KOMPAS.com – HSBC Indonesia mendorong integrasi jaringan pembayaran real-time di Asia dalam upaya memperkuat stabilitas keuangan regional. Hal ini dibutuhkan karena “magnet” Asia Tenggara (ASEAN) dan Asia Selatan bagi perdagangan global semakin menguat.
Managing Director Head of Wholesale banking HSBC Indonesia Riko Tasmaya mengatakan, ketika tensi politik di seluruh dunia memanas, perdagangan dunia pun terkena imbasnya. Mulai dari “perang urat saraf” China dan Amerika Serikat (AS), konflik Ukraina dan Rusia, hingga krisis Timur Tengah membuat rantai pasokan internasional terganggu.
Namun, di tengah kondisi tersebut, kawasan Asia Tenggara mampu bertahan, bahkan tumbuh.
Menurutnya, kemampuan untuk membangun jaringan regional yang beragam hingga diversifikasi produk membuat ASEAN bisa meminimalisasi dampak global di level lokal. Hal ini membuat ASEAN menjadi tujuan investasi dan basis produksi yang menarik.
Berdasarkan data HSBC, ASEAN menyumbang 17 persen dari investasi langsung luar negeri global pada 2022. Adapun hampir 40 persen investasi berasal dari AS, Uni Eropa, dan Jepang. Pada paruh pertama 2022, ASEAN melampaui Eropa sebagai mitra dagang terbesar China.
Sementara itu, menurut Riset Global HSBC, ASEAN menawarkan pangsa konsumen yang besar dan diproyeksi menjadi kawasan dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030.
Riko mengatakan, hubungan dagang Asia Pasifik ingin mengurangi kompleksitas dengan membangun hubungan strategis dengan lebih sedikit pemasok.
“Perusahaan dengan rantai pasokan yang lebih pendek dapat lebih memahami dan memperkirakan risiko dalam hubungan bisnis, baik dalam hal sanksi, kekhawatiran lingkungan, maupun sosial,” ujarnya seperti diwartakan Kompas.id, Rabu (2/5/2024).
Digitalisasi memberikan fondasi kuat bagi perusahaan-perusahaan ASEAN untuk meningkatkan ketahanan. ASEAN memiliki salah satu populasi yang ditopang oleh digitalisasi terbesar di dunia dengan tingkat penetrasi internet lebih dari 75 persen dari total 670 juta penduduk.
Pendapatan Asia Tenggara dari perdagangan daring mencapai lebih dari 100 miliar dollar AS pada 2023 atau meningkat delapan kali lipat dalam waktu delapan tahun.
Kebutuhan jaringan pembayaran instan
Dalam konteks domestik, Indonesia memiliki peluang besar dalam hal tersebut. Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai 360 miliar dollar AS pada 2030 dan menjadi salah satu yang terbesar di Asia Tenggara.
Angka sedemikian besar itu perlu didukung dengan jaringan pembayaran instan yang terintegrasi dan real-time untuk mengurangi risiko keterlambatan serta fluktuasi valuta asing (valas).
HSBC sendiri melihat bahwa lebih dari tiga per empat bisnis di seluruh Asia berupaya untuk meningkatkan digitalisasi di seluruh rantai pasokan mereka. Tidak hanya itu, digitalisasi juga bermanfaat untuk mengoptimalkan manajemen kas, meningkatkan efisiensi, lebih akuntabel, serta kontrol yang transparan.
Menurut Riko, pembayaran yang lebih cepat dan efisien memungkinkan bisnis untuk mengurangi biaya serta konsumen berbelanja dengan mudah dan percaya diri.
Sementara itu, pada tingkat negara, data HSBC menunjukkan bahwa pembayaran secara real-time dapat memberikan dorongan bagi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.
“Membangun satu jaringan pembayaran real-time besar di wilayah ini masuk akal. Namun, harus diakui bahwa hal tersebut tidak akan mudah. Menghubungkan jaringan pembayaran real-time satu negara dengan jaringan negara lain tidak semudah menginstal beberapa perangkat lunak dan menekan tombol,” kata Riko.
Riko menambahkan, setiap negara memiliki seperangkat kebijakan permodalan dan peraturan pertukaran valas yang berbeda-beda. Tugas rumit itu membutuhkan diplomasi yang sebanding dengan penyedian teknologinya.
Oleh karena itu, HSBC berharap, jaringan pembayaran real-time dari minimal lima negara ASEAN dan India dapat terhubung satu sama lain dalam 5 tahun ke depan. Riko berpendapat, teknologi dan momentum sudah tersedia karena beberapa sistem pembayaran di negara tersebut sudah diakui internasional.
Sebagai contoh, PromptPay Thailand, DuitNow Malaysia, BI-Fast Indonesia, PayNow Singapura, dan Unified Payments Interface (UPI) India telah mendapat pengakuan. Hal ini karena sistem-sistem tersebut sederhana, aman, dan mudah digunakan, mulai dari perusahaan hingga pedagang lokal.
Selain itu, setahap demi setahap, hubungan antara negara-negara tersebut sudah mulai terbentuk. Contohnya, pada Juni 2024, turis Malaysia dan Indonesia yang saling berkunjung bisa melakukan pembayaran dalam mata uang lokal menggunakan kode QR.
Pada April 2024, seorang pejabat Bank Indonesia mengatakan bahwa para pelancong antara Indonesia dan Singapura akan bisa melakukan hal serupa pada akhir 2024.
Efek jaringan
Integrasi sistem pembayaran lintas batas membuka peluang besar bagi bisnis untuk berkembang secara internasional serta memberikan opsi baru bagi konsumen.
Di Asia Tenggara, angka penjualan e-commerce sudah mencapai satu per lima dari total penjualan eceran. Dengan jaringan pembayaran lintas batas, perusahaan bisa menjangkau jutaan konsumen baru tanpa perlu kartu kredit atau remitansi.
Meski potensinya besar, kata Riko, menghubungkan sistem pembayaran negara yang berbeda merupakan tantangan kompleks.
“Kontrol modal, persyaratan pertukaran valas, format data yang berbeda, regulasi terhadap privasi data, serta pemeriksaan identitas merupakan beberapa hambatan yang harus diatasi,” ungkapnya.
India dan Singapura, misalnya. Kedua negara bekerja sama meluncurkan koneksi PayNow-UPI secara bertahap dan berhati-hati. Pemerintah masing-masing negara harus memastikan bahwa integrasi tersebut tidak membawa dampak negatif.
Di sisi lain, bank-bank internasional, seperti HSBC, dapat memainkan peran penting dalam mendukung proses tersebut dengan memanfaatkan pengalaman dan kemampuan yang dimiliki.
Peluncuran program migrasi Cross-border Payments and Reporting Plus (CBPR+) SWIFT bersama dengan ISO 20022 diharapkan dapat membantu menyelesaikan masalah fragmentasi format pesan bank saat ini.
Tak hanya itu, membangun jaringan pembayaran real-time yang saling terhubung juga membutuhkan inisiatif, baik dari pemerintah maupun bank. Hal ini mengingat insentif ekonomi yang dibutuhkan cukup besar.