KOMPAS.com – Kajian terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Communications menyoroti upaya mitigasi risiko penularan malaria dan penyakit yang ditularkan melalui vektor, seperti demam berdarah, zika, chikungunya, dan Japanese encephalitis di wilayah pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Studi kajian berjudul “Mitigating Risks of Malaria and Other Vector-Borne Diseases in the New Capital City of Indonesia” tersebut dipimpin oleh Associate Professor sekaligus Koordinator Program Master of Public Health Monash University Indonesia Dr Henry Surendra.
Penelitian itu melibatkan Geospatial and Epidemiology Program Manager Oxford University Clinical Research Unit Dr Iqbal Elyazar, Associate Professor dan Co-lead Climate, Environment and Health Programme Saw Swee Hock School of Public Health, National University of Singapore Dr Kimberly Fornace, serta sejumlah pemangku kepentingan dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), WHO Indonesia, dan UNICEF Indonesia.
Manajer Program Malaria Nasional Kemenkes, Dr Helen Prameswari, mengatakan bahwa meskipun penularan malaria di IKN telah berhasil dikendalikan, perhatian terhadap mitigasi risiko harus tetap menjadi prioritas.
"Terlepas dari keberhasilan mengendalikan penularan malaria di IKN, Kemenkes bersama Otorita IKN dan pemerintah daerah (pemda) setempat tetap menaruh perhatian besar dalam upaya mitigasi risiko kasus malaria,” kata Helen dalam rilis pers yang diterima Kompas.com, Selasa (17/12/2024)
Salah satu upaya yang dilakukan adalah pembentukan Gugus Tugas Bebas Malaria pada Mei 2024. Gugus tugas tersebut menyasar populasi pekerja konstruksi, buruh migran, dan pekerja kehutanan setempat.
“(Maka dari itu), diperlukan kerja sama lintas ilmu dan lintas sektor, mulai dari pusat sampai daerah," ujar Helen.
Untuk mengoptimalkan upaya penanganan malaria dan penyakit tular vektor lain, Dr Henry Surendra dan tim menekankan pentingnya penelitian lebih lanjut.
Menurutnya, penelitian lanjutan tersebut bertujuan memahami bagaimana perubahan lingkungan, perilaku vektor, dan mobilitas manusia berkontribusi terhadap penyebaran penyakit.
“Dengan kemajuan teknologi, seperti data satelit dan perangkat AI, ada potensi besar untuk memantau perubahan secara real-time dan menyempurnakan rencana tata ruang agar dapat mengurangi risiko kesehatan di kota, seperti IKN," jelas Henry.
Ia mengatakan, skala pembangunan IKN yang masif dan dampaknya terhadap Kalimantan Timur memerlukan kolaborasi lintas batas.
"Pendekatan multidisiplin akan memastikan bahwa tantangan kesehatan, ekologi, dan sosial ditangani secara komprehensif," tambahnya.
Sementara itu, Dr Iqbal Elyazar menyoroti pentingnya strategi adaptif dalam mitigasi malaria untuk mendukung ambisi Indonesia bebas malaria pada 2030.
Dengan berfokus pada isu-isu mendesak, seperti eliminasi malaria, pihaknya bertujuan mendorong kebijakan berbasis riset seraya menciptakan perubahan yang berarti di berbagai wilayah.
“Kebutuhan akan strategi adaptif menggarisbawahi pentingnya pendekatan yang lebih informatif dan kolaboratif dalam mitigasi malaria di seluruh Indonesia," ujar Iqbal.
Vice President of Research Monash University Indonesia Alex Lechner menekankan bahwa urbanisasi cepat dan perubahan iklim membawa tantangan signifikan bagi pembangunan berkelanjutan, terutama di wilayah rentan, seperti Indonesia.
Untuk itu, menurutnya, kehadiran penelitian kolaboratif dan solusi inovatif penting untuk mengatasi dampak kesehatan dan lingkungan dari proyek infrastruktur berskala besar, seperti IKN.
“Monash University Indonesia berkomitmen untuk terlibat aktif dalam mengintegrasikan desain tata kota dengan pertimbangan ekologi dan kesehatan guna mempromosikan masyarakat yang tangguh dan berkelanjutan," jelas Alex.
Alex menilai, secara keseluruhan, pembangunan IKN menawarkan peluang penting untuk mengintegrasikan langkah-langkah pengawasan dan pengendalian penyakit menular ke dalam proyek infrastruktur berskala besar.
Upaya antisipatif yang telah dilakukan tersebut dapat menjadi contoh bagi pembangunan ibu kota di negara lain yang menghadapi tantangan serupa.
Adapun langkah-langkah tersebut juga bisa menjadi panduan bagi kota lain di Indonesia untuk membantu mengurangi risiko penyakit menular sekaligus mendorong pertumbuhan perkotaan yang berkelanjutan.
Untuk mengakses artikel lengkap studi “Mitigating Risks of Malaria and Other Vector-Borne Diseases in the New Capital City of Indonesia”, Anda bisa mengunjungi tautan berikut.