Advertorial

DPRD Surabaya Inisiasi Sambung Mesra Budaya Jepang dan Jawa lewat Kelas Menulis Hanacaraka

Kompas.com - 08/05/2024, 20:52 WIB

KOMPAS.com - Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Surabaya A Hermas Thony mendorong agar budaya Jepang dan Jawa dapat selalu bersanding harmonis di Surabaya.

Hal itu diwujudkan lewat kelas menulis Hanacaraka-aksara Jawa-yang digelar di Museum Pendidikan Surabaya. Adapun acara ini digagas oleh Puri Aksara Rajapatni dan didukung penuh oleh DPRD Surabaya.

Langkah tersebut diambil sebagai bagian dari upaya optimalisasi kerja sama budaya antarnegara sehingga terbangun budaya global dan kesempatan untuk saling bertukar ilmu satu sama lain.

Bekerja sama dengan Konsulat Jenderal (Konjen) Jepang di Surabaya, Puri Aksara Rajapati secara rutin menyelenggarakan kelas menulis aksara Jawa dengan gaya khas Jepang. Teknik penulisannya pun tidak menggunakan pulpen biasa, tetapi dengan pena khas Jepang dengan dicelupkan ke dalam tinta dan dituangkan dalam deretan tulisan.

Tidak hanya itu, kelas tersebut juga mengenalkan seni kaligrafi Jepang, Shodo. Menariknya, Konjen Jepang menghadirkan langsung ahli Shodo, yakni Yoko Terakawa dan Kota Nakagome.

“Akulturasi budaya ini merupakan kegiatan positif untuk saling mengenalkan dan memperkaya budaya masing-masing. Huruf kanji, hiragana, dan katakana diperkenalkan dari sisi Jepang, sedangkan Jawa memperkenalkan Hanacaraka,” ujar AH Thony dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu (8/5/2024).

Sebagai pimpinan DPRD Surabaya dari Partai Gerindra, AH Thony turut serta dalam kelas Hanacaraka tersebut.

Ia melihat banyak pelajaran yang dapat dipetik dari semangat belajar orang Jepang dalam menghadapi hal baru.

“Inilah kolaborasi harmonis untuk lebih memahami budaya masing-masing. Perpaduan budaya melalui aksara Jawa dan Jepang. Orang Jepang menggunakan kimono sambil menulis Hanacaraka, sedangkan warga Surabaya menggunakan blankon menulis aksara Jepang,” tukasnya.

Wakil Konjen Jepang di Surabaya, Ishii Yutaka, datang bersama keluarganya untuk mengikuti kelas menulis aksara Jawa Hanacaraka. Selain itu, dosen ekspatriat dari kampus-kampus di Surabaya dan sejumlah mahasiswa juga ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Salah satu momen yang paling menarik adalah saat peserta menuliskan aksara Hanacaraka dan aksara Jepang dalam satu tulisan. Peserta Jepang menulis Hanacaraka sementara peserta dari Surabaya menulis aksara kanji.

Kemudian, hasilnya kemudian disatukan dalam satu kertas untuk dilihat bersama. Mereka pun sepakat untuk menulis kata-kata dalam bahasa Jepang menggunakan aksara Hanacaraka dan sebaliknya.

Ishii mengaku merasa tertantang saat menulis aksara Jawa. Dengan ketelatenan dan keseriusan tingkat tinggi, ia berhasil menulis kata-kata Jepang dengan aksara Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa proses penulisan aksara Jawa mirip dengan seni kaligrafi Jepang.

“Dalam menulis aksara Jepang, kami biasa melakukannya dengan putus-putus. Akan tetapi, dalam menulis aksara Jawa, lekukannya harus tersambung terus. Ini memerlukan konsentrasi dan sikap duduk yang tepat saat menulis aksara Jawa,” ujar Ishii.

Sikap konsisten orang Jepang

Jepang dikenal sebagai negara maju yang mampu bangkit lebih cepat, khususnya selepas Perang Dunia II.

Akan tetapi, kata AH Thony, memori bangsa Indonesia tidak boleh melupakan masa lalu di mana Jepang pernah menjajah Indonesia. Ia menegaskan bahwa sejarah tetap tidak boleh dilupakan, tapi tidak boleh larut.

Menurutnya, hal yang diperlukan saat ini adalah saling menguatkan, termasuk dalam hal memperkenalkan budaya Jepang dan Jawa melalui aksara negara masing-masing. Jepang dan Indonesia di Surabaya bersatu melalui Hanacaraka.

Ia mengakui bahwa semangat masyarakat Jepang terlihat saat mereka mempelajari aksara Jawa. Mereka tidak hanya serius hingga bisa, tetapi juga menanamkan konsistensi dan keberlanjutan dalam belajar.

“Sikap ini patut ditiru. Memang kita harus belajar budaya orang Jepang yang tekun dan istikamah, totalitasnya,” tambah AH Thony.

Ia menegaskan bahwa budaya kerja keras, ketekunan, dan keteguhan harus dijadikan contoh yang patut ditiru.

“Semua hal harus melalui proses dengan serius. Dengan proses yang baik, hasilnya juga akan baik,” kata AH Thony.

Mengenal budaya Jepang tidak sekadar mengenal huruf kanji, tetapi juga berarti memahami karakteristik dan perilaku masyarakatnya. Menyatukan budaya Jepang dan Jawa berarti memahami kedua karakteristik masyarakatnya.

“Ingat, di Surabaya ada Kembang Jepun. Itu adalah peninggalan dari Jepang,” tandas AH Thony.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com