KOMPAS.com – Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Muhammad Tito Karnavian menegaskan perlunya kolaborasi lintas negara dan sektor dalam mengelola sumber daya air.
Hal itu Tito sampaikan saat menjadi pembicara dalam pertemuan 10th Local and Regional Government (LRG) World Water Forum (WWF) di Bali Nusa Dua Convention Center (BNDCC), Badung, Rabu (22/5/2024).
“Air bersifat transnasional dan melintasi batas antarnegara. Tidak ada satu negara pun di dunia yang dapat mengelola air secara mandiri. Oleh karena itu, kolaborasi dari semua negara sangatlah penting,” jelas Tito dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Rabu.
Upaya terpadu itu, lanjutnya, tidak hanya dilakukan di tingkat internasional, seperti yang diwujudkan dalam 10th WWF di Bali, tapi juga nasional dan lokal.
“Di tingkat nasional, kolaborasi harus melibatkan pemerintah pusat, provinsi, kota, dan kabupaten. Sedangkan di tingkat lokal, melibatkan pemerintah desa dan masyarakat,” ucap Tito.
Air tidak mengenal sistem pemerintahan
Dalam kesempatan tersebut, Tito juga menyadari setiap negara punya sistem pemerintahan dan administrasi yang berbeda.
“Ada negara yang menganut sistem demokrasi, sentralisasi, dan desentralisasi, baik penuh maupun sebagian. Namun, air tidak mengenal sistem tersebut sehingga upaya pengelolaan sumber daya air tetap harus dilakukan secara kooperatif, mulai dari tingkat internasional hingga desa,” ucapnya.
Tito mencontohkan Indonesia. Negara ini menerapkan sistem pemerintahan demokrasi dengan sistem administrasi desentralisasi sebagian. Terdapat 38 provinsi, 98 kota, dan 416 kabupaten, serta 280 juta penduduk di dalamnya.
“Kami membagi tugas pengelolaan air kepada pemerintah pusat, provinsi, kota, kabupaten, dan desa. Sekali lagi itu tidak mudah, karena fakta luasnya negara,” ucap Tito.
Tito juga membagikan beberapa upaya strategis yang telah dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah di Indonesia untuk mendukung pengelolaan sumber daya air.
Pertama, menerbitkan kebijakan terkait air minum dan sanitasi untuk mencapai target pembangunan nasional.
Kedua, memfasilitasi dan mengawasi pemerintah daerah dalam meningkatkan penggunaan air irigasi.
Ketiga, melaksanakan monitoring dan evaluasi terhadap pemerintah daerah untuk meningkatkan ketahanan terhadap bencana hidrometeorologi, seperti banjir, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, cuaca ekstrem, dan tanah longsor.
Keempat, mendorong pemerintah daerah untuk merumuskan dan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang sumber daya air.
Kelima, melakukan inovasi dan terobosan untuk mendukung kelestarian sumber daya air di tingkat lokal.
Keenam, mendirikan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menyediakan air minum dan air bersih.
Terakhir, mengawasi pemerintah desa dalam menggunakan alokasi anggaran Dana Desa untuk mengatasi permasalahan air.
“Pada 2024, pemerintah pusat mengalokasikan dana sebesar 4,4 miliar dollar AS untuk desa. Sebagian dana tersebut digunakan untuk mendukung pengelolaan air di tingkat desa,” beber Tito.
Pengelolaan air di tingkat desa itu mencakup berbagai program, seperti pembangunan saluran air irigasi, penyediaan sarana air bersih, pembangunan toilet, pembuatan sumur, dan penanaman kembali daerah resapan air.
Upaya itu tidak hanya melibatkan kerja sama antarlembaga pemerintah, tapi juga seluruh pemangku kepentingan, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), masyarakat sipil, media, akademisi, tokoh agama, dan seluruh individu di masyarakat.
"Kolaborasinya meliputi berbagai program, mulai dari pendidikan, konservasi, penyediaan pengelolaan air bersih, hingga mitigasi pencemaran, termasuk penanganan sampah,” sebut Tito.
Turut hadir dalam forum tersebut Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Agus Harimurti Yudhoyono, Presiden World Water Council (WWC) Loïc Fauchon, serta Mayor of Konya/Presiden United Cities and Local Governments (UCLG) Ugur Ibrahim Altay.