindahan ke Inggris untuk menempuh pendidikan S2 di LJMU membawa banyak perubahan bagi Shela, terutama dalam hal sistem belajar dan lingkungan. Awalnya, ia khawatir dengan kemampuannya untuk beradaptasi dengan gaya belajar di sana. Namun, kekhawatiran itu teratasi dengan baik.

“LJMU dan mungkin juga Inggris secara umum, memiliki sistem yang sangat mendukung mahasiswa internasional, seperti writing cafe untuk membantu meningkatkan kemampuan menulis akademik, pelatihan, peminjaman laptop, fasilitas ibadah, pusat konseling, dan personal tutor,” tutur Shela.

Tantangan terbesar, lanjutnya, justru datang dari cuaca, iklim, dan makanan. Cuaca di Inggris yang dingin dan berangin terasa asing bagi Shela yang terbiasa dengan iklim tropis.

Soal kesetaraan gender, Shela menuturkan, jumlah perempuan di jurusan kesehatan masyarakat di LJMU lebih banyak ketimbang laki-laki. Ia pun tidak merasakan adanya stigma atau diskriminasi gender selama menempuh pendidikan di sana, tidak seperti yang pernah ia alami sebelumnya.

Shela sempat melihat beberapa perempuan di lingkungannya terpaksa mengubur mimpi karena faktor budaya, stereotip, dan stigma kuat tentang perempuan yang tidak perlu sekolah tinggi. Utamanya, di bidang STEM yang lebih cocok untuk laki-laki.

Sekalipun mendapat kesempatan untuk sekolah tinggi, jurusannya yang dipilih harus identik dengan perempuan. Akibatnya, banyak yang mengubah jurusan karena tidak mendapat restu dari keluarga.

“Secara keseluruhan, pengalaman belajar di UK memberikan banyak pelajaran berharga bagi saya. Sistem yang mendukung dan atmosfer yang setara gender membuat saya merasa nyaman dan fokus pada studi,” ujarnya.

Shela memandang beasiswa Women in STEM dari British Council sebagai langkah penting untuk mendukung kesetaraan gender di bidang STEM di Indonesia. Beasiswa ini membuka peluang bagi perempuan untuk melanjutkan studi di bidang yang masih didominasi laki-laki tersebut.

Ia memahami bahwa beberapa orang mungkin mempertanyakan perlunya beasiswa khusus perempuan, dengan anggapan bahwa hal ini tidak adil dan meragukan kemampuan perempuan.

Namun, Shela menekankan bahwa realitanya perempuan masih menghadapi banyak hambatan dalam pendidikan dan karier STEM. Oleh karena itu, skema beasiswa Women in STEM dari British Council menjadi penting untuk memberikan kesempatan yang lebih luas bagi perempuan mengejar cita-cita di bidang STEM dan mencapai kesetaraan gender.

Ia pun berpesan kepada para perempuan untuk mengabaikan suara-suara yang mengerdilkan. Sebaliknya, ia mengajak perempuan untuk tetap fokus pada tujuan karena tidak ada yang tidak mungkin selama berani mencoba.

Informasi lebih lanjut mengenai beasiswa Women in STEM bisa didapat dengan mengunjungi laman https://bit.ly/WIS2024.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com