KOMPAS.com - Ginjal adalah organ penting yang berfungsi untuk menyaring limbah dalam tubuh.
Fungsi ginjal dapat mengalami penurunan jika mengalami kerusakan secara struktural ataupun fungsional. Kondisi ini biasanya dapat menyebabkan penyakit ginjal kronis.
Penyakit ginjal kronis ditandai dengan kondisi yang progresif. Dengan kata lain, semakin lama, kondisinya akan semakin memburuk meskipun telah mengonsumsi obat. Jika tidak ditangani, penyakit ini dapat berkembang menjadi gagal ginjal.
Pada tahap awal, penyakit ginjal kronis sering kali tidak memiliki gejala. Seseorang biasanya baru merasakan sakit setelah berada pada tahap lanjut, yaitu stadium empat atau lima.
Pada stadium itu, pasien membutuhkan penanganan berupa cuci darah atau bahkan transplantasi ginjal yang membutuhkan biaya tidak sedikit.
Berdasarkan penelitian dari ClinicoEconomics and Outcomes Research, pembiayaan penyakit ginjal kronis disebutkan menduduki peringkat kedua pembiayaan tertinggi dalam program BPJS Kesehatan.
Adapun biaya yang dikeluarkan untuk penanganan penyakit tersebut mencapai sekitar Rp 1,9 triliun, sebagaimana dikutip dari laman Kementerian Kesehatan Sehat Negeriku.
Tak hanya itu, dari penelitian yang dilakukan di enam rumah sakit di Indonesia, rincian biaya pengobatan ginjal kronis mencapai Rp 840.132.546 untuk hemodialisis, Rp 423.156.000 untuk tindakan berat, dan Rp 792.155.000 untuk jasa penelitian.
Penelitian tersebut dilakukan selama 14 bulan, tepatnya pada periode Oktober 2019 hingga Desember 2020 dengan menggunakan 582 sampel.
Sementara, berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi penyakit ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk umur sekitar 15 tahun disebutkan mencapai 0,18 persen.
Biaya pengobatan ginjal kronis yang mahal juga terbukti dari studi di negara-negara Asia yang dipublikasikan di SpringerLink.
Rata-rata pengobatan per pasien penyakit ginjal setiap tahunnya mencapai 23.358 dollar AS untuk hemodialisis dan 4.977 dolar AS untuk pengelolaan penyakit.
Penyebab kematian tercepat ketiga
Melansir laman International Society of Nephrology, penyakit ginjal kronis saat ini merupakan penyebab kematian dengan pertumbuhan tercepat ketiga di seluruh dunia.
Penyakit tersebut diperkirakan akan menjadi penyebab kematian kelima di dunia pada 2040.
Menurut data dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dalam laporan Global Burden of Disease (GBD) 2019, penyakit ginjal kronis termasuk dalam 10 besar penyakit dengan kematian tertinggi di Indonesia.
Angka kematian akibat penyakit itu mencapai lebih dari 42.000 jiwa setiap tahunnya. Prevalensinya di Indonesia juga terus meningkat, yakni mencapai lebih dari 700.000 penderita.
Penyakit itu memang tidak memiliki gejala yang signifikan pada tahap awal penyakit (silent disease).
Namun, apabila dibiarkan tanpa penanganan yang tepat, konsekuensinya bisa sangat merugikan, baik untuk pasien, keluarga maupun, negara. Apalagi, penyakit ginjal kronis saling terkait dengan diabetes dan gagal jantung.
Studi pada Jurnal Cardiorenal Medicine menunjukkan, sekitar 25 persen hingga 40 persen pasien gagal jantung mengalami diabetes melitus (DM).
Adapun sekitar 40 persen sampai 50 persen pasien gagal jantung mengalami penyakit ginjal kronis (CKD).
DM dan CKD juga disebutkan berhubungan dengan peningkatan risiko kejadian gagal jantung (HF).
Selain itu, 40 persen penderita DM yang mengalami CKD menjadikan DM sebagai penyebab utama gagal ginjal secara global.
Studi tersebut juga menyebutkan bawah sebanyak 16 persen pasien gagal jantung mempunyai komorbiditas DM dan CKD.
Kombinasi ketiga komorbiditas itu berhubungan dengan peningkatan risiko rawat inap dan mortalitas.
Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay mengatakan, sebagai perusahaan biofarmasi global yang berfokus pada kardiovaskular, ginjal, dan metabolisme, AstraZeneca senantiasa berkomitmen mendorong diagnosis dan intervensi lebih awal.
Dengan begitu, upaya tersebut dapat membantu mencegah atau memperlambat perkembangan semua penyakit itu.
“Beban penyakit akan bertambah besar seiring dengan peningkatan stadium dan komorbiditas dengan diabetes dan gagal jantung,” ujar Esra dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Kamis (12/12/2024).
Esra menambahkan, pengelolaan penyakit ginjal meliputi diagnosis hingga pengobatan, termasuk modifikasi gaya hidup sudah sangat krusial untuk dilakukan.
Melihat pentingnya pengelolaan penyakit ginjal yang komprehensif, AstraZeneca pun bermitra dengan Good Doctor melalui pemanfaatan aplikasi kesehatan digital demi membantu pasien mengelola masalah tersebut.
Kolaborasi antara Good Doctor dan AstraZeneca diharapkan dapat mempermudah serta mendorong lebih banyak masyarakat Indonesia untuk melakukan skrining penyakit ginjal kronis.
Dengan demikian, deteksi dini dapat dilakukan, yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan efektivitas pengobatan.
Vice President of Medical Operations PT Good Doctor Technology dr Ega Bonar Bastari menjelaskan bahwa sebagai penyedia layanan kesehatan terpadu berbasis teknologi, pihaknya menyambut baik kepercayaan yang diberikan AstraZeneca.
Oleh karena itu, Good Doctor siap melakukan transformasi layanan digital dalam penyakit ginjal kronis.
Untuk dapat memberikan layanan berkualitas, Good Doctor pun memulai layanan itu dengan menyediakan tautan “Yuk, Cek Risiko Penyakit Ginjal Anda” di awal halaman.
“Tautan itu punya sejumlah pertanyaan yang wajib diisi pasien. Dari jawaban-jawaban pasien, dokter dapat mengetahui risiko mereka karena sekumpulan pertanyaan yang baik bisa memberikan diagnosis yang akurat,” ucap dr Ega.
Menurut dr Ega, langkah tersebut merupakan upaya deteksi dini yang perlu dilakukan. Ini mengingat penyakit ginjal kronis merupakan silent disease.
“Artinya, (penyakit tersebut) tidak memiliki gejala di tahap awal, tetapi bersifat progresif. Setelah itu, dokter akan merekomendasikan tata laksana yang sesuai dengan kondisi pasien, baik dari sisi medis maupun gaya hidup,” ucapnya.
Kolaborasi tersebut, tambah dr Ega, sekaligus menambah bukti manfaat layanan telemedisin untuk penyakit kronis yang membutuhkan perawatan yang berkesinambungan.
Studi mengenai manfaat layanan telemedisin untuk penyakit kronis telah dilakukan Good Doctor dengan merintis percontohan untuk mendorong penggunaan telemedisin dalam pengobatan diabetes.
Studi tersebut dilakukan dalam dua fase. Fase pertama adalah kualitatif yang melibatkan 15 responden berusia 45-70 tahun.
Responden itu dibagi dalam tiga kelompok dalam focus group discussion (FGD) melalui Google Meet dan Microsoft Team pada Desember 2020.
Sementara itu, fase kedua adalah kuantitatif dengan melakukan pengamatan terhadap responden selama tiga bulan untuk memantau kadar gula darah.
Hasil penelitian fase pertama menunjukkan bahwa monitoring diabetes yang dilakukan lewat aplikasi Good Doctor mendapat penerimaan positif dari responden.
Platform tersebut dinilai berpotensi untuk mendukung pengamatan keadaan pasien diabetes, terutama self-care monitoring pada perkembangan kondisi kesehatannya.
Adapun hasil penelitian fase kedua menunjukkan kelompok yang menggunakan aplikasi Good Doctor secara penuh mengalami penurunan kadar gula darah hingga akhir tiga bulan pemantauan.
Bagi yang ingin melakukan tes atau skrining awal terkait masalah penyakit ginjal kronis melalui layanan Good Doctor, silakan klik tautan berikut.