Advertorial

Kolaborasi Good Doctor dan AstraZeneca dalam Meningkatkan Pengetahuan dan Kesadaran tentang Asma serta Pengelolaannya Secara Optimal

Kompas.com - 27/12/2024, 10:00 WIB

KOMPAS.com - Asma bronkial merupakan penyakit yang ditandai oleh peradangan dan penyempitan saluran napas.

Kondisi itu biasanya disertai gejala khas, seperti sesak napas, mengi, batuk, nyeri dada, serta ekspirasi yang memanjang.

Meski tidak menular, asma nyatanya jadi salah satu penyakit serius yang terjadi di seluruh dunia.

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), diperkirakan ada sekitar 300 juta orang di seluruh dunia yang menderita asma. Penyakit ini bahkan menyebabkan ratusan ribu kematian.

Di Indonesia, tantangan yang dihadapi tidak kalah signifikan. Survei Kesehatan Indonesia 2023 melaporkan bahwa 58,3 persen penderita asma mengalami kekambuhan dalam 12 bulan terakhir.

Angka itu mencerminkan bahwa lebih dari separuh pasien asma menghadapi kesulitan dalam mengelola kondisi mereka.

Fakta tersebut pun mengindikasikan perlunya intervensi kesehatan yang lebih efektif, termasuk manajemen asma yang lebih baik demi meningkatkan kualitas hidup para penderita dan menurunkan angka kekambuhan.

Oleh karena itu, meski bisa menyebabkan kematian, orang dengan penyakit asma tetap dapat menjalani kehidupan normal dan aktif jika mendapatkan pengobatan yang tepat.

Adapun pendekatan berkelanjutan yang melibatkan edukasi masyarakat serta penguatan sistem layanan kesehatan menjadi kunci untuk mengurangi dampak asma, baik secara individu maupun populasi.

Edukasi bagi pasien dan keluarga sangat penting untuk memahami pengobatan asma guna mengurangi risiko kekambuhan dan ketergantungan berlebihan pada obat asma. Utamanya, obat short-acting β2 agonist (SABA) atau agonis beta-2 kerja singkat.

SABA adalah jenis obat yang digunakan untuk meredakan gejala asma dengan cepat. Obat ini bekerja dengan merelaksasi otot-otot di sekitar saluran pernapasan sehingga saluran tersebut terbuka dan memudahkan pernapasan.

Namun, SABA tidak mengatasi penyebab utama asma, yaitu peradangan pada saluran napas.

Jadi, meskipun SABA efektif untuk meredakan gejala sesaat, penggunaan berlebihan justru dapat menyebabkan penurunan efektivitasnya dan berpotensi mengakibatkan kekambuhan asma.

Maka dari itu, Global Initiative for Asthma (GINA) tidak lagi merekomendasikan penggunaan SABA sebagai terapi tunggal untuk meredakan gejala asma.

Temuan tersebut juga sejalan dengan data yang menunjukkan bahwa penggunaan SABA tunggal secara berlebihan malah dapat meningkatkan risiko kekambuhan asma.

Pengobatan komprehensif

Sebagai ganti penggunaan SABA, berbagai ahli di dunia medis pun memulai pendekatan pengobatan yang lebih komprehensif dan edukasi yang tepat untuk mengelola asma secara efektif.

Mulai ditinggalkannya penggunaan SABA sendiri juga didasari oleh berbagai temuan ilmiah.

Pada hasil penelitian SABA Use in Asthma (SABINA), misalnya, menemukan adanya korelasi antara tingginya peresepan inhaler SABA dengan hasil klinis yang buruk di berbagai negara, fasilitas layanan kesehatan, dan tingkat keparahan asma.

Dalam penelitian yang melibatkan 24 negara itu, sebanyak 38 persen pasien asma menerima lebih dari tiga kanister inhaler SABA dalam setahun.

Di Indonesia, data serupa menunjukkan bahwa 37 persen pasien asma diresepkan tiga atau lebih kanister SABA per tahun.

Semakin parah tingkat keparahan asma, semakin tinggi pula jumlah peresepan inhaler SABA yang diterima.

Temuan tersebut pun menjadi alarm penting bagi dunia medis untuk mengevaluasi praktik pengobatan asma dan mengurangi ketergantungan terhadap SABA.

Studi itu juga menunjukkan bahwa pasien yang menggunakan tiga atau lebih kanister SABA per tahun memiliki risiko kekambuhan berat 40 persen lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang hanya menggunakan 1-2 kanister.

Hasil tersebut menggarisbawahi pentingnya intervensi guna menurunkan risiko kekambuhan, bahkan angka kematian akibat asma dengan meminimalkan penggunaan SABA secara berlebihan.

Merespons tantangan itu, AstraZeneca sebagai perusahaan biofarmasi global yang fokus pada pengobatan penyakit pernapasan, berkomitmen meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap risiko ketergantungan pada SABA.

Upaya tersebut ditunjukkan melalui kampanye Stop Ketergantungan. Lewat kampanye ini, AstraZeneca mendorong pengelolaan asma yang lebih baik dengan tujuan menurunkan angka kekambuhan dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Kampanye juga menjadi salah satu langkah konkret untuk mendukung transformasi dalam pengobatan asma secara global.

Hadirkan platform digital

Sebagai rangkaian dari kampanye Stop Ketergantungan, AstraZeneca juga memperkenalkan platform digital yang dapat diakses melalui laman www.stopketergantungan.id.  

Pada situs tersebut, AstraZeneca menyediakan informasi mengenai risiko penggunaan pelega SABA secara berlebihan.

Masyarakat atau pasien asma juga diajak melakukan tes ketergantungan pelega SABA untuk mengetahui tingkat ketergantungan mereka, apakah berisiko tinggi, sedang, atau rendah.

Hasil tes dapat diunduh dan dikonsultasikan dengan dokter untuk pengelolaan asma yang optimal.

Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay mengatakan, penyakit asma merupakan penyakit kronis yang memerlukan perhatian medis secara berkelanjutan.

“Oleh karena itu, AstraZeneca senantiasa berupaya untuk mengedukasi serta meningkatkan kesadaran tentang asma sebagai bagian dari komitmen perusahaan untuk memperkuat ekosistem kesehatan di Indonesia, terutama pada kesehatan paru-paru di Indonesia,” ujar Esra dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Jumat (20/12/2024).

Situs stopketergantungan.id, tambah Esra, adalah salah satu wujud komitmen AstraZeneca Indonesia untuk mengedukasi masyarakat Indonesia tentang penanganan asma.

“Kami bermitra dengan Good Doctor untuk menyediakan platform agar individu dapat memperoleh informasi serta mengonsultasikan berbagai hal yang berkaitan dengan gaya hidup sehat, termasuk pengobatan asma yang berefikasi tanpa dibatasi ruang dan waktu,” tambah Esra.

Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay dan Vice President of Medical Operations PT Good Doctor Technology dr Ega Bonar Bastari. Dok. Good Doctor Presiden Direktur AstraZeneca Indonesia Esra Erkomay dan Vice President of Medical Operations PT Good Doctor Technology dr Ega Bonar Bastari.

Selain membuat platform digital, AstraZeneca juga juga menjadi mitra berbagai pemangku kepentingan, termasuk Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dalam tata laksana asma.

Sementara itu, Vice President of Medical Operations PT Good Doctor Technology dr Ega Bonar Bastari mengapresiasi kepercayaan dan dukungan AstraZeneca Indonesia terhadap Good Doctor dalam upaya meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai risiko ketergantungan pelega SABA.

Menurut dr Ega, edukasi mengenai asma beserta tata laksananya, termasuk gaya hidup, memang menjadi salah satu cara untuk mengatasi ketergantungan.

Agar dapat memberikan rekomendasi berkualitas terbaik demi kebaikan pasien, Good Doctor juga menyediakan link skrining yang berisi pertanyaan-pertanyaan untuk mengetahui kondisi kesehatan pasien, khususnya yang berkaitan dengan asma.

“Berbagai pertanyaan dalam link skrining tersebut sudah diverifikasi dan divalidasi oleh tim medis kami dan jurnal penelitian medis bereputasi tinggi. Berkat itu, keamanan dan keabsahannya dapat dipercaya,” ucap dr Ega

Good Doctor selalu menjunjung tinggi praktik terbaik dalam memastikan standar medis tertinggi dalam operasinya sejak diluncurkan pada 2019.

Setelah pasien menjawab berbagai pertanyaan tersebut dan dokter mendiagnosis asma, dokter akan merekomendasikan pengobatan terbaik yang paling sesuai dengan kondisi pasien.

“Selain itu, dengan jaringan ribuan apotek resmi tepercaya di lebih dari 100 kota di Indonesia, Good Doctor juga siap menjawab kebutuhan pasien dalam memperoleh obat asma yang sesuai dengan efikasi yang dibutuhkan. Kerja sama dengan AstraZeneca Indonesia juga menunjukkan bahwa telemedisin bermanfaat dalam pengelolaan penyakit kronis,” kata dr Ega.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau