JAKARTA, KOMPAS.com – Jakarta dan sekitarnya menghadapi ancaman gempa bumi dari megathrust Selat Sunda serta sesar lain yang berpotensi memicu gempa hingga magnitudo 8,7. Dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa dan infrastruktur yang rapuh, risiko kerusakan masif membayangi kota metropolitan ini.
Direktur Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Daryono menyebutkan, ada kekosongan seismik selama 267 tahun di Selat Sunda yang menandakan akumulasi energi berbahaya. Fakta ini menunjukkan bahwa potensi gempa besar semakin nyata sehingga Jakarta perlu segera memperkuat kesiapan infrastrukturnya.
“Energi yang tersimpan di Selat Sunda bisa memicu gempa besar kapan saja,” ungkapnya dalam talkshow Obrolan News Room Kompas.com, Jumat (15/11/2024).
Ancaman itu, lanjut Daryono, diperparah oleh sesar-sesar aktif seperti Baribis, Lembang, dan Cimandiri. Struktur tanah Jakarta yang lunak turut memperbesar dampak getaran. Hal tersebut menempatkan Jakarta dalam risiko tinggi yang membutuhkan langkah kesiapsiagaan dan mitigasi segera.
Sejarah pun mencatat Jakarta telah beberapa kali dilanda gempa bumi besar, yaitu pada 1699, 1780, 1834, dan 1903. Bencana ini menyebabkan kerusakan signifikan pada bangunan yang ada saat itu.
Daryono menambahkan, skenario megathrust saat ini berpotensi memengaruhi infrastruktur vital dan menimbulkan dampak sosial-ekonomi yang masif.
“Gempa besar bisa terjadi kapan saja, dan dampaknya terhadap wilayah urban, seperti Jakarta, sangat serius,” jelas Daryono.
Infrastruktur rentan dan kurangnya kesadaran
Selain sejarah gempa, dampak risiko diperparah oleh kerap abainya masyarakat dalam mematuhi standar bangunan yang tahan gempa dan rendahnya kesadaran mereka.
Survei yang dilakukan oleh USAID KUAT terhadap 200 bangunan di Jakarta, Tangerang, dan Bogor, mengungkapkan sejumlah temuan yang mengkhawatirkan. Sebagian besar bangunan menggunakan beton dan bata, tetapi campuran materialnya sering kali tidak sesuai dengan spesifikasi teknis.
Di kawasan permukiman padat, seperti Muara Angke dan Cililitan, bangunan-bangunan dibangun berdempetan tanpa adanya ruang kosong sebagai pemisah, sehingga meningkatkan risiko terjadinya keruntuhan berantai jika salah satu bangunan mengalami kerusakan.
Selain itu, struktur bangunan sering kali tidak teratur dan menggunakan tulangan polos yang berkarat, tanpa ikatan kuat antara besi dan beton menambah risiko dampak gempa.
Tantangan itu diperparah oleh kerentanan nonstruktur karena adanya tumpukan barang mudah terbakar di dekat sumber api, yang meningkatkan risiko kebakaran pascagempa. Selain itu, ada pula perabot berat yang tidak terikat dengan baik sehingga berpotensi mencederai penghuni saat gempa terjadi.
Mirisnya, kesadaran masyarakat terhadap risiko gempa juga masih rendah. Survei menemukan, sebagian besar responden (8 persen) sadar bahwa rumah mereka berada di daerah rawan bencana.
Dari jumlah tersebut, 76 persen di antaranya merasa rumah mereka cukup kuat untuk menghadapi gempa. Padahal, banyak dari rumah yang dianggap aman ini ternyata berstruktur semipermanen dan tidak memenuhi standar teknis ketahanan gempa.
Rendahnya tingkat literasi kebencanaan menjadi tantangan besar, terutama di komunitas padat penduduk. Kurangnya pemahaman mengenai langkah-langkah mitigasi membuat masyarakat tidak cukup siap untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu dapat terjadi.
Selain itu, riset formatif Wahana Visi Indonesia di dua desa Kabupaten Tangerang dan dua kelurahan di Jakarta yang menjadi mitra USAID KUAT menunjukkan, 30 persen warga tidak mengetahui adanya layanan pengelolaan dana darurat bencana di lingkungan mereka.
Hal itu menunjukkan perlunya peningkatan akses informasi terkait kesiapan finansial masyarakat dalam menghadapi bencana.
BMKG menambahkan bahwa edukasi mitigasi harus dilakukan tidak hanya untuk masyarakat umum, tetapi juga kepada pengelola infrastruktur penting, seperti pelabuhan dan bandara. Infrastruktur kritis ini sangat vital dalam situasi darurat dan harus memiliki sistem yang lebih kuat untuk menghadapi guncangan besar.
Kolaborasi dan teknologi untuk mitigasi
USAID KUAT bersama BMKG terus mendorong langkah-langkah mitigasi bencana di Jakarta dengan memanfaatkan kolaborasi lintas sektor dan teknologi.
Salah satu langkah yang dilakukan adalah melaksanakan peningkatan kapasitas berbasis komunitas yang mencakup program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB). Program ini bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah-Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi-Kementerian Kebudayaan, serta Kementerian Agama untuk melatih siswa, guru, dan masyarakat di sekitar sekolah.
Adapun pendampingan tersebut mengajarkan cara memperkuat struktur rumah, mempersiapkan jalur evakuasi, dan meningkatkan respons masyarakat terhadap gempa.
Selain bimbingan teknis, langkah teknis juga diperlukan untuk mengurangi risiko bencana yang disebabkan oleh kerentanan bangunan.
Wakil Direktur Proyek USAID KUAT Victor Rembeth yang turut menjadi pembicara dalam talkshow menyebutkan contohnya, yaitu perkuatan struktur bangunan atau retrofitting. Utamanya, pada bangunan yang tidak memenuhi standar tahan gempa.
Untuk mendukung langkah itu, ia melanjutkan, penggunaan aplikasi InaRisk diperlukan. Aplikasi ini memfasilitasi asesmen cepat pada bangunan, terutama rumah tinggal dan bangunan komunitas di wilayah Jakarta, Tangerang, dan Bogor.
Asesmen tersebut mencakup pengidentifikasian tingkat risiko bangunan dan pemberian panduan mitigasi yang spesifik untuk memperkuat struktur yang ada.
Di sisi lain, BMKG terus meningkatkan jumlah sensor gempa di wilayah rawan. Data dari sensor ini tidak hanya dapat digunakan untuk masyarakat, tetapi juga untuk infrastruktur penting, seperti pelabuhan, bandara, dan kawasan ekonomi. Peningkatan ini bertujuan memberikan data lebih akurat guna mendukung mitigasi bencana.
BMKG juga aktif mengedukasi masyarakat melalui simulasi bencana berbasis komunitas. Lewat kegiatan ini, masyarakat dilatih merespons gempa, termasuk langkah evakuasi dan penyelamatan.
“Validitas informasi sangat penting. Masyarakat harus mengandalkan sumber tepercaya seperti BMKG dan BNPB,” imbuh Daryono.
Selain teknologi dan edukasi, kolaborasi lintas sektor menjadi elemen kunci dalam memperkuat ketahanan terhadap gempa.
Victor menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah, lembaga usaha, dan masyarakat sipil untuk menciptakan Jakarta yang lebih tangguh menghadapi ancaman gempa.
“Pengurangan risiko gempa adalah tugas bersama. Tanpa sinergi dari semua pihak, langkah ini tidak akan maksimal,” tambahnya.
Kebijakan pemerintah yang belum memadai
Meski berbagai upaya mitigasi telah dilakukan, Victor menilai bahwa efektivitasnya sangat bergantung pada kebijakan dan regulasi yang mendukung. Jakarta membutuhkan kebijakan yang lebih konkret untuk menghadapi ancaman gempa. Salah satunya, lewat Undang-Undang (UU) Daerah Khusus Jakarta (DKJ).
Victor menyoroti, UU tersebut belum mencantumkan pasal khusus mengenai penanggulangan gempa. Menurutnya, hal ini menandakan bahwa mitigasi gempa belum menjadi prioritas utama negara.
Di sisi lain, koordinasi antara instansi juga menjadi tantangan besar dalam menghadapi ancaman gempa.
Daryono menuturkan, BMKG telah bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), kementerian atau lembaga terkait, dan pemerintah daerah untuk meningkatkan kesiapan, baik melalui data kegempaan maupun edukasi masyarakat.
Namun, tanpa kebijakan yang jelas dan tegas, upaya itu sulit untuk menghasilkan dampak yang signifikan.
Rekomendasi untuk Jakarta yang lebih tangguh
Untuk menghadapi ancaman gempa yang semakin nyata, Jakarta juga membutuhkan strategi mitigasi lebih konkret dan menyeluruh.
Salah satunya, memperketat regulasi bangunan agar setiap proyek infrastruktur, baik publik maupun privat, memenuhi standar ketahanan gempa.
Selain itu, seperti yang dikatakan Victor sebelumnya, bangunan-bangunan lama yang tidak memenuhi kriteria perlu segera direnovasi atau diperkuat melalui program retrofit terencana.
Di sisi lain, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran lebih besar untuk memperkuat infrastruktur vital, seperti sekolah, rumah sakit, dan fasilitas umum lainnya. Langkah ini krusial, mengingat hasil penelitian menunjukkan sebagian besar bangunan di Jakarta masih rentan terhadap guncangan besar.
Edukasi kebencanaan juga harus menjadi prioritas utama. Literasi bencana dapat dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dan diperluas melalui pelatihan komunitas, serta didukung oleh kampanye media yang berkelanjutan.
Pendekatan tersebut bertujuan agar masyarakat lebih sadar akan risiko gempa dan mampu mengambil tindakan kesiapsiagaan dan mitigasi yang diperlukan.
Adapun edukasi masyarakat perlu mencakup langkah praktis saat menghadapi gempa, seperti merunduk, melindungi kepala dan leher belakang, serta tetap berlindung hingga guncangan usai. Pengetahuan ini sederhana, tetapi dapat menyelamatkan nyawa.
Lebih jauh, integrasi teknologi menjadi elemen penting dalam memperkuat ketahanan kota. Aplikasi seperti InaRisk dapat menjadi alat yang efektif untuk memetakan risiko secara cepat dan akurat, membantu pemerintah dan masyarakat membuat keputusan yang lebih baik dalam menghadapi bencana.
Dengan strategi yang jelas, komitmen dari semua pihak, dan langkah konkret yang terencana, Jakarta dapat menjadi kota yang lebih tangguh, mampu menghadapi tantangan gempa, dan melindungi warganya dari ancaman yang tak terelakkan.
Harapan pada pemimpin baru Jakarta
Rekomendasi tersebut sejatinya hanya dapat diwujudkan jika Jakarta dipimpin oleh pemimpin yang memiliki visi dan komitmen kuat terhadap pengurangan risiko bencana.
“Pemimpin baru harus mampu menjadikan mitigasi bencana sebagai prioritas utama, bukan sekadar janji kampanye,” ujar Victor.
Victor sendiri mengkritik ketiga pasangan calon gubernur (cagub) dan calon wakil gubernur (cawagub) yang berkontestasi pada Pilkada Jakarta 2024.
Pada pasangan Ridwan Kamil-Suswono, katanya, telah mencantumkan penanganan gempa dalam program kerja. Mereka berkomitmen untuk mengembangkan sistem peringatan dini, memasang alat deteksi dini tingkat kerusakan gedung, serta membangun komunitas tangguh bencana.
"Sayangnya, program tersebut masih sebatas konsep, tanpa ada rincian implementasi yang jelas. Juga belum ada penjabaran tentang regulasi bangunan tahan gempa atau penguatan infrastruktur vital, seperti sekolah dan rumah sakit," ujarnya.
Sementara itu, dua pasangan lainnya, Dharma Pongrekun-Kun Wardana dan Pramono Anung-Rano Karno baru hanya menyebutkan bencana secara umum dalam program kerja tanpa fokus pada gempa.
"Hal itu masih memperlihatkan bahwa kesiapsiagaan dan mitigasi gempa belum menjadi prioritas yang serius," kritiknya.