JAKARTA, KOMPAS.com – Jakarta segera bertransformasi menjadi Daerah Khusus Jakarta (DKJ) seiring dengan perpindahan ibu kota Indonesia ke Ibu Kota Nusantara (IKN). Transformasi ini membawa peluang besar untuk pengembangan Jakarta sebagai kota global, tetapi juga memunculkan tantangan serius, terutama dalam hal pengurangan risiko bencana.
Salah satu kekosongan kebijakan yang menjadi perhatian adalah absennya komitmen terhadap pengurangan risiko gempa dalam Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi DKJ.
“Di dalam UU DKJ, yang terkait dengan kebencanaan sangat minim. Hanya ada soal banjir, dan itu pun fokusnya di tanggap darurat. Namun demikian masih ada harapan dengan ditetapkannya kawasan aglomerasi, pengendalian banjir dapat dilakukan secara terpadu dari hulu hingga hilir,” ungkap Ketua Subkelompok Urusan Pemberdayaan Masyarakat dan Lembaga Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi DKI Jakarta Basuki Rakhmat dalam diskusi yang diselenggarakan oleh USAID KUAT, Selasa (10/12/2024).
Padahal, Provinsi DKJ dan sekitarnya adalah wilayah rawan gempa berdasarkan kajian ilmiah dan catatan sejarah yang ada. Risiko ancaman gempa ini semakin diperparah dengan posisi Jakarta yang ditetapkan sebagai kota ekonomi dan global yang dipenuhi dengan gedung-gedung tinggi dan populasi padat.
Tantangan kawasan aglomerasi
Dalam upaya menjadikan Jakarta sebagai kota global yang tangguh terhadap bencana, terdapat berbagai tantangan yang signifikan dalam kebijakan dan implementasi pengurangan risiko gempa. Pertama, absennya kebijakan mitigasi gempa di dalam UU DKJ menjadi salah satu persoalan mendasar yang memperbesar risiko Jakarta dan kawasan aglomerasi dalam menghadapi bencana.
UU Nomor 2 Tahun 2024 tentang Provinsi DKJ lebih menitikberatkan pada isu banjir dan aksi tanggap darurat saja, tanpa menyebutkan gempa sebagai ancaman bencana yang perlu dikelola secara serius.
Padahal, Jakarta dan kawasan sekitarnya adalah daerah berpotensi terdampak gempa, terutama megathrust dan berbagai sumber gempa lainnya. Ketidakhadiran kebijakan mitigasi gempa dalam UU tersebut menciptakan celah besar yang membuat perencanaan bencana menjadi tidak komprehensif.
Deputy Project Director, Private Sector Engagement Lead USAID KUAT sekaligus perwakilan dari Miyamoto International Victor Rembeth menekankan, Jakarta tidak bisa menjadi kota ekonomi dan global tanpa integrasi kebijakan mitigasi bencana yang komprehensif dalam tata kelola aglomerasi.
Kedua, belum jelasnya tata kelola koordinasi lintas wilayah. Kawasan aglomerasi DKJ meliputi Jakarta dan wilayah yang terintegrasi seperti Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, hingga Cianjur. Koordinasi kebencanaan di kawasan ini masih menghadapi kendala besar, terutama akibat belum jelasnya koordinasi di antara pemerintah daerah (pemda) untuk berbagai prioritas pembangunan yang ada.
“Ketika terjadi bencana di wilayah perbatasan, seperti antara Jakarta dan Tangerang, belum ada kesepakatan penanganan bersama. Hal ini belum diatur secara jelas,” ujar Basuki.
Selain itu, sinkronisasi dan integrasi kebijakan lintas wilayah belum menjadi prioritas dalam perencanaan aglomerasi.
Ketiga, masih rendahnya literasi kebencanaan di masyarakat. Menurut riset Yayasan Skala Indonesia (YSI), masyarakat di wilayah seperti Subang, Majalengka, dan Sumedang hampir tidak memiliki ingatan kolektif tentang sejarah bencana di daerah mereka.
"Berbeda dengan Poso, di mana masyarakat memahami risiko dari sejarah bencana mereka. Di aglomerasi Jakarta, kesadaran terhadap bencana masih sangat minim. Mereka juga tidak memiliki keterikatan emosional dengan tanah tempat tinggal sehingga kurang menyadari ancaman risiko bencana di sekitarnya," terang Direktur YSI Trinirmalaningrum yang akrab disapa Rini.
Keempat, tantangan kelembagaan dan anggaran. Kelembagaan BPBD di beberapa daerah sering tidak dilibatkan dalam penyusunan tata ruang atau kebijakan strategis lainnya, meskipun peran mereka krusial dalam mitigasi bencana.
Di Bekasi, misalnya, BPBD masih dianggap sebagai lembaga yang hanya fokus pada respons bencana, bukan pengurangan risiko bencana. Hal ini menjadi tantangan besar dalam membangun ketangguhan wilayah terhadap ancaman gempa.
Anggaran untuk kebencanaan juga lebih banyak dialokasikan untuk respons darurat daripada investasi pengurangan risiko bencana.
“Anggaran untuk pengurangan risiko bencana sangat kecil, sedangkan kebutuhan mitigasi, seperti penataan tata ruang dan pembangunan infrastruktur tahan gempa, sangat besar,” tandas Rini.
Penata Penanggulangan Bencana Ahli Madya BPBD Kabupaten Tangerang Tifna Purnama mengungkapkan, salah satu tantangan utama di wilayah tersebut adalah kurangnya perhatian terhadap infrastruktur tahan gempa, seperti fasilitas pendidikan dan bangunan publik.
Selain itu, minimnya pelibatan BPBD dalam penyusunan kebijakan strategis membuat rencana mitigasi tidak berjalan optimal.
"Kami sering kali hanya fokus pada respons darurat, sementara mitigasi gempa seperti megathrust masih kurang mendapat perhatian," ujar Tifna.
Upaya yang sedang dilakukan
Wilayah Jakarta dan kawasan aglomerasi terus berupaya meningkatkan ketangguhan terhadap bencana, termasuk ancaman gempa besar seperti megathrust. Meskipun tantangan kebijakan dan koordinasi lintas wilayah masih ada, berbagai inisiatif telah dijalankan untuk memperkuat kesiapsiagaan masyarakat, infrastruktur, dan sistem penanggulangan bencana.
Salah satu langkah penting dalam upaya mitigasi bencana yang berbasis digital adalah aplikasi Digital Risk Map yang dikembangkan oleh USAID KUAT dan sudah diujicobakan di delapan desa/kelurahan di kawasan aglomerasi. Dua desa di Kabupaten Tangerang, tiga kelurahan dan satu desa di Kabupaten Bogor serta dua kelurahan di Jakarta, menjadi wilayah percontohan untuk sistem ini.
Digital Risk Map memanfaatkan pendekatan pemetaan berlapis (layered mapping) untuk memetakan fasilitas kesehatan, ekonomi, serta kawasan rawan bencana. Sistem ini melibatkan masukan historis dari masyarakat lokal sehingga membantu otoritas lokal dalam pengambilan keputusan berbasis data yang lebih akurat dan relevan sesuai kebutuhan setiap wilayah.
Upaya memperkuat pengelolaan bencana di tingkat lokal juga menjadi fokus utama di kawasan aglomerasi. Di Jakarta, pemerintah telah memberikan wewenang kepada lurah untuk mengelola potensi bencana di wilayah mereka melalui Keputusan Gubernur Nomor 1245 Tahun 2020. Lurah diberi tanggung jawab untuk mengelola sumber daya dan jejaring mitra sehingga dapat mempercepat respons lokal terhadap bencana.
Di Kabupaten Tangerang, program Keluarga Tangguh Bencana menjadi salah satu inisiatif yang melibatkan masyarakat dalam pengelolaan risiko bencana. BPBD setempat juga telah mengembangkan jejaring komunitas untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap ancaman gempa dan bencana lainnya.
"Partisipasi masyarakat menjadi kunci dalam membangun ketangguhan di tingkat lokal," ungkap Tifna.
Penguatan infrastruktur tahan gempa juga menjadi prioritas. Di Jakarta, BPBD sedang melakukan pengkajian terhadap gedung-gedung yang ada untuk memastikan ketahanan terhadap guncangan gempa. Selain itu, revisi Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 170 Tahun 2016 sedang dipersiapkan untuk meningkatkan standar rambu kebencanaan pada gedung-gedung tinggi.
Di Kabupaten Bogor, BPBD telah memulai inisiatif untuk meninjau kembali tata ruang di wilayah-wilayah yang dekat dengan potensi gempa yaitu jalur Sesar Baribis. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi risiko pembangunan di zona yang rawan terhadap gempa.
Kerja sama dengan sektor lembaga usaha juga menjadi elemen penting dalam mitigasi bencana. Beberapa perusahaan di Tangerang dan Bekasi telah mulai membangun fasilitas yang memenuhi standar tahan gempa di wilayah operasi mereka. Sementara itu, BPBD Jakarta sedang merevisi regulasi untuk meningkatkan peran lembaga usaha dalam mendukung upaya mitigasi.
Wilayah aglomerasi juga sedang menyusun kebijakan jangka panjang untuk mendukung pengurangan risiko bencana. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang mengajukan Rancangan Peraturan Daerah (Perda) tentang Penanggulangan Bencana dan Adaptasi Perubahan Iklim pada 2025 yang akan mengintegrasikan mitigasi bencana dengan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim.
Di sisi lain, Kabupaten Tangerang sedang menyusun rencana aksi pengurangan risiko bencana gempa bumi yang terintegrasi ke dalam rencana pembangunan daerah. Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan efektivitas pengelolaan risiko di tingkat kabupaten.
Menuju solusi terintegrasi
Untuk menghadapi ancaman gempa, megathrust dan sumber gempa lainnya, diperlukan langkah-langkah strategis yang komprehensif dan berkelanjutan. Diskusi dalam FGD menyoroti sejumlah solusi yang diharapkan dapat meningkatkan ketangguhan wilayah Jakarta dan kawasan aglomerasi.
Salah satu rekomendasi utama adalah memasukkan pengurangan risiko gempa ke dalam revisi UU DKJ dan kebijakan turunannya dalam berbagai regulasi kawasan aglomerasi. Peserta FGD menilai, absennya kebijakan pengurangan risiko gempa saat ini menciptakan celah dalam kesiapan menghadapi bencana.
Basuki menyampaikan, kebijakan mitigasi harus terintegrasi dengan tata kelola aglomerasi untuk memastikan pengelolaan risiko yang menyeluruh. Sebab, rencana pembangunan kawasan yang saat ini lebih banyak fokus pada aspek ekonomi, tanpa mempertimbangkan risiko bencana.
Koordinasi lintas wilayah menjadi tantangan besar di kawasan aglomerasi. Untuk mengatasi hal ini, pembentukan Badan Layanan Bersama diusulkan sebagai solusi strategis.
Basuki menjelaskan, badan tersebut bertugas mengoordinasikan mitigasi bencana, tanggap darurat, hingga pemulihan pascabencana di kawasan yang melibatkan banyak entitas administratif.
"Pembentukan Badan Layanan Bersama ini memberikan peluang untuk menyelaraskan upaya mitigasi dan menciptakan respons kebencanaan yang lebih efektif," ungkap Basuki.
Alokasi anggaran wajib (mandatory spending) menjadi rekomendasi penting untuk memastikan upaya mitigasi bencana mendapat prioritas dalam perencanaan pembangunan. Basuki menilai, hal ini tidak hanya mencegah alokasi dana yang minim untuk mitigasi, tetapi juga menjadikannya investasi jangka panjang yang menguntungkan.
"Penanggulangan bencana harus dilihat sebagai investasi, bukan beban," tekannya.
Penguatan kapasitas masyarakat juga menjadi bagian dari strategi mitigasi bencana. Program berbasis komunitas, seperti Keluarga Tangguh Bencana di Kabupaten Tangerang menunjukkan bagaimana literasi kebencanaan dapat ditingkatkan melalui edukasi langsung.
Meski begitu, upaya lebih untuk menjangkau masyarakat di perkotaan yang sering kali kurang responsif terhadap program mitigasi masih diperlukan.
Rini menyoroti pentingnya pendekatan berbasis sejarah lokal dalam membangun kesadaran masyarakat.
"Pembelajaran dari Poso menunjukkan bagaimana ingatan kolektif masyarakat terhadap bencana dapat menciptakan kesiapan yang lebih baik," jelasnya.
Sebagai salah satu contoh keberhasilan, Poso menunjukkan bahwa keterikatan budaya dan pemahaman sejarah bencana dapat menjadi modal sosial yang kuat. Masyarakat di sana memahami bagaimana mengelola risiko dari pengalaman sebelumnya. Pendekatan ini dapat diadaptasi untuk kawasan aglomerasi dengan menyesuaikan konteks urban yang lebih heterogen.
Pentingnya komitmen politik
Jakarta yang sedang bertransformasi menjadi kota global memikul tanggung jawab besar untuk memastikan keselamatan dan keberlanjutan warganya serta wilayah-wilayah di sekitarnya. Namun, tanpa adanya langkah nyata untuk mengintegrasikan pengurangan risiko gempa ke dalam kebijakan publik, wilayah aglomerasi ini akan terus berada dalam bayang-bayang dampak merusak risiko bencana.
Dukungan politik yang kuat, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif, juga sangat dibutuhkan. Tanpa kemauan politik yang tegas, upaya mitigasi akan tetap menjadi wacana belaka.
Hal itu tecermin dari gagalnya perjalanan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Tercatat, rancangan revisi sudah diajukan berkali-kali ke ke Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, tapi tidak mendapat prioritas dari agenda pembahasan, khususnya Komisi VIII.
"Kami sudah dorong-dorong revisi UU ini, tapi selalu tidak berlanjut dan tanpa kepastian," ungkap Victor.
Padahal, lanjut Victor, jika kebencanaan diabaikan, dampaknya tidak hanya merusak Jakarta, tetapi juga seluruh kawasan aglomerasi. Tingkat Pertumbuhan ekonomi DKJ dan nasional bisa terkoreksi negatif dalam hitungan hari.
Pada akhirnya, seluruh pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat, perlu bekerja sama untuk memastikan Jakarta tidak hanya menjadi kota global, tetapi juga kota yang tangguh terhadap bencana.
"Langkah ini bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk melindungi masa depan Jakarta dan kawasan aglomerasi secara keseluruhan," ujar Basuki.