KOMPAS.com – Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan optimistis, aset bersih Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan akan tetap positif hingga akhir 2024.
Kepala Humas BPJS Kesehatan Rizzky Anugerah mengatakan, sekalipun besaran biaya manfaat pelayanan kesehatan akan lebih besar dari penerimaan iuran sebagaimana tertuang dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA), aset bersih DJS Kesehatan diperkirakan mencapai lebih dari Rp 32 triliun.
“Dana ini akan digunakan untuk membiayai pelayanan kesehatan peserta di fasilitas kesehatan,” ujar Rizzky dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (15/11/2024).
Menurutnya, angka tersebut dipengaruhi oleh peningkatan akses pelayanan serta kepercayaan masyarakat terhadap program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Peningkatan pemanfaatan JKN
Rizzky menuturkan, pembengkakan biaya pelayanan kesehatan tak terlepas dari lonjakan pemanfaatan JKN.
Pada 2023, BPJS Kesehatan melayani rata-rata 1,7 juta layanan per hari dengan total 606,7 juta pemanfaatan dalam setahun. Angka ini meningkat jauh dari 2014 yang hanya mencatat 92,3 juta pemanfaatan per tahun atau 252.000 layanan per hari.
Lonjakan pemanfaatan JKN pada akhirnya memicu beban biaya yang signifikan. Tahun lalu, BPJS Kesehatan mengeluarkan Rp 34,7 triliun untuk menangani 29,7 juta kasus penyakit katastropik yang berbiaya tinggi. Jumlah ini setara dengan 25 persen dari total biaya layanan kesehatan tingkat lanjutan.
“Seperti dua sisi mata uang. Di satu sisi, makin banyak masyarakat terbantu karena dapat mengakses layanan kesehatan. Di sisi lain, biaya yang harus kami keluarkan terus meningkat,” kata Rizzky.
Strategi keberlanjutan program JKN
Untuk memastikan keberlanjutan program JKN, dibutuhkan strategi dan upaya bersama, termasuk dalam memastikan kecukupan dana.
Salah satu strateginya adalah melakukan evaluasi terhadap penetapan manfaat, tarif, dan iuran JKN. Saat ini, Kementerian Kesehatan, Kementerian Keuangan, Dewan Jaminan sosial Nasional (DJSN), dan BPJS Kesehatan tengah melakukan evaluasi tersebut.
Hasil evaluasi akan menjadi pertimbangan untuk penetapan manfaat, tarif, dan iuran yang harus diputuskan sebelum 1 Juli 2025, sebagaimana amanat Peraturan Presiden (Perpres) 59 Tahun 2024.
Sebagai informasi, sejak 2020 hingga 2024, iuran program JKN belum mengalami penyesuaian. Padahal, Pasal 38 Perpres No 64 Tahun 2020 mengamanatkan peninjauan besaran iuran paling lama 2 tahun sekali dengan menggunakan standar praktik aktuaria jaminan sosial yang lazim dan berlaku umum.
Peninjauan tersebut setidaknya memperhatikan inflasi, biaya kebutuhan jaminan kesehatan, dan kemampuan membayar iuran.
Di sisi lain, pemerintah telah menyesuaikan tarif layanan ke fasilitas kesehatan justru melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 3 Tahun 2022 pada 2023. Hal ini menyebabkan kenaikan biaya pada beberapa jenis layanan.
Rizzky mengatakan, sesuai amanat Pasal 38 Peraturan Pemerintah No 87 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Aset Jaminan Sosial Kesehatan, pemerintah dapat melakukan tindakan khusus jika aset DJS Kesehatan bernilai negatif.
Tindakan khusus tersebut meliputi penyesuaian besaran iuran, pemberian suntikan dana tambahan untuk kecukupan DJS Kesehatan, dan/atau penyesuaian manfaat layanan. Tindakan khusus yang diambil harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
“Dengan capaian yang telah diraih selama satu dekade, Program JKN perlu menjadi perhatian bersama agar tetap memberikan manfaat secara berkelanjutan. Strategi dan langkah konkret perlu terus dirumuskan demi menjaga stabilitas program ini,” tutur Rizzky.