JAKARTA, KOMPAS.com – Sudah genap dua dekade peristiwa gempa bumi dan tsunami dahsyat meluluhlantakan pesisir barat provinsi Daerah Istimewa Aceh dan 14 negara lain di kawasan Samudra Hindia, dimana salah satu kota yang parah terdampak adalah Banda Aceh. Pagi itu, Minggu (26/12/2004), langit Aceh begitu cerah. Tak ada tanda-tanda peringatan bahwa sebuah tragedi besar akan melanda.
Namun, pukul 07.58 WIB, gempa bawah laut dengan magnitudo 9,1 menggetarkan permukaan. Berpusat di bawah Samudra Hindia, 250 kilometer (km) tenggara pesisir Banda Aceh terjadi, gempa tersebut menyebabkan dasar laut naik secara tiba-tiba setinggi 40 meter sehingga memicu tsunami raksasa yang diam-diam menjalar ke berbagai penjuru.
Saat gempa mulai mereda, masyarakat di pesisir Banda Aceh melihat laut yang surut, tak menduga bahwa tsunami tengah menjalar menuju pantai. Kemudian, 20 menit setelah gempa itu, gelombang pertama tsunami menghantam garis pantai Banda Aceh, diikuti serangkaian gelombang panjang yang susul-menyusul. Elevasi maksimum dan landaan tsunami mencapai 34 meter, terekam di pantai barat Banda Aceh.
Sebagaimana dilaporkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 4 Januari 2005, setidaknya 200.000 jiwa meninggal dunia akibat bencana tersebut dan 93.285 orang hilang dalam tsunami paling mematikan dalam sejarah itu.
Hari itu menjadi salah satu titik paling kelam dalam sejarah Indonesia. Namun, dari puing-puing kehancuran, Aceh bangkit. Tsunami yang meluluhlantakkan itu memang meninggalkan luka mendalam, tetapi ada pula pembelajaran berharga di baliknya.
Momen tersebut pada akhirnya memantik kesadaran nasional, bahkan global, akan pentingnya pengurangan risiko bencana.
Setelah tsunami Aceh 2004, banyak perubahan terjadi. Di Aceh sendiri, tsunami sudah menjadi pengetahuan umum. Pendidikan dan pelatihan evakuasi dari tsunami beberapa kali dilakukan di sekolah walaupun belum menjadi kurikulum wajib.
Upaya untuk memasukkan kurikulum bencana Qanun Pendidikan Kebencanaan Aceh ada, tetapi belum menunjukkan hasil sekalipun naskah akademiknya telah disusun sejak 2017. Selain itu, sejak 2005, Indonesia mulai membangun sistem peringatan dini tsunami atau dikenal sebagai Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS).
Secara nasional, tsunami Aceh telah mendorong sejumlah perubahan. Hadirnya pelembagaan kebencanaan melalui UU Nomor 24 Tahun 2007 menandai perubahan paradigma dalam penanganan bencana di Indonesia. Isu kebencanaan kini diposisikan sebagai bagian dari pembangunan jangka panjang, bukan respons reaktif semata terhadap bencana.
Bahkan, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), yang merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2007, juga lahir karenanya. BPBD pun hadir di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.
Tidak hanya itu, pembentukan sejumlah peraturan-peraturan turunan, seperti Rencana Induk Penanggulangan Bencana dan Rencana Penanggulangan Bencana pada berbagai tingkatan wilayah untuk mendukung pengurangan risiko bencana secara sistematis memantik harapan untuk sebuah komitmen kuat bangsa ini untuk menjadi lebih tangguh di masa depan.
Atas upaya tersebut, pemerintah Indonesia pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diganjar penghargaan “Global Champion for Disaster Risk Reduction Award” dari PBB di Geneva, Swiss, Rabu (11/5/2011).
Penghargaan tersebut diberikan atas upaya pemerintah Indonesia dalam melahirkan UU Kebencanaan, pembentukan BNPB, dan prosedur tetap penanganan bencana dengan melibatkan para pemangku kepentingan di pusat dan daerah, pembuatan peta risiko bencana, sistem peringatan dini tsunami, serta menaikkan anggaran untuk kebencanaan hingga 1.000 persen sejak 2004.
Guna memperkuat mitigasi risiko bencana, BNPB bersama Universitas Gadjah Mada (UGM) mengembangkan sistem peringatan dini longsor. Bahkan, sistem buatan Indonesia ini, sebagai bagian dari kerjasama BNPB dan BSN (Badan Standardisasi Nasional) diakui oleh Organisasi Standar Internasional (ISO) dan ditingkatkan menjadi ISO 22327 sebagai Guidelines for Implementation of a Community-based Landslide Early Warning System.
Meski demikian, 20 tahun berlalu. Benarkah Indonesia sudah menjadi bangsa yang tangguh menghadapi bencana?
Deretan tsunami yang terjadi di Indonesia yang menyisakan dampak setelah tragedi Aceh pada 2004 menunjukkan banyak hal masih harus dibenahi. Belakangan, literasi pengurangan risiko bencana pun mulai melemah. Simulasi kebencanaan juga tak semasif dulu. Padahal tak berlebihan jika peringatan 26 Desember tak hanya diisi dengan sekadar seremonial, tetapi keharusan membangun semangat perubahan perilaku sosial dalam mengurangi risiko bencana.
Indonesia dan risiko bencana
Untuk diketahui, Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki tingkat risiko bencana tertinggi di dunia. Dengan posisi geografis yang berada di jalur cincin api Pasifik, berbagai ancaman alam, seperti gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi, menjadi ancaman yang terus hadir.
Berdasarkan World Risk Report 2023, Indonesia menempati peringkat kedua dari 193 negara di dunia dengan indeks risiko bencana sebesar 43,50, di bawah Filipina yang berada di posisi pertama. Pada periode Januari hingga Juli 2024, BNPB mencatat 788 kejadian bencana, dengan tanah longsor dan banjir sebagai bencana yang paling sering terjadi.
Kondisi tersebut menunjukkan urgensi bagi Indonesia untuk memperkuat upaya pengurangan risiko bencana. Kesungguhan seluruh elemen pun diperlukan, termasuk melalui penyempurnaan regulasi, menjadi kebutuhan mendesak.
Dalam konteks ini, keberadaan UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana merupakan landasan hukum penting.
Namun, setelah lebih dari satu dekade diterapkan, berbagai kekurangan dalam regulasi ini mulai teridentifikasi, terutama terkait definisi bencana dan pengaturan status bencana. Revisi terhadap UU ini menjadi krusial guna meningkatkan efektivitas penanggulangan bencana di Indonesia.
Menyoroti definisi bencana dalam Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2007, misalnya.
Dalam regulasi tersebut, bencana didefinisikan sebagai peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan masyarakat akibat faktor alam, nonalam, atau manusia.
Definisi tersebut masih terlalu umum dan kurang mencerminkan kompleksitas kondisi saat ini. Usulan revisi UU tersebut pun mulai disuarakan beberapa pihak.
Pengurus Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana, Syamsul Ardiansyah, mengatakan, definisi tersebut semestinya disertai dengan penutup yang penting, yaitu bahwa dampak bencana melampaui kapasitas masyarakat yang mengalaminya.
“Hilangnya kalimat tersebut (dalam UU) menyebabkan pengertian bencana menjadi sangat luas dan kurang spesifik. Sebagai contoh, beberapa kejadian yang sebenarnya bukan kategori bencana sering direspons oleh BPBD kabupaten/kota. Misalnya, peristiwa yang tidak secara langsung menyangkut hajat hidup orang banyak. Dengan tidak adanya frasa yang membatasi kejadian berdasarkan kapasitas masyarakat, hampir semua jenis kejadian masuk kategori bencana,” ujar Syamsul kepada Kompas.com dalam wawancara daring, Senin (16/12/2024).
Lebih lanjut, Syamsul menjelaskan, pengaturan status bencana dalam Pasal 7 UU No. 24 Tahun 2007 juga memerlukan revisi untuk memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
Untuk diketahui, poin pasal 7 ayat 1 dan 2 di UU No 24/2007 menuliskan dua norma, yakni status dan tingkatan dalam satu ayat. Padahal secara konsep, "status" dan "tingkatan" memiliki perbedaan konsep.
“Status berbicara mengenai suatu keadaan tertentu yang membedakan dalam konteks UU ini adalah suatu kejadian, termasuk kategori bencana atau bukan? Misalnya, terjadi genangan air di jalan raya selama beberapa jam. Apakah kejadian itu akan dianggap sebagai bencana atau tidak? Atau gempa dalam skala yang merusak (di atas MM5 di wilayah yang tidak ada penduduknya) tidak akan disebut sebagai bencana dan hanya akan disebut kejadian alam saja,” terang Syamsul.
Sementara, "tingkatan" berbicara tentang ruang tanggung jawab.
Syamsul melanjutkan, dalam konteks tingkatan yang dibahas adalah apakah suatu kejadian bencana itu di dalam ruang tanggungjawab Kabupaten/kota, provinsi, atau nasional?
Saat ini, status bencana tidak secara jelas mencakup skala, tingkat dampak, dan tataran penyelenggaraan penanggulangan bencana. Akibatnya, terdapat perbedaan interpretasi dalam menetapkan status bencana di berbagai daerah, yang berpotensi menghambat efektivitas respons tanggap darurat.
Syamsul menegaskan, status bencana seharusnya memberikan kepastian hukum yang lebih kuat.
“Penetapan status bencana harus mencakup skala, tingkat dampak, dan kemampuan daerah dalam menangani bencana tersebut. Hal ini penting untuk memastikan bahwa bantuan dan sumber daya dialokasikan dengan tepat sasaran,” paparnya.
Ia juga mengusulkan agar ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan status dan tingkatan bencana diatur dalam peraturan pemerintah. Tujuannya, untuk memberikan panduan yang lebih rinci dan fleksibel.
Adapun UU Nomor 24 Tahun 2007 sejatinya bertujuan untuk mengubah paradigma dari respons darurat menjadi pengurangan risiko bencana (PRB). Namun, pelaksanaannya masih menghadapi banyak tantangan.
Syamsul pun menyoroti bahwa pasal-pasal yang berkaitan dengan perencanaan, seperti Pasal 33 hingga Pasal 37, belum sepenuhnya mampu mendorong perubahan paradigma tersebut.
“PRB seharusnya menjadi prioritas utama, tetapi kenyataannya masih banyak yang berfokus pada tanggap darurat,” katanya.
Ia juga menambahkan bahwa isu-isu baru, seperti konflik sosial, perubahan iklim, dan tata ruang harus dimasukkan dalam revisi UU.
Menurutnya, bencana tidak lagi hanya soal kejadian alam, tetapi juga dampak sosial-ekonomi yang diakibatkan oleh berbagai faktor. Oleh karena itu, revisi UU ini harus mampu mengakomodasi dinamika baru yang muncul seiring dengan perkembangan zaman.
Di sisi lain, perbaikan juga diperlukan dalam pengaturan mengenai unsur pengarah sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2).
Saat ini, BNPB berperan sebagai lembaga nondepartemen setingkat menteri yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Syamsul menilai bahwa peran unsur pengarah dalam BNPB yang diatur dalam UU perlu diperkuat.
“Unsur pengarah harus mencakup semua sektor terkait, termasuk tata ruang dan lingkungan hidup, untuk memastikan bahwa kebijakan penanggulangan bencana bersifat lintas sektoral dan terintegrasi,” paparnya.
Tidak hanya itu, lanjut dia, alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana yang diatur dalam Pasal 60 juga perlu ditinjau ulang.
Syamsul mengusulkan agar setiap lembaga pemerintah dan pemda wajib memasukkan unsur pengurangan risiko bencana dalam anggaran belanja mereka.
“Perencanaan anggaran harus berbasis risiko, bukan hanya tanggap darurat. Ini penting untuk mendorong kesiapsiagaan pada semua lini pemerintahan. Partisipasi masyarakat dalam penyediaan dana juga perlu didorong untuk memperluas sumber pendanaan,” terangnya.
Sayangnya, pembahasan revisi UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana kini dihentikan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Keputusan ini pun dinilai menghambat upaya penanggulangan bencana di Indonesia.
Sebagai informasi, penghentian pembahasan revisi UU tersebut diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR Ke-24 Masa Sidang V Tahun Sidang 2021-2022, Selasa (31/5/2022).
Keputusan tersebut pun disayangkan pula oleh Syamsul. Hal ini mengingat penanganan bencana kini semakin kompleks, terutama di tengah pandemi, ancaman perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan yang semakin tinggi.
Minimnya pola perencanaan dan penganggaran PRB
Jangan dulu bicara tingkat nasional, perencanaan dan penganggaran PRB di daerah juga masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam kapasitas fiskal dan komitmen pemda.
Hal ini disampaikan oleh Praktisi Tata Kelola Risiko Bencana Didik Mulyono. Dalam refleksi mengenai pola anggaran PRB di Aceh ia memaparkan soal itu.
"Indonesia adalah salah satu negara dengan risiko bencana tertinggi di dunia. Namun, kapasitas fiskal daerah untuk mendukung upaya pengurangan risiko bencana masih sangat terbatas," kata Didik.
Ia merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65 Tahun 2024 tentang Peta Kapasitas Fiskal Daerah, yang menunjukkan mayoritas provinsi memiliki kapasitas fiskal rendah hingga sedang. Hal ini memengaruhi kemampuan mereka untuk mengalokasikan anggaran secara signifikan untuk PRB.
Ia pun memberikan contoh konkret dari tantangan tersebut, yakni Provinsi Aceh sebagai salah satu provinsi paling rawan bencana.
Dalam periode 2015-2021, alokasi anggaran untuk Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) hanya berkisar antara 0,0019 persen hingga 0,0061 persen dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
"Dengan angka serendah itu, sulit bagi BPBA untuk memenuhi Standar Pelayanan Minimal dalam penanggulangan bencana," ungkap Didik pada Kompas.com, Minggu (15/12/2024).
Ia juga menyoroti fluktuasi alokasi anggaran yang mencerminkan belum adanya komitmen konsisten dari eksekutif dan legislatif daerah. Padahal, bencana adalah urusan wajib pelayanan dasar yang menjadi hak setiap warga negara.
Berdasarkan laporan kinerja BPBA, lanjut Didik, realisasi anggaran dalam periode 2015-2019 juga menunjukkan tren yang tidak stabil.
"Masih ada kendala dalam perencanaan anggaran berbasis kinerja, sehingga pengurangan risiko bencana belum menjadi prioritas utama," jelasnya.
Berdasarkan catatan Didik, postur anggaran Aceh dalam beberapa tahun terakhir didominasi oleh belanja pegawai dan belanja barang/jasa. Pada 2020, misalnya, proporsi belanja ini mencapai 46,7 persen dari total APBD, sedangkan belanja modal hanya mendapat porsi kecil.
Selain itu, Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) yang besar menunjukkan bahwa perencanaan dan pengendalian anggaran belum efektif.
“Pada 2020, misalnya, SiLPA mencapai Rp1,197 miliar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun kebutuhan untuk PRB sangat mendesak, sebagian anggaran justru tidak terealisasi," kata Didik.
Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2021 tentang Standar Pelayanan Minimal, bencana termasuk dalam urusan wajib pelayanan dasar yang mencakup pelayanan kesiapsiagaan, mitigasi, dan rehabilitasi. Namun, ia menilai bahwa implementasinya di daerah belum optimal.
Didik menekankan pentingnya peningkatan alokasi anggaran untuk PRB di mana pemda harus memastikan bahwa PRB menjadi prioritas dalam pembangunan daerah, bukan hanya di atas kertas.
Sebagai solusi, Didik merekomendasikan beberapa langkah strategis, termasuk penguatan regulasi dan pedoman teknis, transformasi perencanaan berbasis kinerja, serta peningkatan transparansi dan akuntabilitas dalam penggunaan anggaran.
Menurut Didik, penerapan manajemen risiko bencana berbasis kawasan budi daya juga perlu dilakukan, sehingga sektor-sektor, seperti permukiman, pertanian, dan transportasi juga ikut bertanggung jawab.
Didik menjelaskan bahwa dalam perencanaan tata ruang, kawasan terbagi dalam dua jenis, yakni kawasan lindung dan kawasan budi daya.
“Kawasan rawan bencana ini selama ini hanya difokuskan berada di kawasan lindung yang mana menjadi tanggung jawab pimpinan pemerintah pusat saja atau yang memang mengurus bencana saja (BNPB). Padahal, bencana semestinya juga dimitigasi pada kawasan budi daya. Pengelolaan risiko bencana berbasis kawasan budi daya akan mendorong perubahan paradigma dan tanggung jawab sektor-sektor pengampu, seperti perangkat pemerintah (Kementerian bahkan Pemda) di kawasan permukiman, kawasan pertanian, kawasan pariwisata, hingga kawasan pertambangan,” papar Didik.
Menormalisasi tanggung jawab tersebut, kata Didik, memastikan manajemen risiko bencana menjadi bagian integral dari pembangunan nasional.
Begitu juga pemda yang ia rasa perlu memperluas kemitraan dengan pentahelix, termasuk masyarakat, dunia usaha, akademisi, dan media, untuk mendukung program PRB secara kolektif.
Di sisi lain, kalau semua sudah berjalan beriringan, pembangunan sumber daya manusia (SDM) yang kompeten juga diperlukan melalui sistem merit dan pelatihan berkelanjutan. Terutama, dalam manajemen aparatur sipil negara (ASN).
Pihaknya juga menekankan bahwa tanpa komitmen yang kuat dari pemda, masyarakat akan terus menjadi korban utama dari bencana yang seharusnya bisa dicegah atau diminimalkan dampaknya.
"Pengurangan risiko bencana bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga investasi untuk masa depan masyarakat," kata Didik.
Indonesia kapan tangguhnya?
Pada kesempatan sama, Deputy Project Director, Private Sector Engagement Lead USAID KUAT Indonesia, Victor Rembeth, mengajak refleksi.
Ketika UU Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana pertama kali disahkan, ia menceritakan, banyak pihak optimistis bahwa UU ini akan menjadi tonggak penting dalam memperkuat kesiapan Indonesia menghadapi bencana.
Namun, pelaksanaannya tidak semulus harapan. Banyak tantangan yang muncul, baik dari aspek kebijakan, implementasi, maupun komitmen para pemangku kepentingan.
Victor pun menilai, peran sektor swasta dalam mitigasi bencana masih belum tergali maksimal.
"Kita sering melihat bahwa penanggulangan bencana lebih sering dipahami sebagai tanggung jawab pemerintah semata, padahal sektor swasta bisa berkontribusi besar, terutama dalam hal pengurangan risiko," ujar Victor.
Victor juga menyoroti lemahnya koordinasi lintas sektor dalam implementasi kebijakan penanggulangan bencana.
Menurutnya, pendekatan yang terfokus hanya pada respons-pascabencana telah mengesampingkan nilai penting dari penguatan kesiapsiagaan dan mitigasi.
"Pendekatan yang reaktif membuat kita seperti hanya berlari mengejar kejadian bencana. Kalau ini tidak diubah, Indonesia akan terus tertinggal dalam membangun ketangguhan," tambahnya.
Pihaknya pun menekankan pentingnya menciptakan regulasi yang mendukung kolaborasi antara sektor publik, swasta, dan masyarakat sipil.
Revisi UU, menurut Victor, harus memperhatikan peran setiap pihak secara lebih spesifik. Ia juga mencatat bahwa salah satu kelemahan utama implementasi saat ini adalah minimnya alokasi anggaran untuk program pengurangan risiko bencana di tingkat daerah.
Victor menilai, regulasi yang terlalu sentralistik telah menghambat pemerintah daerah untuk bergerak cepat dalam mengelola risiko bencana.
“Indonesia butuh otonomi yang lebih besar bagi daerah, terutama yang berada di wilayah rawan bencana, agar mereka dapat merespons sesuai dengan kebutuhan lokal,” ungkapnya.
Victor juga menyinggung pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses revisi ini. Ia mengatakan, masyarakat seharusnya tidak hanya dilibatkan saat bencana sudah terjadi, tetapi juga dalam perencanaan pengurangan risiko bencana dan pengambilan keputusan.
Victor percaya bahwa revisi UU No. 24 Tahun 2007 harus dilakukan secara komprehensif, dengan memastikan bahwa setiap elemen, mulai dari pemerintah hingga masyarakat sipil dan sektor swasta, memiliki peran yang jelas dalam membangun ketangguhan bangsa terhadap bencana.
“Tanpa pendekatan kolaboratif yang kuat, upaya memperkuat sistem penanggulangan bencana Indonesia hanya akan berjalan di tempat,” kata Victor.
Mengamini Victor, Syamsul mengajak masyarakat untuk berkesadaran dan punya persiapan untuk memitigasi bencana.
Dua dekade peringatan tsunami Aceh pun dinilainya belum cukup menjadikan negeri ini sebagai bangsa yang tangguh menghadapi bencana.
“Tapi, kami bersyukur. Upaya-upaya kami untuk menyuarakan, mendorong, agar Indonesia menjadi bangsa yang tangguh bencana setidaknya menggerakkan beragam pihak untuk ikut terlibat dan berkesadaran. Bukan berita yang baik, tetapi setidaknya Indonesia masih punya harapan untuk ke arah situ. Tidak apa-apa kalau kami perlu berjalan sedikit memutar untuk mendorong kesadaran tersebut,” jelasnya.