JAKARTA, KOMPAS.com - Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 4,8-5,6 persen pada 2025. Pertumbuhan ini akan disokong oleh konsumsi, investasi, dan ekspor.
Sejalan dengan hal tersebut, tingkat inflasi akan dipertahankan di kisaran 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2025 dan 2026. Pengendalian inflasi dilakukan melalui kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) secara konsisten.
“Dengan sinergi, insyaallah, ekonomi Indonesia pada 2025 dan 2026 akan menunjukkan pertumbuhan yang cukup tinggi,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo pada Pertemuan Tahunan Bank Indonesia (PTBI) bertema “Sinergi Memperkuat Stabilitas dan Transformasi Ekonomi Nasional” di Grha Bhasvara Icchana, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2024).
Bauran kebijakan BI pada 2025 akan terus diarahkan untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dalam sinergi erat dengan kebijakan ekonomi nasional. Kebijakan moneter Bank Indonesia pada 2025 akan tetap difokuskan pada stabilitas dengan terus mencermati ruang untuk mendorong pertumbuhan (pro-stability and growth).
BI juga mengarahkan empat kebijakan lainnya dalam upaya bersama mengakselerasi pertumbuhan ekonomi nasional (pro-growth), yakni kebijakan makroprudensial, kebijakan sistem pembayaran, kebijakan pendalaman pasar keuangan, dan kebijakan ekonomi keuangan inklusif dan hijau. Kebijakan ini akan diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Pertahankan kebijakan makroprudensial longgar
Perry menjelaskan, BI akan mempertahankan kebijakan makroprudensial longgar agar pertumbuhan kredit bisa tumbuh di level 11-13 persen pada 2025.
Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) dikeluarkan untuk mendorong kredit atau pembiayaan yang akan diarahkan ke sektor-sektor prioritas pencipta lapangan kerja. BI akan meningkatkan jumlah insentif likuiditas KLM dari Rp 259 triliun menjadi Rp 283 triliun mulai Januari 2025.
“Jumlah bank yang akan menerima insentif likuiditas semakin banyak dan semakin besar,” kata Perry.
Kemudian, rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial dibuat tetap longgar. Dengan begitu, kebijakan uang muka kredit 0 persen tetap berlaku untuk kredit properti dan otomotif pada 2025.
Selanjutnya, BI akan menguatkan surveilans sistemik untuk menjaga stabilitas sistem keuangan. Surveilans sistemik merupakan pengawasan makroprudensial pada bank-bank besar.
“BI akan berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK),” tuturnya.
Akselerasi digitalisasi sistem pembayaran
Perry melanjutkan, BI juga akan mengakselerasi digitalisasi sistem pembayaran pada 2025. Inisiatif ini dilakukan untuk mempercepat kemajuan digitalisasi dalam mendukung pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.
Rencana tersebut sesuai Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia 2025-2030 yang diluncurkan pada Agustus 2024.
“Blueprint tersebut merangkum lima inisiatif, yakni Infrastruktur, Industri, Inovasi, Internasionalisasi, dan Rupiah Digital dengan semboyan ‘Satu Nusa, Satu Satu Bangsa, Satu Bahasa’,” kata Perry.
Inisiatif pertama adalah pengembangan sistem pembayaran New BI-Fast yang terkoneksi dengan fast payments industri.
BI juga melakukan modernisasi Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (BI-RTGS) yang multi-currency dan berstandar internasional. Pusat data transaksi pembayaran dengan Payment ID dan BI-Payment Info juga akan dikembangkan.
Kemudian, BI akan melakukan konsolidasi sistem pembayaran berdasarkan transaksi, interkoneksi, kompetensi, manajemen risiko, dan infrastruktur teknologi (TIKMI) dengan klasifikasi Pelaku Sistem Pembayaran (PSP) Utama dan Non-Utama.
Selanjutnya, inovasi QRIS dengan target 58 juta pengguna dan 40 juta merchant. BI akan berkolaborasi dengan Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) untuk mendirikan BI Digital Innovation Center (BIDIC).
Lalu, BI akan memperluas kerja sama QRIS dengan negara-negara di Asia dan Timur Tengah, seperti Jepang, Korea, dan Uni Emirat Arab, serta sejumlah negara lain.
Kemudian, BI akan melakukan eksperimentasi lanjutan rupiah digital sebagai satu-satunya alat pembayaran yang sah di Indonesia.
"Kami akan meneruskan elektronifikasi transaksi keuangan pemerintah daerah untuk penyaluran bantuan sosial dan untuk Kartu Kredit Indonesia (KKI) segmen pemerintah,” kata Perry.
Pendalaman pasar uang dan pasar valas
BI akan mengarahkan kebijakan pendalaman pasar uang untuk mewujudkan pasar uang yang modern dan berstandar internasional, memperkuat efektivitas transmisi bauran kebijakan Bank Indonesia, serta mendukung pembiayaan bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan pada 2025.
Kebijakan pendalaman pasar uang dan pasar valas akan didasarkan pada Blueprint Pendalaman Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing (BPPU) 2025-2030.
“Pada blueprint tersebut, kami memiliki sasaran transaksi repurchase agreement (repo) naik ke Rp 30 triliun per hari pada 2030. Sementara itu, transaksi domestic non-deliverable forward (DNDF) naik ke 1 miliar dollar AS per hari pada 2030,” tutur Perry.
Untuk mencapai target tersebut, BI telah melakukan serangkaian kebijakan. Pertama, peningkatan likuiditas transaksi repo dan DNDF. BI akan mendorong peran primary dealers sebagai market maker.
Kedua, penguatan pelaku pasar bersama Asosiasi Pelaku Pasar Uang dan Pasar Valuta Asing Indonesia (APUVINDO). BI juga akan mengembangkan infrastruktur pasar uang yang terintegrasi.
“Ketiga, sinergi pembiayaan ekonomi dalam Forum Koordinasi Pengembangan Sektor Keuangan (FK-PSK),” tuturnya.
Pengembangan UMKM dan ekonomi hijau
BI juga akan terus mengembangkan sektor UMKM dan ekonomi hijau. Hal ini dilakukan dengan menggelar berbagai acara, seperti Gelaran Karya Kreatif Indonesia untuk UMKM Go Export dan Go Digital.
Untuk ekonomi dan keuangan syariah, BI terus mengembangkan sektor unggulan, khususnya makanan halal dan modest fashion.
Pada kebijakan luar negeri, BI terus memperluas kerja sama dengan bank sentral dan lembaga internasional.
Kerja sama yang dilakukan meliputi kebanksentralan, sistem pembayaran, localcurrency transaction, perjanjian swap bilateral, ASEAN Payments Connectivity, serta memperjuangkan kepentingan nasional di fora internasional.