KOMPAS.com - Saat ini, dunia dihadapkan dengan ancaman serius akibat pemanasan global yang semakin mengkhawatirkan.
Oleh karena itu, berbagai negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, telah berkomitmen untuk mencapai net zero emission dengan target global pada 2050. Adapun Indonesia menetapkan 2060 sebagai batas waktunya.
Untuk mencapai tujuan itu, sejumlah langkah telah ditempuh oleh pemerintah Indonesia, termasuk menjalin kerja sama strategis dengan negara maju.
Teranyar, Indonesia menjalin kerja sama dengan Jepang dengan menggelar Indonesia-Japan Energy Forum (IJEF) ke-8 pada Kamis (5/12/2024). Ini menjadi ajang penting untuk memperkuat kerja sama strategis antara kedua negara.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan, Indonesia telah menunjukkan komitmen dalam pengurangan emisi dengan target 918 juta ton karbon dioksida (CO2) pada 2030, termasuk kontribusi sektor energi sebesar 358 juta ton.
Terkait hal itu, Indonesia juga memiliki pencapaian pada 2023 karena telah berhasil mengurangi emisi sebesar 128 juta ton CO2 melalui efisiensi energi, pengembangan energi terbarukan, dan teknologi rendah karbon.
Bahlil menjelaskan, Indonesia juga berkomitmen dalam memanfaatkan potensi mineral, seperti nikel, bauksit, tembaga, dan mangan untuk mendukung pengembangan industri baterai.
“Kolaborasi Indonesia dan Jepang pada IJEF ke-8 diharapkan menciptakan nilai tambah dan mempercepat inovasi di sektor energi,” ujar Bahlil dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Senin (23/12/2024).
Bahlil menambahkan, dengan menggabungkan sumber daya mineral Indonesia yang melimpah dan keahlian teknologi Jepang, kedua negara ini dapat mendorong inovasi, mempercepat pertumbuhan ekonomi, serta berkontribusi pada upaya global dalam mengatasi perubahan iklim.
Bahlil menegaskan, selain kolaborasi dengan Jepang, Indonesia juga menjalin kerja sama dengan Kanada dalam upaya mencapai net zero emission melalui nota kesepahaman (MoU) terkait mineral kritis yang ditandatangani oleh Menteri ESDM Bahlil dan pemerintah Kanada pada Selasa (3/12/2024).
MoU Indonesia dan Kanada mencakup beberapa area kerja strategis, seperti penerapan standar lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG), pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) melalui teknologi bersih, serta penguatan perdagangan dan investasi di sektor pertambangan.
“Kolaborasi ini diharapkan dapat mendukung percepatan transisi energi serta pertumbuhan ekonomi kedua negara,” jelas Bahlil.
Bahlil juga menekankan pentingnya kerja sama kedua negara tersebut untuk memenuhi kebutuhan energi Indonesia yang terus berkembang.
“Saat ini, kapasitas listrik kita mencapai 91 gigawatt dengan pertumbuhan ekonomi di bawah 6 persen. Presiden Prabowo Subianto menargetkan pertumbuhan ekonomi mencapai 8 persen sehingga kami memerlukan tambahan 61 gigawatt untuk mendukung pencapaian target tersebut,” tambah Bahlil.
Pada ajang The 7th Indonesia China Energy Forum (ICEF), Bahlil menegaskan komitmen Indonesia soal transisi energi sebagai terobosan utama dalam mewujudkan komitmen global guna mencapai dekarbonisasi.
”Ini ditunjukkan melalui sikap serius kami (pemerintah Indonesia) dalam upaya tersebut kepada pemerintah China. Kami juga telah mengembangkan peta jalan (roadmap) net zero emission yang komprehensif di sektor energi,” ungkap Bahlil.
Terkait hal itu, pemerintah Indonesia membuka peluang kolaborasi dengan China, mengingat besarnya potensi sumber daya Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang dimiliki Indonesia.
Beberapa contoh potensi tersebut di antaranya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Kayan dengan kapasitas 13.000 MW dan PLTA Mamberamo, Papua yang mencapai 24.000 MW.
“Ini sebuah potensi yang kita tawarkan ke China untuk bisa berkolaborasi bersama dan tidak mungkin melakukannya sendiri,” tutur Bahlil.
Aspek lain yang menjadi fokus pemerintah Indonesia ke depan adalah keberadaan hilirisasi yang berorientasi pada energi hijau dan industri hijau yang implementasi kebijakannya melalui energi listrik.
Untuk itu, berdasarkan roadmap transisi energi, pemerintah Indonesia menerapkan strategi menuju karbon netral dari sisi suplai, seperti fokus pembangkit listrik tenaga surya, hidro, panas bumi, dan hidrogen.
Selain itu, langkah lain yang diterapkan mencakup penghentian bertahap pembangkit listrik berbahan bakar batubara serta penerapan teknologi rendah emisi, seperti Carbon Capture and Storage (CCS) atau Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS).
Dari sisi permintaan, pemerintah juga mendorong pemanfaatan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai, penggunaan biofuel, serta penerapan manajemen energi yang lebih efisien.