JAKARTA, KOMPAS.com – Kesadaran akan keberlanjutan (sustainability) untuk menghadapi perubahan iklim semakin mendapat perhatian di era modern ini. Begitu juga di dalam dunia bisnis.
Survei bertajuk Schneider Electric’s Sustainability Index 2023 yang dilakukan Schneider Electric mendapati bahwa 98 persen perusahaan di Indonesia telah menetapkan target keberlanjutan.
Kemudian, sekitar 65 persen perusahaan telah membentuk tim khusus yang bertanggung jawab terhadap pencapaian target tersebut.
Hal itu menunjukkan bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat kepercayaan tinggi dalam mencapai target keberlanjutan. Angka ini bahkan melebihi Singapura dan Malaysia.
Bagi perusahaan, mematuhi prinsip-prinsip keberlanjutan akan memberikan manfaat bagi lingkungan dan ekonomi lokal. Selain itu, dapat juga untuk memberi respons pada kebutuhan pelanggan yang muncul dan akan berdampak positif terhadap reputasi merek bisnis.
Banyak cara yang bisa dilakukan dunia bisnis untuk mengadopsi konsep keberlanjutan. Salah satu cara sederhana yang bisa dilakukan adalah mulai mengurangi serta mengolah limbah dan sampah dengan prinsip reuse, reduce, dan recycle (3R).
Selain itu, perusahaan atau organisasi juga bisa beralih menggunakan kemasan daur ulang, menerapkan kebijakan work from home (WFH), serta memaksimalkan penghematan penggunaan listrik dan air.
Kemudian, pastikan untuk menggunakan sumber energi ramah lingkungan. Di Indonesia sendiri, perusahaan atau organisasi bisa memilih sumber listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang telah mendapatkan sertifikat Renewable Energy Certificate (REC).
Hitung emisi GRK
Upaya strategis lain yang juga dapat dilakukan perusahaan untuk menghadapi perubahan iklim adalah menghitung atau inventarisasi emisi gas rumah kaca (GRK).
Perhitungan emisi GRK sebenarnya hanya menjadi kewajiban bagi perusahaan terbuka yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 51 Tahun 2017, perhitungan emisi GRK diwajibkan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik. Sementara, bagi perusahaan lain, perhitungan ini bersifat sukarela atas inisiatif sendiri.
Perhitungan emisi GRK melibatkan beberapa langkah utama, mulai dari pengidentifikasian sumber emisi, pengumpulan data terkait aktivitas yang menghasilkan emisi, hingga penerapan faktor emisi yang sesuai.
Untuk memudahkan proses itu, perusahaan atau organisasi bisa mendapatkan asistensi dari konsultan sustainability berpengalaman, seperti Bumi Global Karbon (BGK).
Kepada Kompas.com, Jumat (31/5/2024), Director BGK Lydiawaty menjelaskan bahwa BGK menghadirkan tiga solusi utama mengasistensi klien dalam menerapkan praktik environmental, social, dan governance (ESG) sesuai prinsip keberlanjutan.
Pertama, solusi sosial berkelanjutan. Lewat layanan ini, BGK mengasistensi klien dalam menganalisis potensi untuk menjadi lebih sustainable, menyusun grand design program corporate social responsibility (CSR), menyusun dokumen social mapping, menghitung social return on investment (SROI) dan Indeks Kepuasan Masyarakat (IKM), melakukan pelatihan keberlanjutan, serta assessment peningkatan kinerja CSR.
Kedua, solusi perencanaan, strategi dan pelaporan keberlanjutan. Di sini, BGK membantu klien menyusun strategi, peta jalan dan program kerja ESG, Rencana Aksi Keuangan Berkelanjutan (RAKB), laporan keberlanjutan dan tahunan, serta kebijakan berkelanjutan.
Ketiga, solusi lingkungan hidup dan karbon. Layanan ini mencakup asistensi dalam meningkatkan kinerja lingkungan perusahaan, seperti penyusunan target penurunan emisi GRK, net zero assessment, dan SBTi alignment, pendampingan ke bursa karbon, serta mengintegrasikan seluruh upaya keberlanjutan dalam publikasi ESG perusahaan.
“(Solusi itu) termasuk juga perhitungan dan inventarisasi emisi GRK hingga scope 3,” ujar Lydiawaty.
Untuk diketahui, penghitungan emisi GRK diklasifikasikan berdasarkan tiga cakupan (scope).
Adapun scope 1 mencakup emisi dari sumber yang dimiliki dan dikendalikan langsung oleh perusahaan, misalnya bahan bakar minyak dari kendaraan operasional.
Sementara, scope 2 merupakan emisi yang timbul secara tidak langsung oleh perusahaan serta berasal dari tempat energi dibeli dan digunakan oleh perusahaan, misalnya pemakaian listrik yang disediakan oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN).
Kemudian, scope 3 mencakup emisi yang tidak dihasilkan dan bukan hasil dari aktivitas aset yang dikendalikan oleh perusahaan. Namun, aktivitas ini berkontribusi terhadap emisi perusahaan secara tidak langsung karena proses ini terjadi di sepanjang rantai nilai perusahaan. Sebagai contoh, emisi yang dihasilkan karyawan selama perjalanan ke kantor dan perjalanan dinas serta barang dan jasa yang dibeli perusahaan.
Dari hasil inventarisasi, perusahaan bisa mengambil langkah dan kebijakan lebih lanjut sehingga upaya penurunan emisi GRK bisa berjalan maksimal.
“Bisa dikatakan bahwa inventarisasi emisi GRK merupakan langkah awal yang bisa dilakukan perusahaan untuk beralih ke bisnis yang lebih sustainable,” kata Lydiawaty.
Selain itu, upaya tersebut juga bisa menumbuhkan kepercayaan (trust) di antara konsumen, stakeholder, dan investor yang semakin peduli terhadap isu lingkungan.
“Perubahan iklim menjadi isu besar yang turut mengubah cara pandang dunia terhadap perusahaan. Perusahaan tidak lagi dituntut untuk sekadar menghasilkan keuntungan (profitable), tetapi juga mampu menghadapi tantangan perubahan iklim serta menjalankan prinsip bisnis berkelanjutan,” ucapnya.