JAKARTA, KOMPAS.com – Beberapa waktu lalu, masyarakat sempat dibuat gempar dengan pemberitaan tentang potensi gempa megathrust dengan magnitudo (M) 8,7.
Diberitakan Kompas.id, Minggu (18/8/2024), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) membenarkan hal tersebut. Menurut BMKG, Indonesia memiliki beberapa segmen megathrust potensial melepas dan memunculkan gempa besar serta tsunami, antara lain Selat Sunda dan pesisir Mentawai-Siberut.
Potensi itu didasarkan pada kajian risiko, pantauan sejarah, sumber gempa, dan aktivitas kegempaan yang terus dimonitor oleh BMKG. Meski demikian, kapan gempa “besar” itu akan muncul belum bisa diprediksi secara pasti.
Sebagai kawasan urban, Jakarta dan kota-kota di sekitarnya tidak terbebas dari risiko bencana gempa yang diakibatkan oleh megathrust dan sesar-sesar aktif lain.
Ketua Ikatan Ahli Perencana Wilayah dan Kota Indonesia (IAP), Hendricus Andy Simarmata, menjelaskan bahwa urbanisasi cepat dan tidak terkendali disertai dengan peningkatan perubahan peruntukan lahan, berkurangnya ruang hijau, serta variabilitas dan perubahan iklim yang lebih besar menjadi faktor pendorong (drivers) yang mengubah distribusi kepadatan penduduk dan ekonomi perkotaan.
Menurutnya, hal tersebut juga meningkatkan risiko bahaya dan kerentanan dalam jangka waktu yang pendek.
Kemudian, ketidakteraturan sistem permukiman dan ketidakandalan infrastruktur dapat meningkatkan risiko kebencanaan.
Selain itu, sebagai kawasan aglomerasi, risiko kebencanaan Jakarta dan daerah sekitarnya bukan hanya terletak pada ancaman bahaya pesisir, melainkan juga pada daerah aliran sungai (DAS) ataupun wilayah yang memiliki aset biodiversitas.
“Risiko kebencanaan di perkotaan lebih tinggi jika dibandingkan perdesaan karena tidak hanya menyangkut jumlah populasi yang lebih besar, tetapi juga obyek-obyek vital yang memengaruhi perekonomian nasional,” ujarnya kepada Kompas.com, Jumat (1/11/2024).
Potensi gempa di Jakarta
Ketua Subkelompok Urusan Pencegahan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DKI Jakarta. Rian Sarsono, menjelaskan, terdapat tiga sesar aktif di sekitar Jakarta yang berpotensi menjadi sumber gempa yang akan berdampak di wilayah Jakarta.
Ketiga sesar itu adalah Sesar Baribis dengan potensi kekuatan M 6,5, Sesar Lembang potensi M 6,8, dan Sesar Cimandiri potensi M 6,7.
”Selanjutnya dari sisi Selatan Jawa itu ada subduksi megathrust Selat Sunda dengan potensi magnitudo 8,7. Kemungkinan terbesar yang berpotensi gempa yang dapat merusak di Jakarta adalah berasal dari zona subduksi selatan Banten dengan magnitudo 8,7 dengan durasi 15 detik,” ucap Rian diberitakan Kompas.id, Senin (30/9/2024).
Sementara itu, Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) BPBD Jakarta Mohamad Yohan mengatakan, meskipun tidak berada tepat di atas zona megathrust, posisi Jakarta yang dekat dengan patahan selatan Jawa masih membuat potensi guncangan terasa.
"Kondisi tanah di Jakarta kebanyakan terdiri dari tanah aluvial dan bekas lahan rawa. Ini dapat memperparah dampak guncangan," ujarnya seperti diberitakan Kompas.com, Rabu (18/9/2024).
Yohan menambahkan, tanah yang lunak dan bekas lahan rawa di Jakarta dapat meningkatkan risiko likuifaksi, yaitu pencairan tanah akibat getaran gempa, yang bisa menambah kerusakan.
Menurut Yohan, guncangan kuat akibat gempa juga dapat mengancam infrastruktur bangunan, khususnya bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa.
Sayangnya, masih banyak bangunan di wilayah Jakarta yang belum memenuhi standar tahan gempa, bahkan rentan mengalami kerusakan jika terjadi gempa.
Ancam infrastruktur bangunan Jakarta
Hal itu diperkuat oleh temuan dalam laporan “Building Typologies Identification Report for Building in Jakarta, Tangerang, and Bogor” yang dirilis oleh USAID KUAT.
Sebagai informasi, USAID KUAT bertujuan untuk mengurangi korban jiwa, luka, kerugian harta benda, dan gangguan sosial ekonomi akibat gempa bumi di daerah perkotaan dan suburban.
Laporan tersebut memaparkan hasil penilaian cepat terhadap sampel acak 200 bangunan yang menjadi ciri praktik konstruksi di kawasan Jakarta, Kabupaten Bogor, dan Kabupaten Tangerang. Tepatnya, di kawasan Cikande, Muara Angke, dan Cisarua pada 29-31 Agustus 2023, serta Cililitan pada 8-9 November 2023.
Laporan itu menemukan bahwa material yang umumnya digunakan di lapangan adalah beton dan bata. Ketika terjadi gempa, bangunan akan bergoyang dan mengakibatkan dinding bata atau rangka beton menyerap gaya gempa.
Di sisi lain, beton dan bata adalah material yang bersifat getas. Untuk membuatnya ulet dan tahan gempa, diperlukan tulangan yang cukup dan dipasang dengan benar. Adapun material komposit ini sering disebut "beton bertulang".
Dalam konteks konstruksi beton bertulang, terdapat sejumlah hal yang perlu diperhatikan, seperti detail pemasangan tulangan, mutu beton, serta sistem struktur, sehingga struktur menjadi terintegrasi satu sama lain.
Berdasarkan pengamatan tim USAID KUAT di lapangan, beberapa kerentanan struktural yang dilihat di permukiman yang padat penduduk adalah bangunan yang menempel pada bangunan sebelahnya atau hanya memiliki sedikit ruang kosong.
Ketika terjadi gempa, bangunan akan bergoyang dan saling bertabrakan sehingga merusak satu sama lain. Hal ini diperparah dengan bentuk bangunan yang tidak beraturan serta kolom yang lebih lemah daripada balok yang dapat membuat bangunan roboh karena lantai diatasnya jatuh. Selain itu, adanya karat juga membuat struktur makin lemah.
Tim USAID Kuat juga menemukan penggunaan tulangan polos yang membuat ikatan antar besi dan beton kurang kuat. Kemudian, beton yang rapuh karena campuran tidak sesuai dan teknik pengecoran yang salah.
Tak hanya itu, rumah yang di bangun di atas atau dekat dengan tanah miring dapat memiliki potensi longsor.
Selain kerentanan struktural, kerentanan non-struktural juga dijumpai, seperti tumpukan barang mudah terbakar dekat dengan sumber api yang dapat menimbulkan kebakaran setelah gempa. Kemudian, barang berat, seperti lemari yang berpotensi jatuh dan menimpa penghuni, serta kaca yang berpotensi pecah dan melukai penghuni.
Bangunan yang memiliki potensi seperti di atas dapat diperbaiki dengan melakukan perkuatan (retrofitting) sesuai dengan masalah bangunan.
Tim USAID KUAT menyarankan, sebaiknya penghuni atau pemilik bangunan melakukan perkuatan sebagai upaya pengurangan risiko bencana untuk menyelamatkan jiwa dan harta benda.
Kesadaran masyarakat terkait potensi gempa
Tinggal di bangunan yang memiliki kerentanan terhadap gempa, mengharuskan masyarakat di kawasan Jakarta Raya untuk menyadari kondisinya.
Berdasarkan survei yang dilakukan USAID KUAT Wahana Visi Indonesia, 88 persen responden yang tinggal di Cikande, Kabupaten Tangerang, percaya bahwa rumah atau bangunan mereka terletak di daerah rawan bencana.
Demikian pula di Cililitan dan Pluit, masing-masing 68 persen dan 72 persen, mengakui kerentanan lokasi mereka terhadap bencana. Bahkan , di Tanjung Burung, 100 persen responden menganggap tempat tinggal mereka terletak di daerah rawan bencana.
Di sisi lain, meskipun mayoritas responden (76 persen) menegaskan bahwa struktur rumah mereka tahan gempa, tidak semua responden melaporkan kepatuhan 100 persen terhadap langkah-langkah integritas struktural di berbagai kondisi. Sebab, masih banyak rumah semi permanen di daerah tersebut.
Upaya kesiapsiagaan di permukiman
Ketua Komunitas Warga Kalibata City, Jakarta, Nyimas Rachmadhina menjelaskan bahwa meskipun terdapat kesadaran di kalangan penghuni tentang risiko bencana khususnya gempa, upaya mitigasi masih perlu ditingkatkan.
"Kami memiliki SOP (standar operasional prosedur) evakuasi dan melakukan sosialisasi, tetapi infrastruktur pendukung seperti jalur darurat dan titik kumpul meskipun tersedia tetapi masih kurang memadai,” ungkap Nyimas kepada Kompas.com, Kamis (31/10/2024).
Ia juga mengungkapkan bahwa seminar dan simulasi evakuasi pernah diadakan, tetapi hanya sebagian kecil penghuni yang terlibat sehingga pemahaman warga belum menyeluruh.
Selain itu, rencana untuk melakukan simulasi evakuasi darurat masih terhambat izin dan fasilitas yang menyulitkan komunitas untuk meningkatkan kesiapsiagaan warga.
Perlu kolaborasi regional dan peran pemerintah
Menurut Hendricus, risiko gempa di Jakarta harus diatasi melalui pendekatan kolaboratif dengan daerah sekitarnya, terutama dalam kerangka aglomerasi Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek).
Ia pun menyoroti pentingnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 60 Tahun 2020 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur (RTR Kawasan Jabodetabek-Punjur), harus menjadi rujukan untuk semua daerah kabupaten atau kota yang masuk ke dalam kawasan tersebut.
“Begitu juga dengan rencana adaptasi perubahan iklim dan resiliensi perkotaan yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Jakarta. Kerja sama antar daerah harus ditingkatkan untuk mengelola risiko kebencanaan,” katanya.
Namun, tampaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta belum memiliki peraturan yang secara khusus konteks risiko bencana urban, terutama dalam pencegahan dan penanganan bencana gempa.
Padahal, berdasarkan Peraturan Gubernur (Pergub) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2024 tentang Rencana Penanggulangan Bencana (RPB) Daerah Tahun 2023-2027, gempa bumi merupakan bencana alam yang termasuk prioritas pertama dalam upaya pengurangan risiko bencana alam, bersama dengan banjir dan kebakaran.
Meski begitu, dalam RPB tersebut disebutkan bahwa langkah pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana Pemprov DKI Jakarta belum optimal, termasuk dalam penerapan bangunan tahan gempa.
Penanganan darurat bencana serta pengelolaan logistik dan peralatan kebencanaan, seperti sistem komando penanganan bencana, kaji cepat kebutuhan logistik sesuai umur dan jenis kelamin, standarisasi peralatan pun belum optimal.
Begitu juga dengan aspek pemulihan pascabencana, seperti pada penilaian kerusakan dan kerugian serta penyediaan hunian sementara, belum optimal.
Selain itu, belum optimalnya sistem informasi dan komunikasi kebencanaan. Contohnya, belum menjangkaunya sistem informasi dan komunikasi secara menyeluruh, seperti pada kelompok disabilitas dan kelompok dengan keterbatasan pemanfaatan teknologi, serta adanya keterbatasan pada sarana dan prasarana informasi dan komunikasi.
Sementara itu, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi Daerah Khusus Jakarta (DKJ), juga tidak mengatur dan merinci pedoman penanggulangan bencana gempa bumi.
Utamanya, terkait kawasan aglomerasi yang mencakup wilayah Provinsi Daerah Khusus Jakarta, Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Bekasi, Kabupaten Cianjur, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Tangerang, Kota Tangerang Selatan, dan Kota Bekasi.
Padahal, menurut beleid tersebut, Jakarta memiliki fungsi dan peran yang strategis sebagai pusat perekonomian nasional. Jakarta juga merupakan kota global yang menjadi pusat jejaring bisnis antara Indonesia dan kota lain di dunia, bahkan menjadi penopang kesejahteraan rakyat Jakarta dan kesejahteraan nasional.
Pada Bab IX yang membahas tentang kawasan aglomerasi, misalnya. Dari 10 pasal yang termasuk dalam bab tersebut, tidak ada yang membahas atau mengatur tentang langkah-langkah penanggulangan gempa di Jakarta yang akan berpengaruh kepada kawasan penyangga di sekitarnya.
Upaya penanggulangan bencana di dalam kawasan aglomerasi pada bab tersebut masih terbatas pada bencana banjir dan rob.
Project Director USAID KUAT Bill Marsden mengatakan, pembangunan suatu kawasan harus melihat konteks kerentanan dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Bukan ditentukan oleh ancaman, seperti gempa, banjir, dan ancaman lain.
Menurutnya, konteks kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat, sangat berpengaruh dalam mempertinggi atau mengurangi risiko bencana.
Ketika membahas tentang kebencanaan dan masyarakat urban, sebaiknya model pemberdayaan masyarakat tidak disamaratakan dengan masyarakat yang berada di pedesaan atau kota kecil.
“Membangun ketangguhan masyarakat urban mengharuskan inovasi yang mampu mengakomodasi karakteristik unik masyarakat urban dalam berinteraksi, mencari sumber penghidupan, dan dinamika dalam beraktivitas,” ujar Marsden kepada Kompas.com, Kamis (7/11/2024).
Marsden memaparkan bahwa tantangan masyarakat Jakarta dalam isu kebencanaan adalah jumlah penduduk Jakarta yang berbeda antara pada siang hari dan malam hari.
Oleh karena itu, konsep aglomerasi yang menjadi rujukan UU DKJ harus menjadi perhatian khusus dalam membangun ketangguhan Jakarta dan daerah penyangga di sekitarnya.