JAKARTA, KOMPAS.com – Menabung menjadi cara sederhana yang mudah dipahami dan dijalankan oleh Alida Rahmawati untuk menyiapkan dana darurat dalam upaya memitigasi bencana.
Namun, metode menabung yang ia lakukan bukanlah lewat rekening umum pada bank. Warga Kelurahan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, itu aktif menabung lewat program Saving Internal Lending Community (SILC) yang dihadirkan Catholic Relief Services (CRS) di bawah payung USAID KUAT. Hingga November 2024, sudah terbentuk 8 kelompok SILC di Kabupaten Bogor.
“Sejak awal, edukasi yang ditanamkan (pada program itu) adalah pembiasaan menabung. Pengelolaan keuangan pun dilakukan secara mandiri. Hal ini membuat saya dan warga lain menjadi yakin dan merasa aman,” cerita Alida lewat wawancara tertulis dengan Kompas.com, Rabu (7/11/2024).
Program tersebut, lanjutnya, juga menghadirkan layanan dana sosial yang bisa dimanfaatkan oleh seluruh anggota jika ada yang mengalami sakit, meninggal, atau terdampak situasi bencana, seperti banjir, longsor dan keadaan darurat lain.
Sebagai perempuan kepala keluarga, Alida harus putar otak dalam kesejahteraan keluarga, baik dalam aspek kesehatan, pendidikan, maupun dana darurat keluarga. Beruntung, kini, SILC menjadi “pegangan” baginya untuk mempersiapkan itu semua. Terlebih, wilayah tempat tinggalnya termasuk daerah rawan bencana longsor dan banjir.
“Saya merasa khawatir, bencana dapat menimbulkan korban jiwa dan kerusakan infrastruktur. Oleh sebab itu, memiliki tabungan yang dapat digunakan kapan saja juga merupakan salah satu usaha untuk memitigasi bencana. Ini menjadikan kita lebih siap,” tegas Alida.
Pengalaman serupa juga dialami Sulfiah. Warga Kabupaten Tangerang, Banten, ini tergabung dalam Kelompok Simpan Pinjam ASKA Simpanan untuk Transformasi Anak dan Keluarga (S4T) yang dibina oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) di bawah naungan USAID KUAT.
Kelompok pendanaan komunitas itu menyediakan fasilitas simpan pinjam sederhana dan “asuransi” khusus anggota yang juga berbentuk dana sosial.
“Saya merasa lebih aman setelah bergabung dengan ASKA. Saya pernah mengajukan pinjaman melalui ASKA untuk mengganti lemari yang rusak karena banjir,” cerita Sulfiah.
Dia menambahkan, pada pertemuan rutin, seluruh anggota ASKA juga mendapatkan materi terkait pentingnya asuransi rumah dan tempat usaha.
“Kami pernah mengikuti sosialisasi asuransi mikro dari salah satu lembaga penyedia asuransi mikro. Saya jadi paham perlunya asuransi. Saya juga jadi mengetahui ternyata premi asuransi bencana ada yang dapat saya jangkau. Akhirnya, saya mendaftarkan asuransi rumah dengan premi Rp 50.000 per tahun,” jelasnya.
Pendanaan komunitas melalui program keuangan mikro, seperti SILC dan ASKA, dinilai sebagai salah satu alternatif untuk mencapai ketangguhan bencana.
SILC dan ASKA menggunakan metode keuangan mikro dan holistik berbasis tabungan guna mempermudah rumah tangga yang berada di wilayah berisiko bencana untuk meningkatkan ketangguhan keluarga.
Kelompok pendanaan komunitas tersebut juga mengutamakan pelokalan dan kemandirian masyarakat.
Dengan kata lain, program seperti SILC maupun ASKA membantu anggota mengelola sumber daya atau aset yang ada dengan lebih baik lewat pelatihan keterampilan dasar manajemen keuangan yang dapat digunakan dalam keadaan darurat, termasuk bencana.
Baik SILC maupun ASKA, memegang prinsip mudah diakses, transparan, dan fleksibel untuk digunakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, komunitas pendanaan ini dapat mewujudkan ketahanan rumah tangga.
Komunitas tersebut juga diharapkan dapat membangun kohesi sosial di komunitas sekaligus meningkatkan kepercayaan diri anggota.
Kesiapsiagaan finansial dalam menghadapi bencana
Sejatinya, pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan penanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Hal ini sesuai dengan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Pemerintah pun cukup responsif dalam penanganan sesaat sesudah bencana terjadi, seperti dengan pendirian tenda ataupun posko pengungsian.
Namun, nasib kehidupan setelah bencana kerap terabaikan. Di luar kasus kematian yang ikut menyertai, masyarakat yang terdampak bencana juga kesulitan membangkitkan kembali kehidupan dan perekonomian mereka, terutama bagi kelompok menengah ke bawah.
Faktanya sebagian masyarakat pun tidak mendapatkan hak-hak pemulihan dari bencana ataupun mengetahui bagaimana cara mengaksesnya.
Sementara itu, berdasarkan hasil Riset Formatif Perubahan Perilaku Sosial dalam Pengadaan Dana Darurat Bencana yang dilakukan Wahana Visi Indonesia pada Agustus 2024 menunjukkan bahwa 31 persen responden yang tidak memiliki dana darurat bencana mengatakan tidak mengetahui ada tidaknya lembaga penyedia jasa untuk dana darurat bencana dan 56 persen responden menjawab tidak pernah mendapatkan sosialisasi atau pelatihan terkait literasi ketahanan keuangan keluarga.
Temuan serupa juga didapat dari penelitian yang dilakukan oleh CRS Indonesia di Kecamatan Cibinong dan Cisarua, Jawa Barat, tentang motivasi dan hambatan untuk menabung.
Untuk diketahui, penelitian tersebut menggunakan metode analisis hambatan pada dua kelompok utama, yaitu mereka yang sudah menabung dana darurat secara rutin dan mereka yang belum menabung dana darurat secara rutin.
Hasilnya, kelompok yang belum menabung dana darurat secara rutin mengungkapkan bahwa ketidakstabilan pendapatan dan kurangnya keterampilan dalam mengelola keuangan menjadi kendala utama mereka.
Selain itu, mereka juga menghadapi keterbatasan akses terhadap informasi dan produk keuangan yang terjangkau serta tidak merasakan dorongan eksternal ataupun tekanan sosial yang cukup kuat untuk menabung secara konsisten.
Sebaliknya, kelompok yang sudah menabung dana darurat secara rutin merasakan bahwa norma sosial, terutama dukungan keluarga serta komunitas, memberikan isyarat dan motivasi untuk membangun dana darurat.
Temuan tersebut menunjukkan bahwa lingkungan sosial berperan besar dalam mendorong perilaku menabung dan diperlukan pendekatan yang berbeda untuk meningkatkan kebiasaan menabung di masyarakat.
Di sisi lain, sebagai wilayah rawan bencana, kerugian ekonomi akibat bencana yang harus ditanggung pemerintah mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. Padahal, anggaran pemerintah terbilang terbatas, yakni hanya Rp 3,1 triliun. Kesenjangan tersebut membuat pemerintah harus mengalihkan anggaran dari pos lain.
Guna mempersempit gap tersebut, pemerintah pun merumuskan Strategi Pembiayaan Asuransi dan Risiko Bencana (PARB) atau Disaster Risk Financing and Insurance (DRFI) pada 2018.
Strategi PARB ini merupakan kombinasi dari instrumen-instrumen keuangan untuk mendapatkan skema pendanaan risiko bencana yang memadai, tepat waktu dan sasaran, efektif, berkelanjutan, dan transparan.
Melalui strategi ini, kapasitas pendanaan penanggulangan bencana dapat ditingkatkan dengan mencari alternatif sumber pembiayaan baru di luar APBN dan APBD, misalnya lewat pinjaman kontinjensi atau dana cadangan, pooling fund, dan asuransi.
Khusus asuransi, Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Luky Alfirman tak menampik bahwa penetrasi pendanaan ini masih rendah.
“Saat ini, pemerintah sudah mulai mengasuransikan barang milik negara dan milik daerah. Semoga inisiasi ini bisa bisa mendorong masyarakat untuk untuk mengasuransikan harta bendanya,” ucap Luky.
Pada kesempatan terpisah, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) periode 2020–2023 Hastanto S. M. Widodo menyebut, peningkatan penetrasi asuransi bencana alam hanya 0,5 persen pada 2021.
Pada kesempatan terpisah, Hastanto S. M. Widodo, Ketua Umum Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) periode 2020–2023, menyatakan bahwa pada tahun 2021 penetrasi asuransi untuk bencana alam hanya meningkat sebesar 0,5 persen.
“Hal ini terjadi karena daya beli masyarakat juga masih rendah,” ucap Hastanto sebagaimana diberitakan Kontan, Rabu (10/2/2021).
Sementara, menurut riset Populix pada 2023, sebanyak 33 persen responden di Indonesia sama sekali belum memiliki asuransi. Mayoritas atau 57 persen responden yang tidak memiliki asuransi beralasan tidak memiliki anggaran untuk membayar premi.
Sementara, sebanyak 29 persen responden yang tak punya asuransi menganggap premi terlalu mahal. Kemudian, 25 persen merasa tidak mengetahui manfaat asuransi.
Selain itu, 22 persen merasa tak memerlukannya. Sebanyak 19 persen responden tak memiliki asuransi lantaran mendengar pengalaman buruk tentang layanan tersebut. Lalu, 18 persen lainnya merasa asuransi memiliki prosedur yang rumit.
Mentransfer risiko bencana lewat asuransi mikro
Wakil Ketua Komisi Tetap Manajemen Risiko Bidang Sosial dan Penanggulangan Bencana Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Dody AS Dalimunthe berpendapat bahwa komunitas pendanaan dan asuransi mikro dapat menjadi alternatif untuk menjawab tantangan tersebut.
Dia mengatakan, sudah semestinya masyarakat memiliki kesadaran penuh bahwa sewaktu-waktu akan ada potensi bencana.
Menurutnya, terdapat tiga hal yang bisa dilakukan masyarakat untuk menghadapi bencana, yaitu menghindar dari bencana, mengurangi dampak bencana, dan mentransfer risiko bencana, seperti yang dilakukan oleh para anggota SILC dan ASKA.
“Dua poin pertama bergantung pada masyarakat itu sendiri. Sementara, poin ketiga, bisa melibatkan pihak lain, yakni komunitas pendanaan atau perusahaan asuransi,” jelas Dody dalam talkshow bertajuk “Mencapai UMKM Tangguh Bencana” yang disiarkan di RRI, Jumat (25/10/2024).
Dody menjabarkan, bencana membawa dampak finansial besar. Oleh sebab itu, masyarakat perlu mengurangi tingkat kerugian. Salah satunya lewat perlindungan yang dihadirkan oleh komunitas pendanaan dan asuransi mikro.
Jadi, risiko tersebut bisa “ditransfer” dalam bentuk tabungan atau premi yang dibayarkan setiap bulan kepada komunitas pendanaan atau asuransi dengan nominal yang lebih rendah.
Menurut Dody, asuransi mikro dapat menjadi jawaban bagi masyarakat umum, khususnya kelas menengah bawah, untuk memitigasi bencana.
“Dengan biaya yang terjangkau, akses yang luas karena bisa dibeli di mana pun, dan klaim yang mudah, asuransi mikro diharapkan bisa menjadi penyelamat. Asuransi ini juga hadir dengan bahasa dan narasi yang tidak berbelit sehingga mudah dipahami masyarakat awam,” papar Dody.
Di samping itu, pemerintah dan pihak terkait juga sangat perlu meningkatkan edukasi terkait literasi keuangan kepada masyarakat.
Deputy Project Director USAID KUAT Victor Rembeth mengamini. Dalam memitigasi ancaman bencana yang ada, penting bagi masyarakat dan kalangan lembaga usaha untuk juga siap secara finansial.
“Bencana dapat datang kapan saja sehingga kesiapan pembiayaan risiko bencana diperlukan agar masyarakat ataupun lembaga usaha dapat segera bangkit dan tidak terpuruk,” ujar Victor.
USAID KUAT, lanjutnya, juga mendorong pemerintah untuk berkolaborasi dengan berbagai lembaga terkait guna meningkatkan pemahaman masyarakat agar lebih tangguh secara finansial ketika menghadapi bencana.
Salah satu cara yang dapat ditempuh adalah dengan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya dana darurat, termasuk lewat kelompok pendanaan komunitas, seperti SILC dan ASKA.
“Bagi lembaga usaha, mitigasi bencana dapat dilakukan dengan memiliki asuransi yang dapat menanggung pembiayaan risiko yang mungkin terjadi,” imbuh Viktor.