Advertorial

Pameran Parama Iswari, Menyusuri Jejak Perempuan Perkasa di Keraton Yogyakarta

Kompas.com - 07/10/2024, 17:54 WIB

KOMPAS.com – Perempuan memiliki peran penting dalam sejarah dan sastra Nusantara, terutama pada masa Hindu-Buddha. Menurut Zoetmulder, perempuan digambarkan sebagai sakti, atau kekuatan aktif, yang diwujudkan sebagai pendamping dewa dan sering kali direpresentasikan sebagai istri (Zoetmulder, 2011: 986).

Pemikiran tersebut diperkuat dalam kitab Manu Smrti yang menyebut bahwa perempuan sebagai pelita rumah tangga dan penjaga dharma ksatria (Wahjono, 2004: 80). Salah satu tokoh perempuan yang paling diingat dalam budaya Jawa adalah Srikandi. Tokoh ini terus diadaptasi dari waktu ke waktu sebagai simbol identitas ideal perempuan.

Pada awal abad ke-19, predikat Srikandi disematkan kepada Raden Ayu Djajaningrat dan prajurit perempuan dari Keraton Yogyakarta. Sejarawan Peter Carey menggambarkan mereka sebagai Srikandi Kedaton yang mempertahankan Sultan di Prabayeksa saat Yogyakarta jatuh ke tangan Inggris.

Mereka dianggap lebih berani daripada para pangeran yang melarikan diri ke desa-desa terdekat untuk mencari keselamatan (Carey, 2011: 389–390).

Babad Bedhahing Ngayogyakarta menjadi saksi sejarah yang menunjukkan bahwa dalam momen-momen krisis, perempuan dapat menggantikan maskulinitas laki-laki, dan bahkan mengubah persepsi tentang peran perempuan dalam budaya Jawa pasca-Perang Jawa (1825–1830).

Namun, pada paruh kedua abad ke-19, perempuan Jawa terperosok dalam bayang-bayang kolonialisme. Mereka diposisikan sebagai subaltern, golongan marginal yang dianggap tidak memiliki kapasitas untuk berbicara di ruang publik.

Dalam konteks kolonial, perempuan dianggap tidak punya tempat untuk menyuarakan pendapatnya karena, baik laki-laki kolonial maupun pribumi, tidak menyediakan ruang untuk mendengarkan.

Walau demikian, beberapa pemikir seperti Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex menolak pandangan ini dan berpendapat bahwa perempuan bukan entitas yang statis, melainkan terus menjadi dan perlu didefinisikan ulang sesuai konteks yang ada.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowno X membuka "Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta", Sabtu (5/10/2024).Dok. Kawedanan Tandha Yekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubowno X membuka "Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta", Sabtu (5/10/2024).

Pameran "Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta" yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta adalah sebuah upaya untuk menggali kembali peran perempuan dalam sejarah lokal. Pameran tersebut menawarkan pandangan baru tentang perempuan melalui karya-karya dari masa Sri Sultan Hamengkubuwono I hingga saat ini.

Pimpinan Produksi Pameran Nyi R Ry Noorsundari menjelaskan bahwa pameran ini menghadirkan busana, perhiasan, manuskrip, dan arsip keuangan yang menggambarkan kehidupan perempuan di Keraton.

"Kami juga mengadakan workshop dan public lecture untuk mendiskusikan peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam kelangsungan hidup bangsa," ujarnya melalui siaran pers yang diterima Kompas.com, Sabtu (5/10/2024).

Kurator Pameran Fajar Wijanarko atau Mas Jajar (MJ) Pradanareja Guritno menambahkan bahwa istilah “Parameswari” berasal dari bahasa Jawa dan berarti “langkung luhuring pawestri” atau "lebih dari perempuan utama."

Parameswari disematkan pada perempuan utama dalam tatanan kerajaan Jawa. Istilah ini sudah ada sejak abad ke-9 dan terus dipelihara dalam budaya Nusantara hingga saat ini.

“Kedudukan parameswari dan ketokohan perempuan yang melekat acap kali berafinitas sebagai sakti,” jelasnya.

Pertunjukan wayang wong pada pembukaan pameran "Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta", Sabtu (5/10/2024).Dok. Kawedanan Tandha Yekti Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pertunjukan wayang wong pada pembukaan pameran "Parama Iswari: Mahasakti Keraton Yogyakarta", Sabtu (5/10/2024).

Fajar menambahkan, parameswari juga menjadi jenama yang mengikat pada raja dan sekaligus kuasa yang melampaui kadarnya.

Berangkat dari pendekatan kronologi, narasi parameswari sebagai perempuan yang melintasi sejarah dirangkap dalam satu situasi budaya.

Impresi dari kiprah perameswari yang dikumpulkan dan dipadu dalam satu ruang pamer membawa intensi agar perempuan mampu membangun definisi ulang tentang keberadaannya secara adaptif.

“Konteks perempuan sebagai bagian dari militer, pemrakarsa budaya, hingga aktivis sosial terus berubah dan menjelma sesuai relevansi hari ini,” tambahnya.

Dalam sejarah Keraton Yogyakarta, parameswari bukan hanya sebagai perempuan utama di ruang privat. Raden Ayu Kadipaten, parameswari dari Sri Sultan Hamengkubuwono I, tercatat sebagai panglima perang prajurit Langenkusumo.

Perannya sangat penting, bahkan ia dikenal sebagai nenek dan sekaligus guru Pangeran Diponegoro yang memimpin Perang Jawa.

Ada juga Raden Ayu Andayaningrat, diplomat ulung yang berhasil mengembalikan Sultan Hamengkubuwono II dari pengasingan di Saparua.

Kemudian, GKR Kencana, permaisuri Sultan Hamengkubuwono VII. Ia memiliki peran penting sebagai pengatur keuangan Keraton lantaran memiliki kemampuan matematis yang ulung.

“Dari data kronologi yang dikumpulkan, Keraton Yogyakarta tidak secara khusus mengonstruksi dialog perlawanan terhadap dogma feminis yang sebenarnya belum selesai dipahami. Ihwal yang ditangkap cenderung berpusat pada data sejarah sebagai jalan untuk menyelami aksi-reaksi seorang parameswari sebagai perempuan,” tutur Fajar.

Penyelenggaraan pameran

Pameran ini diselenggarakan oleh Kawedanan Radya Kartiyasa, Keraton Yogyakarta, dengan rincian sebagai berikut.

  • Pembukaan: Sabtu, 5 Oktober 2024
  • Lokasi Pembukaan: Kagungan Dalem Bangsal Pagelaran, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
  • Lokasi Pameran: Kagungan Dalem Kedhaton, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat
  • Durasi pameran: 6 Oktober 2024 – 26 Januari 2025
  • Waktu Kunjungan: 08.30 – 14.30 WIB

Pameran ini akan dibuka dengan Pertunjukan Wayang Wong yang dipersembahkan oleh Kawedanan Kridhamardawa pada 1, 2, 4, dan 5 Oktober 2024, pukul 19.00 WIB.

Ada pula kegiatan pendukung lain, yakni Tur Kuratorial, Kuliah Umum Terbatas, dan Lokakarya Tata Rias.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau